Kamis, 30 Desember 2010

Metode Penelitian Kualitatif

SAMPEL PURPOSIV DAN STARTEGI MULTI METODE

A. Pendahuluan
Salah satu komponen penelitian yang mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan proses studi secara konprehensif adalah komponen metodologi. Pada komponen ini, metode yang digunakan oleh peneliti dalam mencari dan memecahkan masalah penelitian diuraikan secara jelas. Tujuannya adalah agar para peneliti dapat memberikan gambaran yang sistematis dan terencana tentang apa yang hendak mereka lakukan ketika berada di kancah penelitian., sehingga memberikan peluang kepada peneliti lain untuk dapat melakukan tracking (penjejakan) kembali jika diperlukan .
Ada beberapa istilah atau batasan yang berkaitan dengan subjek atau objek yang hendak diteliti. Beberapa batasan penting tersebut di antaranya tempat penelitian, populasi penelitian, jumlah subjek yang diperlukan untuk penelitian, dan teknik pemilihan subjek. Batasan tersebut harus diuraikan oleh para peneliti baik ketika mereka menyusun rencana penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk proposal maupun dalam bentuk laporan penelitian, agar secara pasti mereka dapat melakukan persiapan kegiatan untuk mendukung tercapainya pengumpulan data.
Dalam makalah ini lebih lanjut akan diterangkan pembahasan mengenai sampel purposiv dan strategi multi metode.

B. SAMPEL PURPOSIV DAN STARTEGI MULTI METODE
1. Sampel Purposif
1.1. Sampling dan Satuan Kajian (Unit of analysis)
Teknik sampling dalam penelitian kualitatif jelas berbeda dengan yang non kualitatif. Pada penelitian yang non kualitatif sampel itu dipilih dari suatu populasi sehingga dapat digunakan untuk mengadakan generalisasi. Jadi, sampel benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi. Pada paradigma alamiah, menurut Lincoln dan Guba dalam bukunya Lexi J. Moleog peneliti mulai dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu mulai ditangani dari segi konteknya sendiri .
Selain itu dalam penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor konstektual. Jadi, maksud sampling dalm hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions). Dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample) .
Jadi, dapat penulis tegaskan lagi bahwa sampling pada penelitian kualitatif berbeda dengan sampling pada penelitian kuantitatif. Pada penelitian kuantitatif kita mengenal istilah populasi dan sampel, sedangkan pada penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi tapi hanya sampel purposiv (sampel bertujuan). Yang di maksud dengan Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.

Pada penelitian kuantitatif pengambilan sampel dilakukan bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari sebagian populasi dan hasilnya diberlakukan untuk semua populasi. Untuk itu sampel yang diambil harus betul-betul representative (mewakili).
Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian kuantitatif, terdapat berbagai teknik sampling. Berikut ini penulis cantumkan beberapa macam teknik sampling dalam penelitian kuantitatif:
1. Probality Sampling
Probality Sampling adalah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Teknik ini meliputi:
a. Simple Random Sampling
Dikatakan simple karena pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara ini dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen.
b. Proportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini digunakan bila populai mempunyai anggota yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional.
c. Disproportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasi berstrata tetapi kurang proporsional.
d. Cluster Sampling (Area Sampling)
Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas.


2. Nonprobality Sampling
Nonprobality Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik ini meliputi:
a. Sampling Sistematis
Sampling sistematis adalah teknik penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut.
b. Sampling Kuota
Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populai yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan.
c. Sampling Aksidental
Sampling Aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu kapan saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang cocok digunakan sebagai sampel.
d. Sampling Purposive
Sampling Purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
e. Sampling Jenuh
Sampling Jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
f. Snowball Sampling
Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel, dan begitu seterusnya sehingga jumlah sampel menjadi banyak .
Tujuan berbagai teknik penentuan sampel adalah agar diperoleh sampel yang representatif bagi populasinya. Berbagai teknik statistik telah dikembangkan untuk memperkirakan besarnya sampel, untuk memilih sampel secara rambang. Walaupun penggunaan teknik tersebut hanya sah kalau asumsi yang mendasari terpenuhi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bagian statistika ini telah banyak membantu para peneliti dalam melakukan kegiatannya .
1.2. Ciri-ciri Purposive Sampling
Purposive sampling (sampel bertujuan) dapat diketahui dari ciri-cirinya sebagi
berikut:
1. Rancangan sampel yang muncul; sampel tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu.
2. Pemilihan sampel secara berurutan; tujuan memperoleh variasi sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila pemilihan satuan sampel dilakukan jika satuannya sebelumnya sudah dijaring dan dianalisis. Setiap satuan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperluas terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan atau diisi adanya kesenjangan informasi yang ditemui.
3. Penyesuaian berkelanjutan dari sampel; pada mulanya setiap sampel dapat sama kegunaannya, namun sesudah makin bnayak informasi yang masuk dan makin mengembangkan hipotesis kerja, akan ternyata bahwa sampel makin dipilih atas dasar fokus penelitian.
4. Pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan; pada sampel purposiv seperti ini jumlah smapel ditentukan oleh pertimbangan- pertimbangan informasi yang diperlukan. Jika maksudnya memperluas informasi, dan jika tidak ada lagi informasi yang dapt dijaring, maka penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri. Jadi, kuncinya disini adalah jika sudah mulai terjadi pengulangan informasi maka penarikan sampel sudah harus dihentikan.
2. Multi Metode (Tringulasi)
Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
Dalam penelitian kualitatif instrumen pokok adalah peneliti itu sendiri dan karena hal tersebut maka kualitas penelitian kualitatif sangat tergantung pada kualitas diri penelitinya, termasuk pengalamannya melakukan penelitian merupakan sesuatu yang sangat berharga. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam melakukan penelitian, semakin peka memahami gejala atau fenomena yang diteliti. Namun demikian, sebagai manusia, seorang peneliti sulit terhindar dari subjektivitas peneliti sendiri. Karena itu, setiap peneliti haruslah berusaha untuk semaksimal mungkin bersikap netral dalam penelitiannya sehingga kebenaran yang diperoleh menjadi sebuah kebenaran yang valid atau ilmiah.
Dalam berbagai karyanya, Norman K. Denkin mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Sampai saat ini, konsep Denkin ini dipakai oleh para peneliti kualitatif di berbagai bidang. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1) triangulasi metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3) triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi teori.
Selanjutnya dapat dijeaskan bahwa :

1. Triangulasi metode
Tringulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berdeda. Sebagaimana dikenal, dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang tepat dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu, triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan kebenarannya. Dengan demikian, jika data itu sudah jelas, misalnya berupa teks atau naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak perlu dilakukan.

2. Triangulasi Antar Peneliti
Triangulasi antar peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subjek penelitian. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian dan bebas dari konflik kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.



