BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia sains dan pengetahuan, khususnya di zaman modern sekarang ini, sangatlah nyata dan besar nilainya bagi perkembangan peradaban dunia saat ini. Dimasa lalu misalnya, kita memiliki para ilmuan muslim yang amat jitu keandalannya di bidang ilmu pengetahuan
Ini berarti, jauh sebelum para ilmuan barat menemukan teori dan ilmu pengetahuan, para ilmuan muslim telah menemukannya dimasa lalu, hanya karena distorsi sejarah, kemudian penemuan para ilmuan muslim ini tak sampai kepada kita, karena di plagiat dan diklaim oleh ilmuan barat dikemudian hari sebagai hasil temuan mereka
Yang cukup menggembirakan kita dan tentunya saja sebagai pelajaran berharga bagi kita adalah bahwa selain mereka sebagai pakar ternama dan penemu dibidang sains dan ilmu pengetahuan, para ilmuan muslim itu juga sangat mahir dalam hal ilmu agama. Dalam berbagai penelitian yang mereka lakukan nyaris tak terlupakan kajian dan riset mereka diberi sentuhan dan semangat spiritual
Sehingga model seperti inilah yang menghasilkan ilmu pengetahuan yang ramah lingkungan, berdaya manfaat itnggi serta tidak kosong akan nilai-nilai moral dan etika. Sebab apabila ilmu pengetahuan yang sama sekali kosong dari nilai nilai spiritual dan sentuhan moral niscaya hanya akan membuahkan malapetaka tak berkesudahan seperti yang kita lihat akhir-akhir ini .yang seharusnya ilmu pengetahuan menjadi kesejahteraan menuju peradaban umat manusia justru akan berbalik menjadi sumber malapetaka dunia, kecanggihan nuklir, bom atom, dan sejenisnya, karena tidak disertai dengan semangat spiritual, etika, kemanusiaan maka penggunaannya pun menjadi laknat dan bencana berkepanjangan bagi umat manusia.
Dalam sebuah litratur Mantan Presiden Amerika , Richard Nixon dalam bukunya America, challenge in one superworld, mengatakan secara jujur bahwa barat “ owe so much’ (berhutang banyak pada Islam). Maka ini sekali lagi menandakan akan mumpuninya para ilmuan islam masa lalu Akan tetapi beberapa dasawarsa sekarang banyak sekali diantara kita (baca; Umat muslim) yang tak mengenal para ilmuan islam dalam perjalanan sejarah sains dimasa lalu sehingga klaim dunia barat seakan menjadi pengetahuan umum yang merasuk ke dalam cakrawala berfikir umat islam, sehingga dengan hadirnya makalah ini mungkin bisa memberikan sedikit pengetahuan akan tokoh-tokoh muslim yang telah menoreh tinta emas di peradaban dunia.
BAB II
ILMUAN-ILMUAN MUSLIM DAN PENEMUANNYA
A. Muhammad Al Biruni (Penemu Gaya Gravitasi)
a. Biografi dan Perjalanan
Namanya tak diragukan lagi di pentas sains dan ilmu pengetahuan abad pertengahan. Dunia sains mengenalnya sebagai salah seorang putra Islam terbaik dalam bidang filsafat, astronomi, kedokteran, dan fisika. Wawasan pengetahuannya yang demikian luas, menempatkannya sebagai pakar dan ilmuwan Muslim terbesar awal abad pertengahan. Ilmuwan itu tak lain adalah Al-Biruni. Bernama lengkap Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ilmuwan besar ini dilahirkan pada bulan September tahun 973 M, di daerah Khawarizm, Turkmenistan. Ia lebih dikenal dengan nama Al-Biruni. Nama “Al-Biruni” sendiri berarti ‘asing’, yang dinisbahkan kepada wilayah tempat tanah kelahirannya, yakni Turkmenistan. Kala itu, wilayah ini memang dikhususkan menjadi pemukiman bagi orang-orang asing.
Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, Al-Biruni tumbuh dan besar dalam lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan. Tak seperti kebanyakan ilmuwan Muslim lainnya, masa muda Al-Biruni tak banyak terlacak oleh sejarah. Meski demikian, dari beberapa literatur diketahui, ilmuwan besar ini memperoleh pendidikan dasarnya dari beberapa ulama ternama di masanya, antara lain Syeikh Abdus Shamad bin Abdus Shamad. Di bidang kedokteran, ia belajar pada Abul Wafa’ Al-Buzayani, serta kepada Abu Nasr Mansur bin Ali bin Iraq untuk ilmu pasti dan astronomi. Tak heran bila ulama tawadlu dan gemar baca-tulis ini sudah tersohor sebagai seorang ahli di banyak bidang ilmu sejak usia muda.
Sebagai ilmuwan ulung, Al-Biruni tak henti-hentinya mengais ilmu, termasuk dalam setiap penjelajahannya ke beberapa negeri, seperti ke Iran dan India. Jamil Ahmed dalam Seratus Tokoh Muslim mengungkapkan, penjelajahan paling terkesan tokoh ini adalah ke daerah Jurjan, dekat Laut Kaspia (Asia Tengah), serta ke wilayah India. Penjelajahan itu sebenarnya tak disengaja. Alkisah, setelah beberapa lamanya menetap di Jurjan, Al-Biruni memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Namun tak disangkanya, ia menyaksikan tanah kelahirannya itu penuh konflik antar etnis. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh Sultan Mahmoud Al-Gezna, yang melakukan invasi dan menaklukkan Jurjan. Keberhasilan penaklukkan ini membawa Al-Biruni melanglang ke India bersama tim ekspedisi Sultan Mahmoud. Di sini, ia banyak menelorkan karya tulis, baik berupa buku maupun artikel ilmiah yang disampaikannya dalam beberapa pertemuan. Selain menghasilkan karya, penjelajahan bersama sang Sultan ini juga menghasilkan dibukanya kawasan India bagian timur sebagai basis baru dakwah Islam Al-Biruni.
Dalam rangkaian perjalanannya di India ini, Al-Biruni memanfaatkan waktu luang bagi penelitian sekitar adat istiadat dan perilaku masyarakat setempat. Dari penelitiannya inilah, beberapa karya berbobot lahir. Tak hanya itu, Al-Biruni pula yang pertama memperkenalkan permainan catur ‘ala’ India ke negeri-negeri Islam, serta menjelaskan problem-problem trigonometri lanjutan dalam karyanya, Tahqiq Al-Hind. Dalam kaitan ini, ia berkata, “Saya telah menerjemahkan ke dalam bahasa Arab dua karya India, yakni Sankhya, yang mengupas tentang asal-usul dan kualitas benda-benda yang memiliki eksistensi, dan kedua berjudul Patanial (Yoga Sutra), yang berhubungan dengan pembebasan jiwa.” Kedua buku India ini juga memuat secara otentik sejarah akurat invasi Sultan Mahmoud ke India.
Kepiawaian dan kecerdasan Al-Biruni merangsang dirinya mendalami sekitar ilmu astronomi. Ia misalnya memberikan perhatian yang besar terhadap kemungkinan gerak bumi mengitari matahari. Sayangnya, bukunya yang membicarakan soal ini hilang. Namun ia berpendapat, seperti pernah ia sampaikan dalam suratnya kepada Ibnu Sina, bahwa gerak eliptis lebih mungkin daripada gerak melingkar pada planet. Al-Biruni konsisten mempertahankan pendapatnya tersebut, dan ternyata di kemudian hari terbukti kebenarannya menurut ilmu astronomi modern.
Sebagai sosok yang gemar membaca dan menulis, kepakaran Al-Biruni tak hanya di bidang ilmu eksakta. Ia juga mahir dalam disiplin filsafat. Karena itu, ia dikenal sebagai salah seorang filsuf Muslim yang amat berpengaruh. Pemikiran filsafat Al-Biruni banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Al-Farabi, Al-Kindi, dan Al-Mas’udi (w. 956 M). Hidup sezaman dengan filsuf besar dan pakar kedokteran Muslim, Ibnu Sina, Al-Biruni banyak berdiskusi dengan Ibnu Sina, baik secara langsung maupun melalui surat menyurat. Keduanya tak jarang terlibat debat sekitar pemikiran filsafat. Ia misalnya menentang aliran paripatetik yang dianut oleh Ibnu Sina dalam banyak aspek. Al-Biruni memperlihatkan ketidaktergantungan yang agak besar terhadap filsafat Aristoteles dan kritis terhadap beberapa hal dalam fisika paripatetik, seperti dalam masalah gerak dan tempat.
Semua yang dilakukannya itu selalu ia landaskan pada prinsip-prinsip Islam, serta meletakkan sains sebagai sarana untuk menyingkap rahasia alam. Hasil eksperimen dan penelitiannya selalu bermuara pada pengakuan keberadaan Sang Pencipta (Allah). Ketika seorang ilmuwan, katanya, akan memutuskan untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan, dia harus menyelidiki dan mempelajari alam.
Kalau pun ia tidak membutuhkan hal ini, maka ia perlu berpikir tentang hukum alam yang mengatur cara-cara kerja alam semesta. Ini akan dapat mengarahkannya untuk mengetahui kebenaran dan membuka jalan baginya untuk mengetahui Wujud yang mengaturnya. Dalam bukunya Al-Jamahir, Al-Biruni juga menegaskan, ”penglihatan menghubungkan apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya. Dari penciptaan alam tersebut kita menyimpulkan eksistensi Allah.” Prinsip ini dipegang teguh dalam setiap penyelidikannya. Ia tetap kritis dan tidak memutlakkan metodologi dan hasil penelitiannya. Pandangan Al-Biruni ini berbeda sekali dengan pandangan saintis Barat modern yang melepaskan sains dari agama. Pandangan mereka tentang alam berusaha menafikan keberadaan Allah sebagai pencipta.
Keberhasilan Al-Biruni di bidang sains dan ilmu pengetahuan ini membuat decak kagum kalangan Barat. Max Mayerhof misalnya mengatakan, “Abu Raihan Muhammad ibn Al-Biruni dijuluki Master, dokter, astronom, matematikawan, ahli fisika, ahli geografi, dan sejarahwan. Dia mungkin sosok paling menonjol di seluruh bimasakti para ahli terpelajar sejagat, yang memacu zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam.” Pengakuan senada juga dilontarkan sejarahwan asal India, Si JN Sircar. Seperti dikutip Jamal Ahmed, ia menulis, “Hanya sedikit yang memahami fisika dan matematika. Di antara yang sedikit itu yang terbesar di Asia adalah Al-Biruni, sekaligus filsuf dan ilmuwan. Ia unggul sekaligus di kedua bidang tersebut.” Tokoh dan ilmuwan besar ini akhirnya menghadap Sang Ilahi Rabbi pada 1048 M, dalam usia 75 tahun.
b. Al-Biruni dan Karya
Laiknya para ilmuwan Muslim generasi sebelum dan sesudahnya, Al-Biruni juga dikenal sebagai penulis dan pemikir yang produktif. Menariknya lagi, sebagian karya-karyanya tersebut dihasilkan ketika berpetualang ke beberapa negeri. Menurut sumber-sumber otentik, karya Al-Biruni lebih dari 200 buah, namun hanya sekitar 180 saja yang diketahui dan terlacak. Beberapa di antara bukunya terbilang sebagai karya monumental. Seperti buku Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Qurunil Khaliyah (Peninggalan Bangsa-bangsa Kuno) yang ditulisnya pada 998 M ketika ia merantau ke Jurjan, daerah tenggara Laut Kaspia. Dalam karyanya tersebut, Al-Biruni antara lain mengupas sekitar upacara-upacara ritual, pesta, dan festival bangsa-bangsa kuno.
Masih dalam lingkup yang sama, Al-Biruni tak menyia-nyiakan kesempatan beberapa ekspedisi militer ke India bersama Sultan Mahmoud Gezna. Ia pergunakan lawatannya tersebut dengan melakukan penelitian seputar adat istiadat, agama, dan kepercayaan masyarakat India. Selain itu, ia juga belajar filsafat Hindu pada sarjana setempat. Jerih payahnya inilah menghasilkan karya besar berjudul Tarikhul Al-Hindy (Sejarah India) tahun 1030 M. Intelektual Iran, Sayyed Hossein Nasr, dalam Science and Civilization in Islam (1968), menyatakan, buku ini merupakan uraian paling lengkap dan terbaik mengenai agama Hindu, sains, dan adat istiadat India.
Al-Biruni, dalam karyanya ini antara lain menulis analisis menarik, bahwa pada awalnya manusia mempunyai keyakinan monoteisme, penuh kebaikan dan menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tapi, lantaran nafsu murka telah membawa mereka pada perbedaan agama, filsafat, dan politik, sehingga mereka menyimpang dari monoteisme ini. Ia juga membahas tentang geografi India. Al-Biruni juga berpendapat, lembah Sungai Hindus dan India, mulanya terbenam dalam laut, namun perlahan menjadi penuh endapan yang dibawa air sungai.
Tak hanya menulis buku tentang sosiologi, Al-Biruni juga banyak menulis tentang ilmu-ilmu eksakta seperti geometri, aritmatika, astronomi, dan astrologi. Karya di bidang ini misalnya Tafhim li Awa’il Sina’atut Tanjim. Khusus disiplin ilmu astronomi, ia menulis buku berjudul Al-Qanun Al-Mas’udi fil Hai’ah wan Nujum (Teori tentang Perbintangan). Di Barat, buku ini memperoleh penghargaan dan menjadi bacaan standar di berbagai universitas Barat selama beberapa abad. Ilmuwan Muslim ini juga dikenal sebagai pengamat pertambangan. Untuk masalah ini, ia menulis buku Al-Jamahir fi Ma’rifatil Jawahir tahun 1041 M.
Karya lainnya, di bidang kedokteran berjudul As-Saydala fit Thib (Farmasi dalam ilmu Kedokteran), Al-Maqallid ‘Ilm Al-Hai’ah (tentang perbintangan), serta buku Kitab Al-Kusuf wal Khusuf ‘Ala Khayal Al-Hunud (Kitab tentang Pandangan Orang-orang India terhadap Peristiwa Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan)
B. Ibnu Hitsam (Penemu Teori Pengelihatan)
a. Biografi dan Perjalanannya
Al-Hasan bin al-Haitsam merupakan salah seorang ilmuwan Muslim terkemuka dan memiliki prestasi yang cukup tinggi di antara para ilmuwan di bidang ilmu pengetahuan. Bagaimanapun, agak dikesalkan bahawa beliau tidak mendapatkan haknya; namanya terkubur dan tidak mendapatkan kedudukan yang selayaknya walhal beliau memiliki keunggulan dan ketrampilan cukup hebat yang tidak difahami oleh para ahli sejarah peradaban Islam dan penulis buku-buku sejarah.
Justeru itu, beliau dua kali dizalimi; dizalimi oleh generasi Muslim sendiri, dan yang lebih parah beliau dizalimi oleh para ilmuwan dan sejarawan Barat yang telah merampas kekayaan intelektualnya, kerana namanya diganti dengan nama mereka. Dengan demikian, beliau telah diletakkan pada tempat yang tidak sepatutnya di antara para ilmuwan sepanjang sejarah.
Nama sebenarnya beliau ialah Abu Al-Hassan bin Al-Haitsam. Beliau dikenal dengan panggilan Al-Basri. Beliau dilahirkan pada tahun 354 H (965 M) di kota Basrah, Iraq. Beliau meninggal dunia pada tahun 430 H (1039 M) di Kaherah. Beliau pertama kali belajar ilmu di Basrah, kemudian di Baghdad. Di Baghdad, beliau mendalami ilmu-ilmu berkaitan dunia Arab dan agama. Selain itu, beliau juga mendalami ilmu matematik, astronomi, kedoktoran, dan falsafah. Pada usia 30 tahun, beliau berkunjung ke Mesir atas undangan Khalifah Dinasti Fatimiyah, Al-Hakim Biamrillah.
Beliau menghabiskan sebahagian besar waktunya di Kaherah. Di kota inilah beliau banyak menjalankan kajian yang berkaitan dengan bidangnya dan menulis banyak buku. Beliau menjalani hidup di Kaherah dalam keadaan sederhana dan tawaduk, yang mana beliau hanya tinggal di sebuah bilik berhampiran pintu gerbang Masjid Al-Azhar.
b. Karya-karya
Ibnu al-Haitsam hidup pada zaman tiga ilmuwan besar, iaitu Al-Karkhi, Al-Biruni, dan Ibnu Sina. Ini memang suatu peristiwa yang ‘istimewa’, di mana pada satu masa atau zaman terdapat empat orang ilmuwan Muslim terkemuka.
Secara khusus, Ibnu al-Haitsam menonjol pada beberapa bidang seperti yang berikut:
• Ilmu matematik; yang meliputi ilmu hisab, algebra, geometri, dan hitungan trigonometri.
• Ilmu pengetahuan alam; terutama ilmu optik yang beliau sendiri menyebutnya sebagai ilmu “al-manazhir”.
• Ilmu falak atau ilmu astronomi.