3. Triangulasi sumber data
Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsif, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

4. Triangulasi Teori
Yang dimaksud triangulasi teori adalah dimana hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika perbandingannya menunjukkan hasil yang jauh berbeda.
Triangulasi menjadi sangat penting dalam penelitian kualitatif, kendati pasti menambah waktu dan biaya seta tenaga. Tetapi harus diakui bahwa triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Bagaimana pun, pemahaman yang mendalam atas masalah yang diteliti merupakan hal yang sangatlah urgen untuk diperhatikan atau dijunjung tinggi oleh setiap peneliti kualitatif. Sebab, penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti yang sebenarnya atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian, realitas atau masalah tertentu mengenai peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam, dan bukan untuk menjelaskan hubungan antar-variabel atau membuktikan hubungan sebab akibat atau korelasi dari suatu masalah tertentu. Kedalaman pemahaman akan diperoleh hanya jika data cukup kaya, dan berbagai perspektif digunakan untuk memotret sesuatu fokus masalah secara komprehensif. Karena itu, memahami dan menjelaskan jelas merupakan dua wilayah yang tidaklah sama.
Jadi Tringulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan tringulasi, peneliti dapat me-rechek temuan dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.untuk itu maka peneliti dapat melakukannya dnegan jalan :
1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan
2. mengeceknya dengan berbagai sumber
3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan.

Daftar Pustaka

Fathoni,. Abdurrahman, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Moelong J. Lexy, Metodologi Penelititan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
cet xxi, 2005
Mudjia Rahardjo, http://mudjiarahardjo.com/component/content/270.html?task=view
Sugiono, Statistik Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2005
Sukardi, Metodologi Penelititan Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, cet viii, 2008

Rabu, 29 Desember 2010

Hermenutika Al Qur`an Hadits

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat kepada umat manusia. Keberadaannya, sebagaimana pernyataan al-Qur’an sendiri adalah bahwa ia shalih likulli zaman wa makan (fleksibel di segala waktu dan tempat). Semetara hadis merupakan aplikasi pemahaman Nabi terhadap al-Qur’an, dimana beliau merupakan sosok yang tahu betul tujuan ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Namun, kenyataannya, bagi umat Islam sendiri, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat al-Qur’an serta pemahaman terhadap hadis Nabi, bukan pekerjaan yang mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penefsiran yang cocok.

Sebenarnya, ulama-ulama salaf terdahulu, telah membentuk suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan al-Qur’an-hadis dengan konteks mereka. Namun, ketika dibawa kepada konteks yang berbeda, metodologi itu tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Untuk menjadikan keduanya terus berbicara, maka dibutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan zaman sehingga keduanya menjadi elastis dan fleksibel. Dan hermeneutika, sebagai kajian interpretasi teks yang berasal dari barat, mengundang perhatian di kalangan para pemikir Islam untuk menjadikannya sebagai kajian terhadap al-Qur’an dan hadis.

Dalam catatan sejarah, kata hermeneutika, berasal dari dewa Yunani kuno yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia. Dan menurut Hossein Nasr, Hermes itu tak lain adalah Nabi Indris a.s yang disebutkan dalam al-Qur’an. Peran Hermes, sebagai juru bicara tuhan, adalah merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia. Jadi, hermeneutika yang berasal dari peran Hermes ini dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajenatif dari bahan baku berupa teks.

Hermeneutika dalam tradisi barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal usul bahasa teks. Mulai pada abad 16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika di kalangan ilmuan gereja di eropa terlibat diskusi dan debat mengenai auntentisitas Bible. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, terutama sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Kemudian pada masa kini, hermeneutika diperbincangkan dalam kajian filsafat posmodernisme.

Selanjutnya, ketika kajian hermeneutika ini dibawa kedalam dunia Islam untuk mengkaji al-Qur’an dan hadis, keberadaannya pun diperdebatkan. Penolakan ditujukan dengan beberapa alasan. Pertama, dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari Kristen, Barat dan tradisi filsafat sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, Barat dan juga yang tidak pasti sesuai dengan Islam. Kedua, sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterinterpretasikan al-Qur’an dan hadis Nabi, yaitu Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis. Namun, kehadiran buku ini akan menjawab kekhawatiran tersebut dengan menunjukkan bahwa, betapapun hermeneutika itu diadopsi dari barat, namun ketika ia berada di tangan orang Islam untuk diupayakan membantu menafsirkan al-Qur’an dan memahami hadis Nabi, maka ia akan berubah menjadi kajian yang bersifat Islami dan mempunyai ciri khas tersendiri dari produk hermeneutika barat pada umumnya. Segala sesuatu itu tergantung pada niat, dan, niat dari para pemikir Islam terhadap hermeneutika adalah agar al-Qur’an dan hadis Nabi dapat berdialog dengan zaman pembacanya, dan juga pemahaman yang dibangun bukan pemahaman yang bersifat parsial, berbias ideologis, tetapi pemahaman holistik yang menawarkan solusi bagi permasalahan kontemporer. Semangat inilah yang menjadikan kajian hermeneutika mengundang minat pemikir Islam setelah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis dianggap sudah cukup mengkaji al-Qur’an dan hadis Nabi.

Dari para hermeneutika al-Qur’an, kita mendapati tokoh-tokoh dalam buku ini seperti Abu Hamid al-Ghazali, metode hermenutika para sufi, Fazlur Rahman, Muhammad Abid al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Muhammad Mujtahed Shabestari, Amina Wadud, Abdullah Saeed, Muhammad Talbi, Nurcholis Madjid, Khaled M. Abou El Fadl dan Muhammad Syahrur dan dari hermeneutika hadis kita jumpai tokoh seperti Fazlur Rahman, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail, Muhammad Syahrur, Khaled M. Abou El Fadl, dan Yusuf Qardhawi. Tokoh-tokoh dalam buku ini tidak hanya terdiri dari tokoh pemikir kontemporer saja tetapi juga dari ulama klasik, seperti Imam al-Gazali dan metode penefsiran sufi, dan dari sini buku ini seolah ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kajian hermeneutika dalam Islam, secara aplikatif, telah berkembang pada masa ulama klasik dulu. Demikian pula dengan hadirnya tokoh-tokoh pemikir hermeneutika Indonesia, merupakan upaya untuk membuktikan bahwa keberadaan pemikir Islam Indonesia telah juga turut andil dalam mengembangkan kajian hermeneutika, seperti yang diupayakan oleh Nurchalis Madjid dan Syuhudi Ismail.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan, ada beberapa macam semangat yang ingin diusung oleh tokoh-tokoh pemikir Islam dari kajian hermeneutik al-Qur’an dan hadis yang dihadirkan dalam buku ini. Pertama, kritik terhadap penafsiran terdahulu yang bersifat ideologis, tekstual, dan otoriter. Kedua, berusaha menangkan makna terdalam teks. Ketiga, kesadaran bahwa dalam setiap penafsiran terdapat aktifitas dialogis antara dunia author, teks, dan pembaca sehingga penafsiran yang dihasilkan tidak mungkin bersifat objektif. Keempat, bahwa agar penafsiran itu dapat disesuaikan dengan kontes kekinian tetapi memuat pesan utama al-Qur’an dan hadis Nabi, maka proses penafsiran meliputi kajian teks, konteks dan kontekstualisasi.