Sebagian catatan Arab menyebutkan bahawa Ibnu Haitsam adalah orang pertama menemui kamera. Catatan ini pada kenyataannya terlalu dilebih-lebihkan dan menyalahi amanah ilmiah serta akan dibantah oleh Ibnul Haitsam andaikata beliau masih hidup. Apa yang benar adalah bahawa tokoh ilmuwan ini adalah penemu idea dan yang melakukan sehingga akhirnya ditemukan cara pembuatan kamera.
Terdapat 12 buah buku karya Ibnul Haitsam yang terkenal dalam ilmu optik. Di antara buku tersebut yang paling penting ialah Kitab Al-Manazhir yang mengandungi pelbagai penemuannya yang penting dalam ilmu optik. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Latin pada tahun 1572, dan diterbitkan di Basel, Switzerland, dengan judul Thesaurus Opticus (Rujukan Lengkap Dalam Ilmu Optik). Buku ini begitu besar pengaruhnya bagi pengembangan ilmu optik di Eropah. Di antara karya-karyanya yang lain dalam ilmu optik adalah seperti yang berikut:
• Risalah Fi Al-Ain Wa Al-Abshar
• Risalah Fi Al-Maraya Al-Muhriqah Bi Ad-Dawa’ir
• Risalah Fi In’ithaf Adh-Dhau
• Risalah Fi Al-Maraya Al-Muhriqah Bi Al-Quthu
• Kitab Fin Al-Halah Wa Qaus Qazah
Perlu diketahui bahawa buku-buku Al-Hasan bin Al-Haitsam dijadikan rujukan utama di Eropa dalam ilmu optik hingga abad ke-17. Seorang Ilmuwan Inggeris dalam bidang matematik dan teologi, dan tenaga pengajar di Universiti Cambridge, Issac Barrow (1630-1677) memberikan kuliah yang berkaitan Ibnu Haitsam. Manakala di antara mahasiswa pada ketika itu ialah Issac Newton yang kemudiannya menjadi ilmuwan terkenal di Barat hingga munculnya Einstein.
C. Ibnu Khaldun (Bapak Ilmu Sosiologi Politik)
Pemikiran dan teori-teori politiknya yang sangat maju telah mempengaruhi karya-karya para pemikir politik terkemuka sesudahnya, seperti Machiavelli dan Vico “ Ia mampu menembus ke dalam fenomena social sebagai filsuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya’ Fakta inilah yang mendorong kita untuk melihat karya-karya beliau sebagai seni, yang berpandangan jauh dan kritis, sesuatu yang sama sekali tidak pernah dikenal pada masa hidupnya.
Siapa sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar ilu sosiologi dan plitik melalui karya Al Muqadimah ini, Ia lahir di Tunisia pada 1 ramadhan 732 H/27 Mei 1332 dengan nama Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibnu Khaldun. Moyangnya berasal dari Hadramaut, Yaman, yang bermigrasi ke Sevilla, Andalusia (Spanyol). Namun keluarganya harus pindah ketika Sevilla dikuasai oleh Kristen
Khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan politik. Ia biasa berjumpa dengan tokoh intelektual dari Afrika Utara dan Spanyol yang sebagian besar adalah pengungsi dari kekhalifahan timur.
Pendidikannya dilalui di Tunisia dan Fez (Maroko) dengan mempelajari berbagai ilmu, menghafal Al Qur`an, mempelajari tata bahasa, hokum islam (syariah), hadis, retorika, filologi, dan puisi. Selain itu, ia mempelajari sastra arab, filsafat, matematika, dan astronomi. Khaldun sangat terlibat dengan politik.
Karirnya di bidang politik membawanya keluar masuk istana, baik sebagai pemenang maupun pecundang maupun pecundang. Usia mudanya dihabiskan sebagai pendamping, penasihatsultan serta menduduki aneka jabatan. Pada umur 19 tahun, ia mulai mengabdi pada Ibnu Tafrakin, penguasa Tunis. Ketika Abu Zaid, penguasa Constantine menyerang dan mengalahkan Tunisia. Khaldun melepaskan diri ke Aba, lalu berpindah ke Aljazair dan menetap di Biskra.
Karirnya menanjak ketika ia membantu sultan Abu Salem dalam menjatuhkan Al-Mansur, musuh politiknya, ia diberi jabatan sekertaris selama lebih dari dua tahun, lalu ditugaskan sebagai kadi(hakim). Sultan Abu Salim tak lama kemudian dijatuhkan Wazir Omar, gagal mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan yang baru, Ibnu Khaldun meninggalkan Fez pergi ke Andalusia
Kemelut untuk kesekian kalinya membawa Ibnu Khaldun berpindah ke Mesir, ia datang ke Aleksandria pada Oktober 1382 dalam usia 50 tahun, setelah gagal dalam perjalannya menuju tanah suci ia bahkan sempat mengajar di Al-Azhar dan sekolah lainnya sampai kemudian diangkat sebagai hakim.
Penguasa Mesir Sultan Faraj, menugaskannya untuk berunding dengan Timurlane, Penguasa Mongol yang hendak menginvasi Damaskus, misi berbahaya ini diselesaikannya dengan sukses sehingga dia mendapatkan banyak penghargaan.
Ibnu Khaldun dalam Karya
Sebagai seorang politisi, ia merupakan politisi yang cemerlang dan jitu karena berbagai konflik yang mampu diselesaikannya dengan baik, ini karena beliau menopang dirinya lewat analisis sosial yang cemerlang.
Ibnu Khaldun memetakan masyarakat dengan interaksi social, politik, ekonomi dan geografi yang melikupinya. Pendekatan ini dianggap menjadi sebuah terobosan yang sangat signifikan, menurutnya, organism dapat tumbuh dan matang, karena sebab-sebab nyata yang mempengaruhinya.
Pengaruh itu universal dan pasti, tak ada kebetulan dalam sejarah social kecuali sebab danb akibatnya semata. Sebagian jelas dan diketahui sebagaian lagi tidak. Formasi masyarakat, pikiran yang dituangkan dalam karya besarnya Muqaddimah, misalnya dikatakan sebagai hasrat manusia untuk berkumpul, bersaing, lalu memperebutkan kepemimpinan. Mereka diikat dengan solidaritas ashabiyah yang diarahkan oleh para pemimpinnya. Ia memperkirakan bahwa solidaritas itu berlansung empat generasi.
Model ini menempatkan Ibnu Khaldun sebagai penganut teori siklus sejarah. Masyarakat lahir, tumbuh, berkembang, lalu mati utnuk diganti dengan yang lain. Demikian seterusnya, karya monumentalnya itu juga berisi klasifikasi ilmu pengetahuan yang coba disusunnya, ia membedakan ilmu yang dipelajari, pertama ilmu filsafat dan intelektual (bisa dipelajari melalui akal dan intelejensi); kedua, ilmu yang ditransmisikan (disampaikan, hanya bisa disampaikan lewat mata rantainya yang berakhir pada pendirinya, biasanya ilmu agama dan wahyu ilahi).
Dalam konteks ini ilmu filsafat masuk dalam ilmu agama dan humanism Ibnu Khaldun menegaskan bahwa ilmu filsafat dan ntelektual terbagi kedalam berbagai bidang ; logika, ilmu alam atau fisika, ilmu matematika, ilmu yang berkaitan dengan kuantitas (missal geometri, aritmatika, music, astronomi)
Sementara ilmu yang ditransmisikan seperti al Qur`an, hadis, syariah, teologi, sufisme, ilmu bahasa; (linguistik, seperti tata bahasa, leksikografi, dan kesusteraan). Selain Muqaddimah, ia juga menulis kitab Al I`bar yang memuat sejarah arab, penguasa islam dan eropa di zamannya, sejarah kuno arab, yahudi, Romawi, Persia, Sejarah islam, sejarah Mesir dan Afrika Utara, khususnya suku Barber dan suku yang berdekatan lainnya. Kitab ini memuat tiga bab, pertama memuat karya monumentalnya, yakni Muqaddimah
Konstribusi Ibnu Khaldun dalam ilmu pengetahuan memang tidak sedikit, setidaknya, berkatnyalah dasar-dasar ilmu sosiologi politik dan filsafat dibangun. Tak heran jika warisannya itu banyak diterjemahkan keberbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dan sekarang menjadi rujukan dari penulis makalah ini juga.
Seorang sejarawan barat, Dr Boer, menulis Ibnu Khaldun tak pelak lagi adalah orang pertama yang mencoba menerangkan dengan lengkap evolusi dan kemajuan suatu kemasyarakatan, dengan alasan adanya sebab dan factor tertentu, iklim, alat, produksi, dan lain sebagainya, serta akibat-akibatnya pada pembentukan cara berfikir manusia, dan pembentukan masyarakatnya. Dalam derap majunya peradaban dia mendapatkan keharmonisan yang terorganisasikan dalam dirinya sendiri.`
Kamis, 26 Mei 2011
PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM PENGKAJIAN DAN PEMAHAMAN STUDI ISLAM
PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM PENGKAJIAN DAN PEMAHAMAN STUDI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Apa yang menarik perhatian manusia? "One thing only interests all human being always, and that is the human being himself,." kata John M. Siddal, editor American Magazine (Miller, dalam Mott and others, 1969:62). Jadi hanya satu hal saja yang selalu menarik perhatian manusia, yaitu manusia itu sendiri. Memang, di antara sekian banyak segi kehidupan dunia yang telah diteliti manusia, yang paling menarik adalah manusia itu sendiri.
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain: Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir, berperasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri.
Dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal manusia. Mengenal berarti dapat memahami; berarti pula kita dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu, misalnya, sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia memahami perasaan orang lain (empati), dan lain sebagainya. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual dari orang tersebut.
B. SEJARAH ILMU PSIKOLOGI
Pada zaman sebelum Masehi, jiwa manusia sudah menjadi topik pembahasan para filsuf. Saat itu, para Filsuf sudah membicarakan aspek-aspek kejiwaan manusia dan mereka mencari dalil, pengertian, serta pelbagai aksioma umum, yang berlaku pada manusia. Ketika itu, psikologi memang sangat dipengaruhi oleh cara-cara berpikir filsafat dan terpengaruh oleh filsafatnya sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena para ahli psikologi pada masa itu adalah juga ahli-¬ahli filsafat atau para ahli filsafat waktu itu juga ahli psikologi. Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para filsuf dan para ahli ilmu faal (fisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Selain pengaruh dari ilmu faal, psikologi juga dipengaruhi oleh satu hal yang tidak sepenuhnya berhubungan dengan ilmu faal, meskipun masih erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, yaitu hipnotisme.
Psikologi, dikukuhkan sebagai ilmu yang berdiri sendiri oleh Wilhelm Wundt dengan didirikannya Laboratorium Psikologi pertama di dunia, di Leipzig, pada tahun 1879. Sebelumnya, bibit-bibit psikologi sosial mulai tumbuh, yaitu ketika Lazarus & Steindhal pada tahun 1860 mempelajari bahasa, tradisi, dan institusi masyarakat untuk menemukan "jiwa umat manusia" (human mind) yang berbeda dari "jiwa individual".
Usaha Lazarus & Steindhal, yang sangat dipengaruhi oleh ilmu antropologi tersebut, kemudian dikembangkan oleh Wundt sendiri, yang pada tahun 1880, mulai mempelajari "Psikologi Rakyat" (Folk Psychology) dan menyejajarkannya dengan psikologi individual dalam eksperimen-¬eksperimennya. Eksperimen Wundt dalam bidang psikologi rakyat itu, antara lain, untuk menemukan "proses mental yang lebih tinggi" (higher mental process) dari kelompok atau rakyat, yang berbeda dari proses mental individual.
Yang diteliti dalam laboratorium psikologi tersebut, terutama mengenai gejala pengamatan dan tanggapan manusia, seperti persepsi, reproduksi, ingatan, asosiasi, dan fantasi. Tampak benar bahwa tokoh-tokoh psikologi eksperimental ini terutama meneliti gejala-gejala yang termasuk Bewusztseinpsychologie, atau gejala-gejala psikis yang berlangsung di dalam jiwa yang sadar bagi diri manusia itu, sesuai dengan rumusan Descartes mengenai jiwa, yaitu bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu pengetahuan mengenai gejala-gejala kesadaran manusia. Gejala-gejala jiwa "bawah sadar" belum diperhatikannya. Tokoh lain pada awal dijadikannya psikologi sebagai ilmu yang mandiri, selain Fechner, adalah Herman Ludwig Ferdinand von Helmholtz (1821¬1894). Helmholtz dikenal sebagai seorang empiriskus dengan keahlian dalam ilmu faal, fisika, dan psikologi. la dilahirkan di dekat Berlin di Potsdam. Ayahnya adalah seorang tentara yang kemudian menjadi guru dalam mata pelajaran filsafat dan bahasa (filologi).
Beberapa penemuan penting dari Helmholtz yang perlu dicatat adalah Tahun 1850, ia menghitung kecepatan jalannya impuls; tahun 1856, ia mengemukakan bahwa semua warna sebenarnya berasal dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru; tahun 1863, ia mengemukakan bahwa perbedaan suara yang dapat kita dengar disebabkan adanya reseptor pada telinga bagian dalam (cochlea atau rumah siput), dan reseptor ini disebut membrana basillaris. Selain itu, ia juga banyak menyelidiki tentang pengamatan, kemudian ia mengemukakan suatu doktrin yang disebut unconscious inference atau unbewusster suhluse, yaitu penyimpulan terhadap suatu rangsang dipengaruhi oleh adanya; faktor-faktor yang tidak disadari. Apa yang masuk dalam pengamatan kita, kadang-kadang hanya samar atau mungkin hanya sebagian saja yang mastik dalam lapangan pengamatan kita. Meskipun demikian, kita dapat mangamati rangsang itu dengan jelas ataupun mengamati objek secara keseluruhan.
C. PENGERTIAN PSIKOLOGI
Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti ,"ilmu". Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an Entroduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Ada dua macam pengertian Ilmu Jiwa yang dikemukakan oleh Gerungan, yaitu : lmu jiwa itu merupakan istilah bahasa indonesia sehari-hari dan dikenal tiap-tiap orang sehingga ilmu jiwa dapat digunakan dalam arti yang luas dan telah lazim dipahami orang, dan ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan tetapi juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu.
Sekalipun sulit untuk memberikan jawaban atas pertanyaan apa sebenarnya jiwa itu namun pada kenyataannya manusia itu berjiwa. Sekalipun jiwa itu sendiri tidak tampak tetapi dapat dilihat dari keadaan-keadaan yang dapat dipandang sebagai gejala-gejala kehidupan kejiwaan. Mis, orang yang sedang menggerutu, suatu pertanda ada perasaan tidak senang dalam hatinya. Orang yang lari menandakan bahwa ada sesuatu yang harus diselesaikan atau menghidari sesuatu dan lainnya.
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, ada baiknya kita melihat lagi beberapa pendapat dari para ahli tentang apa yang dimaksud dengan psikologi.
1. Menurut Wundt (Devidoff,1981); Psikologi itu merupakan ilmu tentang kesadaran manusia (The Science of Human Consciouness). Dimana para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses elementer dari kesadaran manusia itu. Unsur kesadaran merupakan hal yang dipelajari dalam psikologi.
2. Menurut Woodworth dan Marquis (1957); mengajukan pendapat bahwa yang dimaksud dengan psikologi itu merupakan ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu dalam arti yang luas baik aktivitas motorik, kognitif maupun emosional.
3. Menurut Branca (1964); Dalam bukunya berjudul Psychology : The science of Behavior, telah jelas bahwa apa yang dimaksud dengan psikologi merupakan ilmu tentang prilaku dan dalam hal ini menyangkut prilaku pada manusia.
Senada dengan yang diungkapkan Branca dikemukakan lagi oleh Morgan (1984) yang menyatakan bahwa Psychology is the science of human and animal behavior, namun penerapan ilmu itu pada manusia. Demikian pula yang dikemukakan oleh Sartain (1967) yang menyatakan bahwa psikologi merupakan The science of human behavior. Apabila ditelaah pendapat dari Woodworth dan Marquis, Branca, Morgan serta Sartain jelas terlihat hal yang senada. Namun dengan penjelasan diatas menunjukkan bahwa para ahli tidak mempunyai kata sepakat dalam mendefinisikan apa itu psikologi.
Seperti yang telah dikemukakan diatas psikologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu. Karena itu psikologi merupakan ilmu yang meneliti atau mempelajari tentang prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi hidup kejiwaan. Prilaku atau aktivitas disini dalam arti yang sangat luas yaitu meliputi prilaku yang tampak/kelihatan (overt behavior) dan juga prilaku yang tidak tampak (innert behavior) atau menurut Woodworth ialah aktivitas motorik, kognitif dan emosional.
D. ALIRAN-ALIRAN DALAM PSIKOLOGI
1. Strukturalisme (Structuralism)
Struktur adalah sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lain berkaitan. Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan perubahan hubungan antarunsur tersebut. Jadi, hubungan antarunsur akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang. Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada awal berdirinya psikologi sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri, psikologi didominasi oleh gagasan serta usaha mempelajari elemen-elemen dasar dari kehidupan mental orang dewasa normal, melalui penelitian laboratorium dengan menggunakan metode introspeksi. Pada masa itu, tercatat satu aliran psikologi yang disebut psikologi strukturalisme. Tokoh psikologi strukturalisme ini adalah Wilhelm Wundt.