Sebagai contoh, dalam buku ini dijelaskan, bagaimana Fazlur Rahman menyarankan melakukan kajian konteks disamping kajian teks dalam upaya mengkap pesan moral al-Quran yang mana kemudian pesan moral tersebut dikontekstualisasikan kedalam kebutuhan masa kini. Kemudian al-Jabiri dan Amina Wadud menyatakan setiap penafsir agar selalu waspada dengan bias subjektivitas atau bias ideologis mufassir yang selalu dibawa dalam proses penafsiran. Sementara Syahrur membayangkan agar al-Qur’an itu itu baru diturunkan dan kita dituntut menafsirkannya dengan perangkat metodologi ilmu-ilmu modern yang berkembang, sehingga manfaat al-Qur’an sebagai petunujuk, sangat terasa dan sesuai dengan tantangan zaman.

Hermeneutika, dalam sejarahnya di barat, dapat dipetakan menjadi tiga macam; hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Yang pertama kajian hermeneutika dibawa kearah pembahas bagaimana suatu teks dapat dipahami secara objektif, di sini yang banyak dibahas adalah kajian metode. Yang kedua tidak lagi membahas metode, melainkan hermeneutika dibawa ke arah kajian filosofis, yakni pembahasan tentang apa sebenarnya dunia penafsiran itu sendiri, dari sini kemudian terungkap bahwa pada hakekatnya penafsiran adalah sesuatu yang kopleks yang dalam aktifitasnya melibatkan dunia pembaca, teks dan author, dan dari proses ini, klaim bahwa teks dapat dipahami secara objektif dipertanyakan kembali. Yang ketiga membahwa hermeneutika kepada tataran kajian kritis, yakni mengungkap kepentingan-kepentingan di balik teks dan maksud penafsir.

Kemudian bagaimana dengan hermeneutika dalam Islam? Merujuk klasifikasi Sahiron Syamsuddin yang menjadi pengantar buku ini, Kurdi menjelaskan bahwa, hermeneutika Qurani dapat digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, quasi-objektifis tradisionalis, yakni penafsiran yang berupaya menangkap pesan al-Qur’an secara objektif sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan sebagaimana pada situasi sebagaimana al-Qur’an diturunkan lalu diaplikasikan serupa pada masa kini. Kedua, quasi-objektifis modernis, yakni berusaha menangkap original meaning (makna asal) teks, namun makna asal itu hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an untuk masa kini. Makna asal tidak dipandang pesan utama al-Qur’an, sementara yang harus dicari adalah makna “di balik pesan literer” dengan cara menggalinya dari informasi konteks makro sosial-budaya bangsa Arab melalui kajian sejarah, sosial dan budaya yang selanjutnya makna dibalik teks itu diolah kembali untuk kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Ketiga, subyektifitas, yakni sebuah penafsiran yang menegaskan bahwa penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak dalam al-Qur’an sesuai dengan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur’an ditafsirkan. Dan, dalam buku ini, mayoritas pemikir hermeneutika di atas lebih cenderung kepada tipe yang kedua, quasi obyektifis modernis dan sebagian kecil yang ke tiga, subyektif. Namun, betapapun, meski hasilnya berbeda-beda, kajian hermeneutika al-Qur’an-hadis adalah suatu upaya untuk membuat al-Qur’an-hadis dapat berfungsi sebagai petunjuk manusia di segala tempat dan waktu. Dan kajian ini perlu untuk mendapat sambutan yang posoitif.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana metodologi penafsiran yang digagas oleh pemikirnya itu diaplikasikan dengan merujuk kepada tafsir yang telah dihasilkan. Seperti aplikasi Fazlur Rahman dalam kitab tafsir tematiknya Major Themes of The Al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Dawair al-Khauf, Amina Wadud dengan Qur’an and Woman, Muhammad Syahrur Iman wa Islam: Manzumzt al-Qiyam. Dan ini, menurut penulis, menepis anggapan bahwa kajian hermeneutika hanya membahas metodologi penafsiran saja tanpa menghasilkan sebuah karya tafsir.