Wundt dan pengikut-pengikutnya disebut strukturalis karena mereka berpendapat bahwa pengalaman mental yang kompleks itu sebenarnya adalah "struktur" yang terdiri atas keadaan-keadaan mental yang sederhana, seperti halnya persenyawaan-persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsur-unsur kimiawi. Mereka bekerja atas dasar premis bahwa bidang usaha psikologi itu, terutama, adalah menyelidiki "struktur" kesadaran dan mengembangkan hukum-hukum pembentukannya. Pendekatan mereka yang terutama ialah dengan analisis introspektif.
Seperti tercermin dalam namanya, aliran ini berpendapat bahwa untuk mempelajari gejala kejiwaan, kita harus mempelajari isi dan struktur kejiwaan. Kaum strukturalis, yang dipelopori oleh Wundt, menggunakan metode introspeksi atau mawas diri, yaitu orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan suatu eksperimen. Misalnya, kepada orang percobaan ditunjukkan sebuah warna atau bentuk; setelah itu, ia diminta untuk mengatakan apakah bentuk itu indah atau tidak indah, menarik atau tidak menarik, dan sebagainya. Karena metode introspeksi ini, strukturalisme dapat juga disebut sebagai psikologi introspeksi (introspective psychology).
Ciri-ciri dari psikologi strukturalisme Wundt adalah penekanannya pada analisis atas proses kesadaran yang dipandang terdiri atas elemen¬-elemen dasar, serta usahanya menemukan hukum-hukum yang membawahi hubungan antarelemen kesadaran tersebut. Karena pandangannya yang elementalistik ini, psikologi strukturalisme disebut juga psikologi elementalisme. Selain dipandang terdiri atas elemen-elemen dasar, kesadaran, oleh Wundt dan oleh para ahli psikologi lainnya pada masa itu, dipandang sebagai aspek yang utama dari kehidupan mental. Segala sesuatu atau proses yang terjadi dalam diri manusia, selalu dianggap bersumber pada kesadaran.
2. Aliran Fungsionalisme (Functional Psychology)
Aliran psikologi ini merupakan reaksi terhadap strukturalisme.tentang keadaan-keadaan mental. Jika para strukturalis bertanya "Apa kesadaran itu", para fungsionalis bertanya "Untuk apa kesadaran itu". Apa tujuan dan fungsinya? Karena ingin mempelajari cara orang menggunakan pengalaman mental untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, mereka disebut fungsionalis.
Fungsionalisme adalah suatu tendensi dalam psikologi yang menyatakan bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah adaptasi organisme biologis Drever (1988 menyebut fungsionalisme (functional Psychology) sebagai suatu jenis psikologi yang menggarisbawahi fungsi-fungsi dan bukan hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan organisme itu, dan bukan menggambarkan atau menganalisis fakta-fakta pengalaman atau kelakuan; atau suatu psikologi yang mendekati masalah pokok dari sudut pandang yang dinamis, dan bukan dari sudut pandang statis.
Apa pun rumusan tentang fungsionalisme, aliran psikologi ini pada intinya merupakan doktrin bahwa proses atau keadaan sadar seperti kehendak bebas, berpikir, beremosi, memersepsi, dan mengindrai adalah aktivitas-aktivitas atau operasi-operasi dari sebuah organisme dalam kesalinghubungan fisik dengan sebuah lingkungan fisik dan tidak dapat diberi eksistensi yang penting. Aktivitas ini memudahkan kontrol organisme, daya tahan hidup, adaptasi, keterikatan atau penarikan diri, pengenalan, pengarahan, dan lain-lain. Seluruh organisme dapat dianalisis sebagai sebuah sistem umpan batik dan stimulus respons.
3. Aliran Psikoanalisis
Lahirnya aliran psikoanalisis dalam dunia psikologi oleh para ahli psikologi sering dianalogikan dengan revolusi Convernican dalam natural science; dicaci, ditolak, tapi pada akhirnya diagungkan. Kritik terhadap Sigmund Freud (1856-1940) sebagai "bapak psikoanalisis" lebih didasarkan pada metodenya yang dianggap tidak baku, subjektif, dan jumlah klien sedikit dan semuanya pasien klinis (penderita gangguan jiwa). Para penentang Freud tidak bisa menerima bahwa analisis dari para pasien sakit jiwa dapat digeneralisasikan pada populasi umum.
Di pihak lain, Freud dianggap banyak memberi kontribusi pada perkembangan psikologi, khususnya dalam hal mengembangkan konsep motivasi dari alam ketidaksadaran dan mengarahkan fokus penelitian pada pengaruh pengalaman masa awal kehidupan atau masa anak terhadap perkembangan kepribadian selanjutnya sampai dewasa. Di samping itu, Freud juga merangsang studi yang intensif tentang emosi, yaitu cinta, takut, cemas, dan seks.
Dalam soal seks, teori Freud yang menyatakan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id (libido seksualita), mendapat tantangan keras. Dalam libido seksualitas, seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud memenuhi hasrat seksualnya. Teori ini dipandang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Dalam pandangan psikologi humanistik, teori Freud hanya menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia, yaitu kebutuhan fisiologis dan tak mampu memberikan penjelasan untuk empat kebutuhan manusia yang lain.
Tak ayal lagi, teori Freud yang banyak menyelidiki sexual instinct manusia ini merupakan daya tarik, sekaligus sumber kehebohan. Seksualitas, bagi Freud, merupakan daya hidup. Libido, istilah Freud, merupakan life instinct yang memberi motivasi manusia untuk makan, minum, beristirahat, dan prokreasi. Kaum agama dan sebagian intelektual, dengan sisa pengaruh Victorian yang kuat waktu itu mencaci (teori) Freud yang pen-seksual habis¬-habisan. Selain itu, Freud juga mengatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian, yang disebut Id atau Es, Ego atau Ich, dan Super-go atau Uber Ich. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia - pusat insting.
Id selalu berprinsip memenuhi kesenangannya sendiri (pleasure principle), termasuk di dalamnya naluri, seks dan agresivitas (Sarwono, 1997:58). Meskipun Id mampu melahirkan keinginan, ia tidak mampu memuaskan keinginannya. Sistem kepribadian yang kedua ialah Ego. Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dan 'tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu me~undukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ia bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
Sistem kepribadian yang ketiga Super-Ego - berisi kata hati atau conscience. Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai-nilai moral, sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan yang datang dari Id. Super-Ego menghendaki agar dorongan-dorongan tertentu saja dari Id yang direalisasikan; sedangkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, tetap tidak dipenuhi. Karena itu, ada semacam kontradiksi antara Id dan Super Ego yang harus dapat memenuhi tuntunan kedua sistem kepribadian lainnya ini secara seimbang. Kalau Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan-larangan dari Super Ego, individu yang bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus; dan konflik ini akan menjadi dasar dari neurose.
4. Aliran Psikologi Gestalt (Gestalt Psychology)
Berbagai istilah bahasa Inggris telah dicoba untuk menerjemahkan istilah Gestalt ini, antara lain Shape Psychology (diajukan oleh Spearman) dan Configurationism (diajukan oleh Titchener). Namun, istilah-istilah tersebut rupanya, tidak "pas"; dalam arti, tidak bisa menggambarkan arti yang sesungguhnya dari istilah itu dalam bahasa Jerman. Sebab itu, istilah Gestalt tetap digunakan sebagaimana adanya dalam bahasa Inggris dan juga oleh kalangan para ahli psikologi di Indonesia.
Eksperimen Gestalt pertama, menurut Atkinson clan kawan-kawan, adalah mempelajari gerakan, terutama fenomena phi. Jika dua cahaya dinyalakan secara berurutan (asalkan waktu dan lokasi spasialnya tepat), subjek melihat cahaya tunggal bergerak dari posisi cahaya pertama ke cahaya kedua. Fenomena kesan pergerakan ini telah banyak diketahui, tetapi ahli psikologi Gestalt menangkap kepentingan teoretis pola stimuli dalam menghasilkan efek. Pengalaman kita bergantung pada pola yang dibentuk oleh stimuli dan pada organisasi pengalaman, menurut mereka. Apa yang kita lihat adalah relatif terhadap latar belakang, dengan aspek lain dari keseluruhan. Keseluruhan berbeda dengan penjumlahan bagian-bagiannya; keseluruhan terbagi atas bagian dari suatu hubungan.
Memang, seperti disinggung di muka, bagi aliran Gestalt, yang utama bukanlah elemen, tetapi keseluruhan. Kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis ke dalam elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipelajari sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan, dalam pandangan aliran Gestalt, lebih dari sekadar penjumlahan unsur-unsurnya. Keseluruhan itu lebih dahulu ditanggapi dari bagian-bagiannya, dan bagian¬bagian itu harus memperoleh makna dalam keseluruhan. Arti atau makna Gestalt bergantung pada unsur-unsurnya; clan sebaliknya, arti unsur-unsur itu bergantung pula pada Gestalt.
5. Aliran Behaviorisme (Behaviorism)
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Sama halnya dengan psikoanalisis, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Sejumlah filsuf dan ilmuwan sebelum Watson, dalam satu dan lain bentuk, telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari manusia, berdasarkan pendekatan yang mekanistik dan materialistik, suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang di antaranya adalah Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, kaum behavioris lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia, kecuali insting, adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Tentu saja, behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Skinner berpendapat, kepribadian terutama adalah hasil dari sejarah penguatan pribadi individu (individual's personal history of reinforcement). Meskipun pembawaan genetis (genetis endowment) turut berperan, kekuatan-kekuatan sangat menentukan perilaku khusus yang terbentuk dan dipertahankan, serta merupakan khas bagi individu yang bersangkutan. Skinner tidak tertarik dengan variabel struktural dari kepribadian. Menurutnya, orang mungkin berilusi dalam menjelaskan dan meramalkan perilaku berdasarkan faktor-faktor dalam kepribadian, tetapi ia dapat mengubah perilaku dan mengendalikannya hanya dengan mengubah ciri-ciri lingkungan.
6. Aliran Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah pendekatan psikologi yang memusatkan perhatian pada cara kita merasakan, mengolah, menyimpan, dan merespons informasi. Pendekatan kognitif dapat diterapkan pada hampir semua bidang psikologi. Pada bagian terakhir bab ini, kita akan melihat dua contoh pendekatan kognitif. Psikologi kognitif termasuk bidang studi utama yang berdiri sendiri dan sebagian besar isi bab ini disediakan untuk itu.
Dalam hal ini, ada baiknya bila pokok permasalahan psikologi kognitif diperjelas dengan lebih seksama. Secara umum, proses-proses kognitif dapat dibagi menjadi lima bidang studi: persepsi (perception), perhatian (attention), ingatan (memory), bahasa (language), dan berpikir (thinking). Persepsi adalah memasukkan dan menganalisa informasi dari dunia luar. Proses perhatian memungkinkan kita berkonsentrasi pada satu sumber informasi atau lebih dan tetap mempertahankan konsentrasi tersebut. Ingatan adalah simpanan informasi tentang fakta, kejadian, dan keterampilan. Bahasa meliputi penggunaan lambang-lambang sebagai alat komunikasi dan berpikir. Agak sulit untuk mendefinisikan berpikir, tetapi Groome et al. (1999) menyatakan, berpikir meliputi 'beragam aktivitas mental seperti memikirkan gagasan, mendapatkan ide-ide baru, membuat teori, memperdebatkan sesuatu, membuat Keputusan, dan memecahkan masalah.
7. Aliran Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik berkembang sebagai pemberontakan terhadap yang dianggap sebagian ahli psikologi sebagai keterbatasan psikologi perilaku dan psikodinamika. Pada 1930-an dan 1940-an, para ahli teori perilaku membatasi semua tingkah laku manusia menjadi serangkaian respons yang dikondisikan, sementara ahli teori psikodinamika selalu memikirkan teori-teori kompleks mengenai pikiran bawah sadar. Aliran humanistik bertujuan memulihkan keseimbangan dalam psikologi dengan berfokus pada kebutuhan-kebutuhan manusia dan pengalaman manusia biasa lewat sesedikit mungkin teori. Karena itulah, meskipun pengaruhnya dalam psikologi kontemporer tidak sedahsyat nama-nama besar lainnya, pendekatan humanistik sering disebut "kekuatan ketiga" dalam psikologi. Tokoh yang paling berpengaruh, yaitu Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Tujuan psikologi humanistik adalah membantu manusia memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya. Artinya, praktek humanistik dalam terapi, pendidikan atau di tempat kerja, selalu dipusatkan untuk menciptakan kondisi-kondisi agar manusia dapat menentukan pikiran dan mengikuti tujuannya sendiri. Beberapa prinsip penting dalam psikologi humanistik yaitu:
Manusia dimotivasi oleh adanya keinginan untuk berkembang dan memenuhi potensinya.
Manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Kita semua bisa memutuskan bagaimana cara kita menjalani hidup. Penekanan pada kehendak bebas (free will) ini sangat berlawanan dengan pendekatan perilaku dan psikodinamika yang lebih menekankan pada apa yang menyebabkan kita berperilaku demikian (ini disebut determinisme).
Kita dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap diri sendiri, yang berasal dari cara orang lain memperlakukan kita.
E. PENGKAJIAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Dalam konteks studi islam, ada dua tipe pendekatan terhadap psikologi islami yaitu: Mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan psikologi dalam hubungannya dengan islam adalah konsep psikologi modern yang telah kita kenal selama ini yang telah mengalami proses filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan islam. Jadi, konsep-konsep atau teori aliran-aliran psikologi modern kita terima secara kritis, menurut pandangan ini, tugas kita adalah membuang konsep-konsep yang kontra atau yang anti terhadap islam.
Mereka berpandangan bahwa psikologi modern yang ada dan yang kita kenal pada selama ini bisa sja kita sebut Islami asalkan sesuai dengan pandangan islam. Salah satu aliran psikologi yang termasuk Islami adalah psikologi Humanistik. Seorang pemikir psikologi Islam berpandangan bahwa teori-teori Psikologi barat dapat kita manfaatkan dan dapat disebut psikologi Islami asalkan praktiknya berwawasan Islam. Ia mengungkapkan bahwa konsep tentang struktur kepribadian manusa yang dibangun oleh tokoh-tokoh modern seperti alam sadar, pra sadar dan tak sadar (psikoanalisis), afeksi, konasi & kognisi (Behavior) serta dimensi somatis, psikis dan neotik (Humanistik) dll, dapat kita pandang sebagai Islam setelah semua unsur dalam struktur kepribadian tersebut di ungkap dalam konsep ruh.
Dengan penekanannya pada pengembangan pribadi dan pentingnya pengalaman hidup individu di dunia, tradisi humanistik tergolong unik karena inilah satu-satunya pendekatan psikologi yang cocok dengan gagasan spiritualitas. Walaupun tidak semua pandangan ahli psikologi bersifat spiritual atau religius, walaupun Anda tidak harus menjadi seorang yang religius atau spiritual untuk menerapkan atau menarik manfaat dari psikologi humanistik, namun ada keterkaitan yang kuat antara pendekatan ini dengan keagamaan.
Berdasarkan penjabaran di atas, psikologi Islam di artikan sebagai perspektif modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai dengan Islam. Psikologi adalah disiplin Ilmu yang sekuler dan karenanya memberikan wawasan Islam terhadap konsep psikologi modern adalah suatu cara agar konsep-konsep yang dipakai mengalami filterisasi dan tidak menyesatkan. Salah satu hal dalam psikologi yang berkaitan dengan dunia Islam sebagai berikut dalam Firman Allah (QS 41: 31), “kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri”. Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta ini maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukkan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang di maksud dengan “sesuatu” tersebut adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berilmu.
Dalam hal ini bisa kita lihat lebih dalam bahwa manusia memiliki peranan penting dalam Al-qur’an, kalau diperhatikan lebih cermat, salah satu istilah yang berkenaan dengan manusia yaitu nafs yang di sebut ratusan kali, belum lagi al-naas, al basyar, dan al-insaan. Istilah tersebut menunjukkan betapa Alqur’an banyak sekali berbicara tentang manusia. Secara kompleksitas, dan bisa dijadikan lahan kajian, dalam Al-qur’an banyak yg berbicara tentang diri manusia yang berkaitan dengan psikologi seperti, Nafs, Ruh, Aql, Qolb, Fitrah, Akhlak dsb. Jiwa atau Nafs bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan keadaan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas.
Secara garis besar, psikologi juga banyak kaitannya dengan agama, menurut Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama, psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Menurt Prof Zakiyah Drajat, menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama yang di anut). Dalam hal ini bisa dikaitkan denga teori humanistik bahwasanya manusia adalah makhluk yang positif, manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini manusia bisa memilih akan menjalankan agama yang dianut seperti apa, mengikuti perasaan hati dan kesadaran atas apa yang dia kerjakan.