Senin, 27 Desember 2010

Rendahnya Minat Baca Mahasiswa


Rendahnya Minat Baca Mahasiswa

Dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok yang saling melengkapi kesempurnaannya, yakni unsur jasmaniah dan ruhaniyah. Unsur jasmaniah adalah sesuatu yang bersifat tampak, materi atau fisik; sedangkan unsur ruhaniyah adalah sesuatu yang tidak tampak, non fisik, atau immateriil. Secara fungsional, Keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Supaya kedua unsur itu seimbang, maka membutuhkan suplai rutin sebuah “makanan bergizi” agar keduanya tumbuh sehat dan berkembang secara sempurna. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak memberikan suplai yang seimbang kepada dua unsur yang dimilikinya itu. Kebanyakan manusia memang lebih memberikan suplai makanan yang diperlukan untuk tubuh (jasmani). Rata-rata manusia tidak banyak menaruh perhatian kepada “makanan” yang diperlukan bagi otak atau hati dalam arti bukan fisik.
Selain makanan yang bersifat fisik (untuk tubuh), makanan yang bersifat nonfisik (untuk ruhani) juga penting, misalnya membaca buku, informasi, dan sebagainya. Kesadaran ini belum banyak disadari oleh peserta didik akan pentingnya di masa depan. Kesadaran mereka hanya sekedar memenuhi ‘tugas’ dan hal itu pun tidak dikerjakan dengan sepenuh hati. Persoalan ini sebagian terlihat di dunia akademis.
Pada level pendidikan perguruan tinggi misalnya, seharusnya proses belajar-mengajar lebih menitik-tekankan pada budaya membaca daripada mendengar. Membaca adalah salah satu kegiatan manusia yang paling awal, sehingga ia dapat mengembangkan fungsi-fungsi jasmani maupun ruhaninya sesuai dengan cita-cita yang diinginkan.
Kalau kita belajar ke masyarakat Yunani (kota lahirnya para filosof), pada masa Sokcates para siswa diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar. Di antara sekian banyak aspek yang mendorong keberhasilan pendidikan pada masa itu adalah faktor budaya baca. Tidak heran kalau waktu itu, masyarakat Socrates adalah masyarakat yang memiliki kepekaan sangat tinggi dan budaya kritis, bahkan sampai melahirkan seorang ilmuan maupun seorang filosof.    
Pada tahun 1930-an Jean Pieget telah menampilkan sebuah strategi baru dalam proses belajar-mengajar di Indonesia, yang dikenal dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam operasionalnya belum juga cukup berhasil. Dengan demikian, bahwa keprihatinan mendasar yang masih dirasakan oleh dunia akademis sampai saat ini adalah rendahnya intensitas minat baca.
Empat tahun yang lalu, dari hasil sebuah penelitian (2005) tentang “intensitas minat baca mahasiswa” di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jawa Timur ditunjukkan bahwa minat baca mahasiswa masih sangat rendah. Dari penelitian itu disimpulkan daya serap baca mahasiswa terhadap buku hanya berkisar 39,23% saja.
Ironisnya, slogan di mana-mana yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi lebih menitik beratkan pada kemandirian dalam proses belajar-mengajar. Sebagai sebuah lembaga yang sangat menentukan nasip hidup seseorang bagi masa depan, kesadaran membaca belum juga menjadi sebuah kebutuhan, namun mereka masih menganggap bahwa kecerdasan otak, kepandaian dan keahlian didapat selain dari membaca.
Betapa naifnya, jika generasi muda tidak lagi sadar tugas dan tanggungjawab dirinya sebagai komunitas akademis, masyarakat dan bangsa. Betapa nistanya jika para generasi tidak lagi menyadari eksistensinya sebagai cagar peradaban umat.
Padahal fenomena tersebut di atas ada di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), lalu bagaimana dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Minat memang sebuah persoalan perasaan. Sedangkan perasan akan menentukan seseorang berbuat aktif dalam suatu kegiatan. Dengan demikian, jika minat itu tidak ada, maka kegiatan membaca juga tidak ada. Minat dapat diartikan suatu moment dari kecenderungan yang terarah secara intensif pada suatu tujuan atau objek yang dianggap penting.
Minat mempunyai kaitan erat dengan motif, drive, need, desire dan incentive. Dalam tataran operasionalnya, minat adalah motif yang subyektif dan bahan bacaan adalah insentif yang bersifat objektif. Objek-objek yang menarik perhatian biasanya dapat membentuk minat, karena adanya dorongan dan kecenderungan untuk mengetahuinya, memperolehnya, atau menggalinya dan mencapainya.
Timbulnya minat pada diri seseorang disebabkan oleh adanya rasa ketertarikan, berkepentingan dan perhatian pada suatu obyek. Obyek itu bisa berupa alam sekitar, yang berupa lingkungan sosial maupun lingkungan material. Lingkungan menarik menyebabkan dorongan kepada manusia untuk memperhatikannya, mengetahuinya, selanjutnya ingin mencapainya. Untuk mencapai hal-hal demikian diperlukan beberapa syarat; pertama sesuatu itu harus ditampilkan dengan gaya menarik. Kedua, adanya kekuatan yang menyebabkan menarik. Dan ketiga sesuatu itu harus kontras, artinya membuat penasaran kepada pembaca sehingga mereka ingin tahu lebih mendalam.
Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dituntut supaya memberikan “rangsangan” kepada peserta didik agar mereka mampu meningkatkan budaya membaca. Sebagai sebuah media pembelajaran, lembaga pendidikan seharusnya mendorong peserta didik agar termotifasi untuk membaca. Membaca bukan dalam arti sempit, namun membaca dalam arti seluas-luasnya. Dengan begitu akan lahir keseimbangan antara kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik.
Seiring dengan datangnya era informasi, masyarakat masa depan akan dihadapkan pada persaingan yang lebih bersifat ‘pengetahuan’. Cara pandang masyarakat modern akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa jauh penguasaan informasi. Bahkan Wittgenstein mensinyalir bahwa paradigma di era globalisasi ini akan ditentukan oleh cagar bahasa. Di mana manusia harus banyak melakukan proses membaca.
Dari pandangan di atas, setidaknya bagi kita bersama dapat memetik tentang ‘jalan berfikir’ bagi masa depan manusia. Dengan ditandainya era informasi dan pengetahuan, masyarakat masa depan berarti akan menuntut semua institusi pendidikan termasuk media cetak maupun elektonik, dapat memerankan dirinya sebagai sarana komunikasi yang efektif terhadap peningkatan budaya membaca bagi masyarakat.
Untuk mengakhiri uraian di atas, sekali lagi penulis mengharapkan supaya lembaga pendidikan dan media komunikasi memberikan rangsangan kepada khalayak agar menyadari akan pentingnya budaya membaca. Membaca dapat menggerakkan pikiran, menambah wawasan dan mendorong diri manusia untuk bersifat kritis.
Sebagaimana salah satu pesan dalam ajaran Islam, bahwa ungkapan iqra’ ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ini memerintahkan kepada umat manusia supaya sering membaca. Sekali lagi, proses membaca adalah bagian inheren yang tak terpisahkan dari dialektika kehidupan manusia dimana pun berada.


Kamis, 23 Desember 2010

Semiotika Al Qur`an


SEMIOTIKA AL `QUR`AN
Diskursus seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran.
Dalam khazanah ilm Al-Qur’an ada dua cara untuk memahami Al-Qur’an, yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Disini teks dikatakan “subjek”. Sedangkan takwil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat di sebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks, sebagai “objek”.1 kajian takwil kurang diminati oleh banyak kalangan karena anggapan dari studi mainstrem studi keislaman yang sudah berjalan bahwa ilmu-ilmu Al-Qur’an telah matang dan baku. Maka tidak perlu mengotak-atiknya. Dan disini kita akan mencoba menguak semiotika Al-Qur’an yang lebih banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Semiotika Al-Qur’an disini akan lebih banyak mengetengahkan tentang analisa semiotika teks. Yang mana teks (yang dianggap sakral,baku) itu perlu dikaji ulang. Karena bahasa Al-Qur’an secara umum dan khusus terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol, yang mana sifatnya arbriter konvensional.

Dengan demikian dapat dipahami Al-Qur’an merupakan paradigma transformasi budaya. Tranformasi jika menurut kuntowijoyo, mula-mula berawal dari sentimen kolektif berdasarkan iman dan nilai tauhid yang memunculkan suatu komunitas yang disebut jama’ah atau lebih besar lagi ummah, yang sifatnya kepemimpinan2. Dengan demikian, proses transformasi itu mengikuti alur kausalitas yang berawal dari struktur budaya yang berlanjut ke struktur sosial dan akhirnya berjuang pada struktur teknis.

Dari sini pasti akan menimbulkan anomali. Maka perlu ada segi yang dapat dipahami dan alasan yang masuk akal bagi pernyataan itu. Menanggapi hal ini maka yang harus dijelaskan adalah bagaimana menampakkan fakta sejarah dan interaksi yang diciptakan teks Al-Qur’an dengan realitas sosial budaya saat itu. Dan kemudian mencoba menyadari akan adanya pluralitas ma’na yang dilahirkan oleh teks tanpa ada intervensi dari apapun.
Sehingga diperlukan tinjauan kritis tentang Al-Qur’an yang selama ini ummat Islam hanya membebek atau mengganggap baku teks Al-Qur’an yang dianggap sakral itu, yang kemudian enggan untuk mendongkrak kepercayaan yang sifatnya beritage (warisan).
Fakta Sejarah dan Interaksi yang Diciptakan Teks Al-Qur’an
Dalam semiotika ilmu tentang tanda (sign) atau ilmu yang mempelajari perkembangan sign dalam masyarakat3,Arkoun berusaha untuk menunjukkan fakta sejarah tentang bahasa Al-Qur’an dan kandungannya. Begitu juga Nasr Hamid mengungkapkan bahwa terlepas dari sumber illahiyahnya, teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan yang kolektif yang melatarinya, yaitu Bahasa arab 6 M. sehingga Al-Qur’an dapat dikatakan terdiri atas kata-kata yang mengacu pada figur sejarah tertentu. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana kita bisa berhubungan dengan hal yang sakral, spiritual, transendental dan ontologis, ketika kita wajib untuk memperhatikan bahwa semua kosa kata yang berhubungan dengan hal tersebut yang seharusnya mengacu pada nilai-nilai stabil dan immaterial, tunduk pada dampak fakta sejarah. Dan praktek-praktek umum yang mengutip Al-Qur’an hari ini hanya memanipulasi semiotika dan fundamentalis, karena hal tersebut membantu kaum muslim mengisolasikan Al-Qur’an dari sosio historis dan linguistik secara sengaja membentuk konteks mereka sendiri untuk membuat Al-Qur’an relevan.
Dalam arti ini, teks Al-Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari semiotika sosial, yang berlaku pada zamannya dan mendapat pegertian disana. Begitu juga teks Al-Qur’an dipahami sebagai pengungkapan individual “parole” dari sistem kebahasaan kolekif, bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya, tetapi juga mengubah dan mentranformasikannya. Dari sini dapat digambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realita sosial budayanya, yakni pertama ketika teks Al-Qur’an membentuk dan merekontruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya. Dan inilah yang disebut Abu Zayd sebagai periode keterbentukan (marhalah at-tasyakkul) yang menggambarkan keberadaan teks sebagai “Produk Budaya”. Kedua, ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya, dan kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain. Dan ini disebut sebagai pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.