Seperti penjabaran di atas, hasil kajan ppsikologi juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehdupan seperti kehidupan, seperti bidang pendidikan, interaksi sosial, perkembangan manusia dan lain sebagainya. Dalam bidang pendidikan di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagai hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian pendidikan Islam ini tidak hanya dibatasi oleh institusi atau lapangan pendidikan tertentu, pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas. Salah satu contohnya pendidikan dalam keluarga, pendidikan pertama pada anak adalah keluarga, dari keluarga anak belajar banyak hal seperti sopan-santun, belajar mengenal agama sampai pada tolerasi dan kasih sayang. Karena ibaranya keluarga merupakan lingkungan kecil yang membentuk suatu karakter pada diri anak. Oleh sebab itu diharapka orang tua sebagai pendidik sekaligus modelling bagi anak, dapat memberikan contoh yang baik, karena pada dasarnya anak belajar dari apa yang dia lihat, apa yang dia model, hal ini kaitannya dengan psikologi perilaku (behavior).
F. KESIMPULAN
Dari berbagai macam uraian di atas, definisi psikologi adalah: Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti ,"ilmu". Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Psikologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu. Karena itu psikologi merupakan ilmu yang meneliti atau mempelajari tentang prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi hidup kejiwaan. Prilaku atau aktivitas disini dalam arti yang sangat luas yaitu meliputi prilaku yang tampak/kelihatan (overt behavior) dan juga prilaku yang tidak tampak (innert behavior) atau menurut Woodworth ialah aktivitas motorik, kognitif dan emosional.
Karena pada dasarnya psikologi adalah ilmu yang membahas tentang keadaan kejiwaan manusia, aktivitas kejiwaan yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu sangat erat sekali kaitannya dengan manusia dan Islam, bahkan dalam Al-Qur’an banyak sekali hal-hal yang dijelaskan berkaitan dengan Nafs, yaitu jiwa manusia. Hubungan psikologi dengan studi islam adalah banyak sekali dalam berbagai aspek kehidupan, dalam bidang pendidikan, sosial, perkembangan manusia, bahkan ada psikologi Agama, Psikologi Dzikir, Psikologi sosial dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Ancok, D. & Suroso. 1994. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Jalaluddin. H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sianturi, N. 2004. Materi Ajar Psikologi Umum. Hand Out Psikologi Umum
Watson J.B. (1913) Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review 20, 158-177.
Walgito, B. 2000. Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset
Widyana, R. 2008. Psikologi Kognitif. Hand Out Psikologi Kognitif
A. PENDAHULUAN
Apa yang menarik perhatian manusia? "One thing only interests all human being always, and that is the human being himself,." kata John M. Siddal, editor American Magazine (Miller, dalam Mott and others, 1969:62). Jadi hanya satu hal saja yang selalu menarik perhatian manusia, yaitu manusia itu sendiri. Memang, di antara sekian banyak segi kehidupan dunia yang telah diteliti manusia, yang paling menarik adalah manusia itu sendiri.
Ada juga yang mempunyai alasan mempelajari psikologi atau pengetahuan perilaku manusia itu, karena untuk lebih mengenal diri, mengenal siapa "aku" ini sebenarnya, dan dengan pengenalan ini, dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang lain: Di sini, kemudian muncul alasan lain, yaitu keinginan untuk bergaul dengan orang lain. Mereka harus tahu mengapa orang itu berpikir, berperasaan, dan berbuat menurut caranya sendiri-sendiri.
Dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal manusia. Mengenal berarti dapat memahami; berarti pula kita dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha mengetahui aspek-aspek kepribadian (personality traits). Salah satu sikap kepribadian itu, misalnya, sikap keterbukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar, bersedia memahami perasaan orang lain (empati), dan lain sebagainya. Dan sikap ini bersifat menetap serta menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik, yang individual dari orang tersebut.
B. SEJARAH ILMU PSIKOLOGI
Pada zaman sebelum Masehi, jiwa manusia sudah menjadi topik pembahasan para filsuf. Saat itu, para Filsuf sudah membicarakan aspek-aspek kejiwaan manusia dan mereka mencari dalil, pengertian, serta pelbagai aksioma umum, yang berlaku pada manusia. Ketika itu, psikologi memang sangat dipengaruhi oleh cara-cara berpikir filsafat dan terpengaruh oleh filsafatnya sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena para ahli psikologi pada masa itu adalah juga ahli-¬ahli filsafat atau para ahli filsafat waktu itu juga ahli psikologi. Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para filsuf dan para ahli ilmu faal (fisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua ilmu tersebut. Selain pengaruh dari ilmu faal, psikologi juga dipengaruhi oleh satu hal yang tidak sepenuhnya berhubungan dengan ilmu faal, meskipun masih erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, yaitu hipnotisme.
Psikologi, dikukuhkan sebagai ilmu yang berdiri sendiri oleh Wilhelm Wundt dengan didirikannya Laboratorium Psikologi pertama di dunia, di Leipzig, pada tahun 1879. Sebelumnya, bibit-bibit psikologi sosial mulai tumbuh, yaitu ketika Lazarus & Steindhal pada tahun 1860 mempelajari bahasa, tradisi, dan institusi masyarakat untuk menemukan "jiwa umat manusia" (human mind) yang berbeda dari "jiwa individual".
Usaha Lazarus & Steindhal, yang sangat dipengaruhi oleh ilmu antropologi tersebut, kemudian dikembangkan oleh Wundt sendiri, yang pada tahun 1880, mulai mempelajari "Psikologi Rakyat" (Folk Psychology) dan menyejajarkannya dengan psikologi individual dalam eksperimen-¬eksperimennya. Eksperimen Wundt dalam bidang psikologi rakyat itu, antara lain, untuk menemukan "proses mental yang lebih tinggi" (higher mental process) dari kelompok atau rakyat, yang berbeda dari proses mental individual.
Yang diteliti dalam laboratorium psikologi tersebut, terutama mengenai gejala pengamatan dan tanggapan manusia, seperti persepsi, reproduksi, ingatan, asosiasi, dan fantasi. Tampak benar bahwa tokoh-tokoh psikologi eksperimental ini terutama meneliti gejala-gejala yang termasuk Bewusztseinpsychologie, atau gejala-gejala psikis yang berlangsung di dalam jiwa yang sadar bagi diri manusia itu, sesuai dengan rumusan Descartes mengenai jiwa, yaitu bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu pengetahuan mengenai gejala-gejala kesadaran manusia. Gejala-gejala jiwa "bawah sadar" belum diperhatikannya. Tokoh lain pada awal dijadikannya psikologi sebagai ilmu yang mandiri, selain Fechner, adalah Herman Ludwig Ferdinand von Helmholtz (1821¬1894). Helmholtz dikenal sebagai seorang empiriskus dengan keahlian dalam ilmu faal, fisika, dan psikologi. la dilahirkan di dekat Berlin di Potsdam. Ayahnya adalah seorang tentara yang kemudian menjadi guru dalam mata pelajaran filsafat dan bahasa (filologi).
Beberapa penemuan penting dari Helmholtz yang perlu dicatat adalah Tahun 1850, ia menghitung kecepatan jalannya impuls; tahun 1856, ia mengemukakan bahwa semua warna sebenarnya berasal dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru; tahun 1863, ia mengemukakan bahwa perbedaan suara yang dapat kita dengar disebabkan adanya reseptor pada telinga bagian dalam (cochlea atau rumah siput), dan reseptor ini disebut membrana basillaris. Selain itu, ia juga banyak menyelidiki tentang pengamatan, kemudian ia mengemukakan suatu doktrin yang disebut unconscious inference atau unbewusster suhluse, yaitu penyimpulan terhadap suatu rangsang dipengaruhi oleh adanya; faktor-faktor yang tidak disadari. Apa yang masuk dalam pengamatan kita, kadang-kadang hanya samar atau mungkin hanya sebagian saja yang mastik dalam lapangan pengamatan kita. Meskipun demikian, kita dapat mangamati rangsang itu dengan jelas ataupun mengamati objek secara keseluruhan.
C. PENGERTIAN PSIKOLOGI
Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti ,"ilmu". Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. "Pada masa lampau," demikian kata Paul Mussen dan Mark R. Rosenzwieg dalam buku mereka, Psychology an Entroduction, "psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Ada dua macam pengertian Ilmu Jiwa yang dikemukakan oleh Gerungan, yaitu : lmu jiwa itu merupakan istilah bahasa indonesia sehari-hari dan dikenal tiap-tiap orang sehingga ilmu jiwa dapat digunakan dalam arti yang luas dan telah lazim dipahami orang, dan ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan tetapi juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu.
Sekalipun sulit untuk memberikan jawaban atas pertanyaan apa sebenarnya jiwa itu namun pada kenyataannya manusia itu berjiwa. Sekalipun jiwa itu sendiri tidak tampak tetapi dapat dilihat dari keadaan-keadaan yang dapat dipandang sebagai gejala-gejala kehidupan kejiwaan. Mis, orang yang sedang menggerutu, suatu pertanda ada perasaan tidak senang dalam hatinya. Orang yang lari menandakan bahwa ada sesuatu yang harus diselesaikan atau menghidari sesuatu dan lainnya.