Padahal teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula dimana dia diproduksi dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. untuk lebih jelasnya dari aspek diatas dan kaitannya dengan sistem budayanya dapat di gambarkan dalam bagan berikut ini:Sistem sosial budaya teks Sistem sosial budaya
Subjek -------------------------> Objek (2)
(1)Subjek ------------------------->Objek.
Dari sini jelas, teks pada satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem sosial budaya dimana ia bergabung di dalamnya, di sisi lain teks merupakan subjek yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan. Sehingga teks sangat dahsyat mampu menimbulkan perubahan dahsyat pada kebudayaannya. Dan perubahan ini dimulai dari perubahan kode bahasa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mengguncang konsepsi budaya yang kemudian di bidang sosial politik dan ekonomi.4

Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai. Dalam semiatika struktural kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-makna konvensional yang sudah ada. Dan disini, tidak ada tempat bagi permainan kode-kode berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto ECO mengungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut berdasarkan relasi antar penanda dan petandanya5 . Adapun tanda-tanda yang digunakan dan bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dan yang menarik pula Al-Qur’an yang berupaya menjadikan bahasa induk sebagai bahasa agama. Walau belum bisa terealisir secara mapan melalui transformasi makna.

Dengan demikian menurut Abu Zayd ada dua segi yang perlu dijelaskan: 1. Struktur teks. 2. Proses resepsi teks oleh pembaca. Dari segi pertama Struktur teks Al-Qur’an mentransformasikan semua tradisi keagamaan sebelumnya menjadi tanda yang menunjukkan cara yang berbeda-beda pada kebenaran tunggal yang absolut dan universal.
Tradisi kebahasaan disini adalah bahasa sebagai sistem tanda yang didalamnya terkandung unsur “penanda” dan “petanda” sebagai 2 segi dari 1 kenyataan. Disini semua sistem kebahasaan adalah “penanda”, untuk sistem budaya “petanda”. Dalam struktur teks sistem budaya “petanda’ yang tercermin dalam linguistik dalam sistem bahasa “penanda” beralih menjadi tanda-tanda semiotik inilah yang dimaksud proses semiosis, yaitu perubahan sistem bahasa menjadi tanda-tanda semiotik di dalam sistem yang lain.
Ma’na Baru Dapat Dilahirkan Oleh Teks Tanpa Ada Intervensi dari Apapun.
Secara umum dan khusus bahasa Al-Qur’an terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat, yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan (Objeknya), tidak terkecuali B. arab sebagai bahasa Al-Qur’an dalam hal ini. Artinya, mengacu pada pembahasan yang awal bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya. Artinya teks-teks Al-Qur’an terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan B. Arab, dan tidak mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari relitas masyarakat dan budayanya
Dengan demikian dampaknya, tidaklah mungkin berbicara tentang teks al qur’an terlepas dari realitas dan budaya masyarakat ketika itu. Sehingga pula mempengaruhi pada metode penafsiran yang menggunakan pendekatan historisitas budaya. Padahal ketika kajian historisitas di gunakan, maka akan dipengaruhi pandangan, metode dan ideologinya. Sebab ketika mengaplikasikan metode ini ia akan terpaksa memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan sebagian fakta-fakta lain. Seorang sejarawan tidak mngkin menampilkan semua fakta sejarah.

Dari sini terdapat gambaran bahwa selain upaya mengungkapkan ma’na teks dalam konteks historisnya, pembacaannya harus diupayakan menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat di tarik dari ma’na historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks pertama, dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya, kedua meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, ketiga interaksi ma’na historis teks pada kedua aspeknya ini dengan pembacaan kontemporernya memugkinkan untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, keempat signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk malakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa henti.
6 Tinjauan Kritis; Asumsi Akhir
Dalam melakukan kajian terhadap teks (al qur’an) tidak akan bisa terlepas oleh historis sosiologis ontologis. Sebab munculnya al qur’an yang mampu menggetarkan kalangan umat islam lebih-lebih mampu membius atau menjadikan umat islam tunduk takluk tanpa mampu mempertanyakannya. Karena paten bahwa teks alqur’an adalah kalam alloh yang baku dan dilarang keras untuk mengotak-atiknya. Namun disini kita sebagai (yang dikatakan) insan kritis mencoba menguak teks yang terkandung dalam alqur’an melalui metode semiotika
Seperti yang telah dibahas di awal bahwa aspek historis sangat urgen disini. Sebab fakta tentang kita dan bukan kita adalah dalam sejarah. Dan ini bersifat ontologis bukan aksidental. Perantara atau kendaraan untuk menelusuri sejarah yang digunakan untuk memindahkan dari masa lampau ke masa sekarang kemudian kemasa depan adalah bahasa. sehingga kesentralitas bahasa dan sejarah menimbulkan pertanyaan bagaimana teks yang diwahyukan pada masa dan tempat yang jauh dari masa dan tempat kita sekarang dapat digunakan untuk mengatur orang yang hidup dalam sebuah konteks yang begitu jauh dan berbeda dari asal teks tersebut?dengan kata lain bagaimana seseorang dapat memahami tentang apa yang diyakini itu kekal (kitab suci) dalam sejarah yang selalu berubah-ubah
Pertanyaan ini pasti menimbulkan anomali tersendiri. Dalam semiotika (ilmu yang mengulas tentang tanda (sign) atau yang mempelajari sign dalam masyarakat itu bersifat arbitrer konvensional. Artinya teks itu tidak lepas dari tanda-tanda yang kemudian dikonvensionalkan, akhhirnya tersusun dalam 1 mushaf yang kita yakini kebenaranya. Jika kita mencoba tidak mengelak bahwasanya menurut Umberto Eco ilmu semiotika itu digunakan untuk berdusta. Secara implisit bahwa bila sebuah teori kedustaan, maka sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan teori kedustaan. Dan kaitanya dengan terminilogi semiotika terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda(sign) dan refresinya pada realitas (referent). Konsep (concept), isi (contens), atau makna (meaning) dari apa yang ditulis atau dibicarakan tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan.Dengan demikian kita sekarang mencoba untuk mendustakan teks.yang secara implisit membenarkan teks. Al qur’an turun bersifat langue bukan parole. Dan nabi muhammad seorang ummi bukan penerima pasif wehyu tetapi juga mengolah redaksi al qur’an , sesuai kondisinya sesuai manusia biasa. Namun ini memang menjebol konsep dasar yang diyakini umat islam bahwa nabi adalah ma’sum dan sebagai penerima pasif yang tidak mengurangi atau manambah apa yang diwahyukan. Seperti dalam surat al haqqoh ayat 44-46, alloh memberikan ancaman pada Nabi Muhammad.
”seandainya dia (muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
Maka teks al qur’an memang dalam bahasa arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya tetapi alqur’an tidak tunduk pada budaya ketika itu. Tetapi al qur’an yang merombak membuat inovasi baru pada budaya saat itu. Namun dengan menempatkan muhamad sebagai pengarang al qur’an dan menyebutkan alqur’an sebagai cultural product, artinya menurut nasr hamid bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Al qur’an terbentuk dalam realita dalam kurun waktu 20 tahun dan pasti memakai bahasa arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dan hal ini berdampak pada metode penafsiran yang sifatnya historisitas budaya. Metode dan pola pikir apa untuk memahami sejarah. Dan ini sulit keluar dari subyektifitas, yang pasti dia akan memilih sebagian fakta-fakta dan meninggalkan fakta-fakta yang lain. Yang tidak terlepas dari pola pikir, metode dan ideologinya
Sehingga dari sini kami sabagai penulis mohon maaf apabila terdapat kelancangan bahasa yang kami berikan menyinggung perasaan para pembaca. Dan ini adalah karya kami yang mencoba menerapkan mata kuliah semiotika yang terhiasi dari kadar kritis kami yang mungkin pasti tidak terlepas dari kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Piliang, Yasraf Amir. Tanpa tahun. Hipersemiotika “Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Ma’na. Yogyakarta: Jala Sutra
Putra, Heddi Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Galang Press
Syamsudin, Sahiron. Dkk. 2003. Hermeneutika Al Qur’an: Madzab Yogya. Yogyakarta. Islamika-Forstudia.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Tanpa tahun. Isykaliyyat-al qiro’at wa aliyyath at ta’wil. Terjemahan oleh Moh Mansur dan khorian Nadhiliyyin. 2004. Hermeneutika Inklusif. Jakarta Selatan: ICIP

HERMENEUTIKA AL- QUR`AN

                                               HERMENEUTIKA AL- QUR`AN
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus- menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. (Rethinking Islam, 1999) Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Tawaran Hermeneutik
Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas –seorang ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana. (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 1995).
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai metodetafsirnya,namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas. Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat, merupakan sebuah kemutlakan.
Mohammed Arkoun mungkin orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu. Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Muslim hingga hari ini.
Ketiga tingkatan pemahaman wahyu di atas tentu saja memberikan implikasi pada penafsiran. Bagi Arkoun, dalam tafsir klasik atau modern, ketiga kategori wahyu itu tidak dibedakan sehingga menempatkan wahyu ketiga kategori di atas menjadi satu otoritas, yaitu skema otoritas Tuhan. Arkoun melihat secara kritis otoritas dari masing-masing teks Al-Qur’an itu. Sehingga masing-masing tidak dicampurkadukkan begitu saja.
Dengan demikian, ia telah membongkar sesuatu di balik penyejarahan ketiga kategori otoritas tersebut. Hal ini menjadi teks Al-Qur’an terbongkar dari selubung-selebung ideologis dan klaim kebenaran penafsiran yang sudah tidak relevan lagi.
Signifikansi Hermeneutika Pembebasan
Analisis yang dilakukan oleh Arkoun dan Rahman di atas memang harus diakui sebagai prestasi intelektual yang briliyan. Analisis tersebut telah mampu membongkar yang selama ini tidak tersentuh (unthoucable) oleh akal klasik maupun modern. Namun analisis Arkoun itu masih menyisakan problem yang belum terjawab, yaitu apakah analisis itu hanya sebagai kajian epistemologis yang tidak mempunyai implikasi praktis dan humanis? Padahal, umat Islam sekarang sedang mengalami kemunduran besar yang tidak cukup hanya bisa dipecahkan dengan teori minus aksi!
Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai visi transformatif dan liberatif untuk kemanusiaan. Ayat-ayat mengawali misi penurunan Al-Qur’an dengan mengadakan revolusi teologis. Revolusi teologis ini mengartikulasikan substansinya melalui jargon “Tauhid” yang menegasikan seluruh sesembahan selain Allah. Tauhid ini juga menegaskan semangat egalitarianisme sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Makkah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah mengindikasikan semangat revolusi sosiologis terhadap tatanan dan struktur sosial kehidupan masyarakat dengan menjadikan keadilan dan kemakmuran sebagai doktrin sandaran.
Dari periodesasi ayat-ayat Al-Qur’an beserta implikasi revolusinya, dapatlah dipahami bahwa semangat dan nilai Al-Qur’an itu bergerak. Ia tidak hanya berhenti dan memperkaya horizon pengalaman beragama individual, tetapi juga berlanjut implikasinya pada dimensi sosial. Dengan kata lain, ia berdampak meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan, dengan merekontruksi sejarah Kenabian dan mecermati ulang Al-Qur’an, Asghar Ali Engineer berkesimpulan bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an mempunyai perhatian sentral pada keadilan sosial untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas serta menciptakan masyarakat egalitarian. Menurutnya, wahyu secara esensial bersifat religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang serta memiliki kesadaran sejarah. (Islam dan Pembebasan, 1993) Hal terbukti dari ayat-ayat pertama yang turun kepada Nabi, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi sosial yang terjadi di Mekkah. Fakta bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an lebih dari sekedar agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannyan pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi oleh zakat. Zakat bertujuan untuk distribusi kekayaan bagi fakir miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang bagi para penghutang, dan membantu problem- problem agama lainnya.
Oleh karena itu, hermeneutika yang merupakan metode penafsiran yang memadai pada saat sekarang, perlu memberikan tujuan penafsiran yang tegas dan jelas. Tugas hermeneutika Al-Qur’an yang mendesak pada saat sekarang adalah untuk pembebasan sosial kemanusiaan dari berbagai ekspoitasi yang merugikan. Eksploitasi itu bisa berbentuk ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pengekangan keberagamaan.
Maka ke depan, umat Islam Indonesia harus memelopori penafsiran Al-Qur’an yang berimplikasi pada pembebasan sosial. Sudah waktunya para agamawan terjun untuk membebaskan penindasan, membela hak-hak wanita, dan berdiri pada garda terdepan menumbangkan segala ketidakadilan. Usaha yang dilakukan Farid Esack dalam menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan, layak dipertimbangkan sebagai pemandu gerakan dan wacana keilmuan. Wallahu A’lam

Dinasti Ummayyah


BAB I  
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah menjadi dua, pertama; Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khalifah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki)[1]. Dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang Gubernur pada zaman Walid bin Abd Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Abbas setelah berhasil menaklukan Dinasti Umayyah di Damaskus[2].
Perintisan Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak bai’at terhadap Ali ibn Thalib r.a., kemudian berperang melawan Ali Ibn Thalib r.a. dan akhirnya melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali ibn Thalib r.a. yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah[3].
Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah ketika keberhasilan pihak khawarij membunuh Ali r.a. Jabatan khalifah setelah Ali r.a. wafat dipegang oleh putranya Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi karena tidak didukung oleh pasukan yang kuat , akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa pergantian kekhalifahan akan diserahkan kepada umat Islam setelah Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun  661 M. (41 H.) dan tahun tersebut  disebut ammul jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat  Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik[4].
Pada masa kekhalifahan Daulah Bani Umayyah sistem pemerintahan yang awalnya berdasarkan demokrasi (musyawarah) berubah menjadi sistem monarchiheridetis (turun temurun) yang berpusat di Damaskus, dan semenjak itulah masa khalifahurrasyidin berakhir. Pada masa ini juga peradaban Islam berkembang dengan pesat. Mulai dari penyempurnaan tulisan al-Qur’an, pembukuan Hadits, sampai pada ekspansi penyebaran Islam ke luar tanah Arab, mulai dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah bahkan sampai pada perbatasan Tiongkok..
Berangkat dari persoalan di atas, maka penulis akan memaparkan lebih lanjut bagaimana pemikiran dan peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah.
B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Dari permasalahan yang penulis paparkan di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana Pemikiran dan Peradaban Islam pada Masa Daulah Bani Umayyah di Damaskus ?”.
Mengingat rumusan di atas bisa mencakup banyak hal, maka penulis akan membatasi pembahasan ini untuk melihat:
1.      Sejarah berdirinya dan sistem pemerintahan Daulah Bani Umayyah
2.      Orientasi kebijakan politik dan ekonomi pada masa Daulah Bani Umayyah
3.      Peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah
C.     Metodologi dan pendekatan
Adapun dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan pendekatan historis dan kepustakaan, yaitu dengan mencari literatur-literatur ataupun informasi lisan yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Literatur disini dimaksudkan dengan mengumpulkan buku-buku atau sumber-sumber yang berkaitan dengan materi bahasan, sedangkan informasi lisan disini maksudnya adalah dengan mendengarkan pemaparan atau cerita-cerita dari tokoh-tokoh atau ahli sejarah.
D.     Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah:
Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisikan tentang Sejarah berdirinya dan sistem pemerintahan Daulah Bani Umayyah. Bab III berisikan tentang Orientasi kebijakan politik dan ekonomi pada masa Daulah Bani Umayyah. Bab IV berisikan tentang Peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah. Dan Bab V adalah  penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
SEJARAH BERDIRINYA DAN SISTEM PEMERINTAHAN
DAULAH BANI UMAYYAH

A.     Sejarah Berdirinya Daulah Bani Umayyah
Sejarah dalam pandangan Islam tidak hanya berbicara masalah data dan fakta, akan tetapi sejarah merupakan dialektika nilai, pertarungan nilai. Karena sejarah membawa identitas sebuah entitas masyarakat akan masa lalunya. Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu pada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Masyarakat yang melupakan sejarah akan mudah terjangkiti rasa inferior, mudah terombang-ambing dalam sebuah arus yang tidak jelas atau dengan kata lain krisis identitas. Padahal, masa depan adalah fungsi dari masa lampau dan masa kini. T.S Eliot mengemukakan hal ini dengan tepat “Masa Kini dan Masa Lampau, Akan Muncul di Masa Depan, dan Masa Depan Terdapat di Masa Lampau”[5].
Dalam hal ini Allah Swt. Berfirman;
Artinya :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. Q.S. Yusuf 12/11)[6]
Nama Daulah Bani Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada jaman jahiliyah[7]. Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim Ibn Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dia memang memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di jaman jahiliyah, karena dia berasal dari kalangan bangsawan, mempunyai cukup banyak kekayaan dan banyak putra yakni sepuluh orang. Orang yang memiliki unsur tersebut di jaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.
Pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib terjadi pertempuran dengan Muawiyah di Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), tapi ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yakni kelompok Khawarij yang keluar dari barisan Ali[8].
 Peristiwa tahkim justru merugikan Ali, Akibatnya, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaitu:
1.      Kelompok Bani Umayyah yang dipimpin oleh Muawiyah Ibn abi Sufyan
2.      Kelompok Syi’ah atau pendukung Ali
3.      dan kaum Khawarij, yaitu orang yang keluar dari barisan Ali r.a.[9]

Munculnya kelompok khawarij membuat tentaranya semakin lemah, sementara kedudukan Muawiyah semakin kuat. Kaum khawarij selalu berusaha untuk merebut kekuasaan, sebab mereka yakin ketiga pemimpin ini (Ali, Muawiyah dan Amr Ibn ’Ash) merupakan sumber pergolakan. Mereka bertekad untuk membunuh ketiga tokoh tersebut. Dan  pada tanggal 20 Ramadhan 40 H Ali terbunuh oleh salah seorang kelompok Khawarij[10] di Mesjid Kuffah yang berarti pula mengakhiri masa pemerintahan khalifahurrasyidin
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun,[11] yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.
Diantara Khalifah besar Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685- 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717- 720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724- 743 M)[12].

B. Sistem Pemerintahan Daulah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah dalam bentuk yang berbeda dengan masa Khilafah ar-Rasyidin. Pemerintahan yang bersifat demokratis pada masa Khilafah ar-Rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis[13] (kerajaan turun temurun) Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[14]
Pada umumnya, Bani Umayyah atau Muawiyah Ibn Abi Sufyan sering didakwa mengubah kekhalifahan profetik (khalifah an-nubuwwah), menjadi suatu Mulk. Kata Mulk bisa berarti kerajaan, kedaulatan atau hanya pemikiran, tetapi terutama pada masa-masa belakangan para penentang dinasti Umayyah mengartikannya sebagi kerajaan dengan konotasi  tirani dan sekuleritas[15].  
Khalifah Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik[16]. Ketika muawiyah berkuasa terjadi banyak kesulitan. Pemerintahan imperium yang didesentralisasikan itu tampka kacau. Munculnya berbagai anarkisme dan ketidak disiplinan kamu nomad yang tidak lagi dikendalikan dengan ikatan agama dan moral mmenyebabkan ketidak stabilan dimana-mana dan hilangnya kesatuan.
Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahn ibukota dari Medinah ke Damaskus. Oligarki di Mekkah dikalahkan dan dicemarkan. Muawiyah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium. Oleh karena itulah dia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian unsur agama di dalam pemerintahan tidak hilang sama sekali. Muawiyah tetap mematuhi formalitas agama da kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagi pejuang Islam[17].
Pada masa khalifah Muawiyah, dibentuk Dewan Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu; Katib ar-Rasail, Katib al-Kharraj, Katib al-Jund, Katib asy-Syurtah, dan Katib al-Qadhi[18]. Sedangkan Untuk mengurusi administrasi pemerintahan diangkat seorang Amir al-Umara (Gubernur Jenderal) yang membawahi beberapa Amir sebagai penguasa suatu wilayah.
Pada masa Bani Umayyah, ekspansi dan da’wah Islam yang tehenti pada masa khalifah Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, dilanjutkan kembali. Perluasaan kekuasaan dan da’wah yang dilakukan dinasti Umayyah, dimulai dari menguasai Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan   Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan[19].















BAB III
ORIENTASI KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI
PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH

A. Kebijakan Perpolitikan pada Masa Daulah Bani Umayyah
Kebijkan politik pada Masa Daulah Bani Umayyah, selain usaha-usaha pengemanan dalam negeri yang sering dilakukan oleh pesaing-pesaing politiknya serta pertentangan di antara suku-suku Arab, adalah upaya-upaya perluasan Islam. Seperti ke daerah Tunis yang dipimpin oleh Uqbah Ibn nafi’, kemudian didirikan kota Qairawan  pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat Kebudayaan Islam.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan[20]. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[21]
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah.
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M)[22]. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.

B. Kebijakan Perekonomian pada Masa Daulah Bani Umayyah
Khalifah Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam[23]. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
 Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah[24].




BAB IV
PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH

Peradaban berasal dari kata adab yang berarti kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etiket dan lain-lain[25]. Sedangkan menurut Sedilot yang dikutip oleh Munthoha peradaban adalah khazanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan sanggup  berlangsung terus-menerus. Hanya manusia yang sealalu mencari, memperkaya, dan mewariskan pengetahuan atau kebudayaan[26].
M. Abdul Karim menjelaskan bahwa peradaban berasal dari bahasa Jawa Kawi, peranakan dari bahasa Sangsekerta yaitu adab yang berarti sopan santun, tatakrama. Adapun lawannya adalah biadab yang artinya tidak sopan, tak tahu adat[27].
Sedangkan Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata al-hadharah al-islamiyyah[28]. Kata ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam.  Dalam bahasa Arab kebudayaan disebut ats-tsqafah[29].



A. Peradaban Islam pada Masa Daulah Bani Umayyah
Adapun peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah adalah:
1.      Penyempurnaan tulisan al-Qur’an
Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang memberrikan baris adalah Hasan al-Basri (642-728 M.) atas perintah dari Abd. Malik Ibn Marwan. Ia menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an dan al-Hajjaj meminta Hasan al- Bashri untuk menyempurnakannya, ia dibantu oleh Yahya Ibn Ya’mura (murid dari Al-Aswad ad-Duwali). Akan tetapi dlam riwayat yang lain disebutkan yang pertama kali membuat baris al-Qur’an adalah Al-Aswad ad-Duwali[30].
2.      Penulisan Hadits
Umar Ibn Abd Al-Aziz adalah khalifah yang mempelopori penulisan atau pentadwinan hadits. Beliau meminta Abu Bakar Ibn Muhammada Ibn Amr Ibn Hajm Gubernur Medinah untuk menuliskan Hadits yang ada dalam hafalan-hafalan pengahafal hadits. Atas perintah dari khalifah pengumpulan hadits dilakukan oleh para ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Shihab Az-Zuhri (guru imam Malik). Akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh ImamAz-Zuhri tidak diketahui dan tiak sampai kepada kita[31].
3.      Arsitektur
Seni bangunan pada masa khalifah Bani Umayyah bertumpu pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa Masjid-Masjid yang juga diiringi dengan pembangunan gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab dengan dijiwai semangat Islam. Diantaranya ”istana hijau”  di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperharaui oleh Walid Ibn Abd. Malik[32].
4.      Organisasi Militer
Pada masa ini organisasi militer terdiri dari  Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan Utsman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab  atau unsur Arab. Setelah wilayah kekuasaan meluas sampai ke Afrika Utara, orang luar pun terutama bangsa Barbar turut ambil bagian dalam kemiliteran ini[33].


5.      Perdagangan
Pada masa ini Ibukota Bashrah di teluk persi menjadi pelabuhan dagang yang teramat ramai dan makmur, begitu pula kota Aden. Dari dua kota pelabuhan itu iring-iringan  kafilah dagang hampir tak pernah putus menuju Syam dan Mesir[34].
6.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd. Malik mulai dirintis pembuatan Tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Dibidang seni lukis, sejak Khalifah Muawiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di Masjid-masjid, juga tumbuh di luar Masjid seperti di Istana.

B. Keruntuhan Daulah Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah[35].
















BAB V  
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Demikianlah kekuasaan Islam dalam kepemimpinan Bani Umayyah di Damaskus, meskipun berlangsung dalam pembentukan monarchi Arab dengan mengandalkan panglima-panglima Arab lapisan aristokrasi  yang sesungguhnya  berlawanan dengan kebijakan Nabi. Saw. Dan para khalifah sebelumnya, namun ia telah memperkenalkan dan memperkembangkan  lembaga-lembaga istemewa dari pemerintahan Islam. Hal demikian didukung pula oleh sumbangan para khalifahnya terhadap pembentukan dan perkembangan  peradaban Islam.
  1. Saran
Dalam pemaparan makalah ini, penulis sudah mencoba memaparkan sebaik mungkin pembahasan mengenai perkembangan pemikiran dan peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah, namun apabila dalam pembahasan ini masih terdapat kekuranagan, penulis tidak menutup kemungkinan untuk menerima kritikan dan masukan dari rekan-rekan mahasiswa serta dosen pengampu dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Atas segala attensinya dalam makalah ini penulis sampaikan terima kasih.
  1. Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai sejarah pemikiran dan peradaban Islam pada masa daulah Bani Umayyah di Damaskus, semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan keilmuan kita serta membangkitkan spirit perjuangan kita dalam membela agama Allah (Islam) sebagaimana yang telah diperjuangkan pada masa Rasulullah dan para Sahabat.

















DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abd. Karim, Muhammad, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007

Al Qur’an Terjemah Departemen Agama RI, Al Jumanatul ‘Ali. CV Penerbit J-ART, 2005

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Human, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989

Maryam, Siti dkk., Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2003

Munthoha, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985

Salabi, Ahmad., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung : Mizan, 1993

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam (Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010




[1] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm.79. 
[2] Ibid,
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.103.
[4] Ibid,
[5] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung : Mizan, 1993), hal.14
[6] Al Qur’an Terjemah Departemen Agama RI, Al Jumanatul ‘Ali. CV Penerbit J-ART, 2005
[7] Ahmad. Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm.24
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.40.
[9]  Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Human, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm.63.
[10] Badri Yatim, hlm.40.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 61. 
[12] Badri Yatim, hlm.43.
[13] Ibid
[14] Ibid.
[15] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam (Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm.56.  
[16] Dedi Supriyadi, hlm.104
[17] Ibid.
[18] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.151.
[19] Harun Nasution, hlm. 61
[20] Badri Yatim, hlm.44.
[21]  Ibid, hlm.45.
[22]  Badri Yatim, hlm.47
[23] Ibid, hlm.  
[24] A. Salabi, hlm.90-91
[25] Munthoha, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2009),hlm.13
[26] Ibid,  
[27] Muhammad Abd. Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam,(Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007),hal.33-34
[28] Dedi Supriyadi, hlm.18.
[29] Ibid
[30] Dedi Supriyadi, hlm.108.
[31] Ibid
[32] Hasjmy, hlm.140. 
[33] Hassan, hlm.478.
[34] Ibid
[35]  Badri Yatim, hlm.48-49.