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, ada baiknya kita melihat lagi beberapa pendapat dari para ahli tentang apa yang dimaksud dengan psikologi.
1. Menurut Wundt (Devidoff,1981); Psikologi itu merupakan ilmu tentang kesadaran manusia (The Science of Human Consciouness). Dimana para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses elementer dari kesadaran manusia itu. Unsur kesadaran merupakan hal yang dipelajari dalam psikologi.
2. Menurut Woodworth dan Marquis (1957); mengajukan pendapat bahwa yang dimaksud dengan psikologi itu merupakan ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu dalam arti yang luas baik aktivitas motorik, kognitif maupun emosional.
3. Menurut Branca (1964); Dalam bukunya berjudul Psychology : The science of Behavior, telah jelas bahwa apa yang dimaksud dengan psikologi merupakan ilmu tentang prilaku dan dalam hal ini menyangkut prilaku pada manusia.
Senada dengan yang diungkapkan Branca dikemukakan lagi oleh Morgan (1984) yang menyatakan bahwa Psychology is the science of human and animal behavior, namun penerapan ilmu itu pada manusia. Demikian pula yang dikemukakan oleh Sartain (1967) yang menyatakan bahwa psikologi merupakan The science of human behavior. Apabila ditelaah pendapat dari Woodworth dan Marquis, Branca, Morgan serta Sartain jelas terlihat hal yang senada. Namun dengan penjelasan diatas menunjukkan bahwa para ahli tidak mempunyai kata sepakat dalam mendefinisikan apa itu psikologi.
Seperti yang telah dikemukakan diatas psikologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu. Karena itu psikologi merupakan ilmu yang meneliti atau mempelajari tentang prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi hidup kejiwaan. Prilaku atau aktivitas disini dalam arti yang sangat luas yaitu meliputi prilaku yang tampak/kelihatan (overt behavior) dan juga prilaku yang tidak tampak (innert behavior) atau menurut Woodworth ialah aktivitas motorik, kognitif dan emosional.
D. ALIRAN-ALIRAN DALAM PSIKOLOGI
1. Strukturalisme (Structuralism)
Struktur adalah sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lain berkaitan. Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan perubahan hubungan antarunsur tersebut. Jadi, hubungan antarunsur akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang. Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada awal berdirinya psikologi sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri, psikologi didominasi oleh gagasan serta usaha mempelajari elemen-elemen dasar dari kehidupan mental orang dewasa normal, melalui penelitian laboratorium dengan menggunakan metode introspeksi. Pada masa itu, tercatat satu aliran psikologi yang disebut psikologi strukturalisme. Tokoh psikologi strukturalisme ini adalah Wilhelm Wundt.
Wundt dan pengikut-pengikutnya disebut strukturalis karena mereka berpendapat bahwa pengalaman mental yang kompleks itu sebenarnya adalah "struktur" yang terdiri atas keadaan-keadaan mental yang sederhana, seperti halnya persenyawaan-persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsur-unsur kimiawi. Mereka bekerja atas dasar premis bahwa bidang usaha psikologi itu, terutama, adalah menyelidiki "struktur" kesadaran dan mengembangkan hukum-hukum pembentukannya. Pendekatan mereka yang terutama ialah dengan analisis introspektif.
Seperti tercermin dalam namanya, aliran ini berpendapat bahwa untuk mempelajari gejala kejiwaan, kita harus mempelajari isi dan struktur kejiwaan. Kaum strukturalis, yang dipelopori oleh Wundt, menggunakan metode introspeksi atau mawas diri, yaitu orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan suatu eksperimen. Misalnya, kepada orang percobaan ditunjukkan sebuah warna atau bentuk; setelah itu, ia diminta untuk mengatakan apakah bentuk itu indah atau tidak indah, menarik atau tidak menarik, dan sebagainya. Karena metode introspeksi ini, strukturalisme dapat juga disebut sebagai psikologi introspeksi (introspective psychology).
Ciri-ciri dari psikologi strukturalisme Wundt adalah penekanannya pada analisis atas proses kesadaran yang dipandang terdiri atas elemen¬-elemen dasar, serta usahanya menemukan hukum-hukum yang membawahi hubungan antarelemen kesadaran tersebut. Karena pandangannya yang elementalistik ini, psikologi strukturalisme disebut juga psikologi elementalisme. Selain dipandang terdiri atas elemen-elemen dasar, kesadaran, oleh Wundt dan oleh para ahli psikologi lainnya pada masa itu, dipandang sebagai aspek yang utama dari kehidupan mental. Segala sesuatu atau proses yang terjadi dalam diri manusia, selalu dianggap bersumber pada kesadaran.
2. Aliran Fungsionalisme (Functional Psychology)
Aliran psikologi ini merupakan reaksi terhadap strukturalisme.tentang keadaan-keadaan mental. Jika para strukturalis bertanya "Apa kesadaran itu", para fungsionalis bertanya "Untuk apa kesadaran itu". Apa tujuan dan fungsinya? Karena ingin mempelajari cara orang menggunakan pengalaman mental untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, mereka disebut fungsionalis.
Fungsionalisme adalah suatu tendensi dalam psikologi yang menyatakan bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah adaptasi organisme biologis Drever (1988 menyebut fungsionalisme (functional Psychology) sebagai suatu jenis psikologi yang menggarisbawahi fungsi-fungsi dan bukan hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan organisme itu, dan bukan menggambarkan atau menganalisis fakta-fakta pengalaman atau kelakuan; atau suatu psikologi yang mendekati masalah pokok dari sudut pandang yang dinamis, dan bukan dari sudut pandang statis.
Apa pun rumusan tentang fungsionalisme, aliran psikologi ini pada intinya merupakan doktrin bahwa proses atau keadaan sadar seperti kehendak bebas, berpikir, beremosi, memersepsi, dan mengindrai adalah aktivitas-aktivitas atau operasi-operasi dari sebuah organisme dalam kesalinghubungan fisik dengan sebuah lingkungan fisik dan tidak dapat diberi eksistensi yang penting. Aktivitas ini memudahkan kontrol organisme, daya tahan hidup, adaptasi, keterikatan atau penarikan diri, pengenalan, pengarahan, dan lain-lain. Seluruh organisme dapat dianalisis sebagai sebuah sistem umpan batik dan stimulus respons.
3. Aliran Psikoanalisis
Lahirnya aliran psikoanalisis dalam dunia psikologi oleh para ahli psikologi sering dianalogikan dengan revolusi Convernican dalam natural science; dicaci, ditolak, tapi pada akhirnya diagungkan. Kritik terhadap Sigmund Freud (1856-1940) sebagai "bapak psikoanalisis" lebih didasarkan pada metodenya yang dianggap tidak baku, subjektif, dan jumlah klien sedikit dan semuanya pasien klinis (penderita gangguan jiwa). Para penentang Freud tidak bisa menerima bahwa analisis dari para pasien sakit jiwa dapat digeneralisasikan pada populasi umum.
Di pihak lain, Freud dianggap banyak memberi kontribusi pada perkembangan psikologi, khususnya dalam hal mengembangkan konsep motivasi dari alam ketidaksadaran dan mengarahkan fokus penelitian pada pengaruh pengalaman masa awal kehidupan atau masa anak terhadap perkembangan kepribadian selanjutnya sampai dewasa. Di samping itu, Freud juga merangsang studi yang intensif tentang emosi, yaitu cinta, takut, cemas, dan seks.
Dalam soal seks, teori Freud yang menyatakan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id (libido seksualita), mendapat tantangan keras. Dalam libido seksualitas, seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud memenuhi hasrat seksualnya. Teori ini dipandang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Dalam pandangan psikologi humanistik, teori Freud hanya menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia, yaitu kebutuhan fisiologis dan tak mampu memberikan penjelasan untuk empat kebutuhan manusia yang lain.
Tak ayal lagi, teori Freud yang banyak menyelidiki sexual instinct manusia ini merupakan daya tarik, sekaligus sumber kehebohan. Seksualitas, bagi Freud, merupakan daya hidup. Libido, istilah Freud, merupakan life instinct yang memberi motivasi manusia untuk makan, minum, beristirahat, dan prokreasi. Kaum agama dan sebagian intelektual, dengan sisa pengaruh Victorian yang kuat waktu itu mencaci (teori) Freud yang pen-seksual habis¬-habisan. Selain itu, Freud juga mengatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian, yang disebut Id atau Es, Ego atau Ich, dan Super-go atau Uber Ich. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia - pusat insting.
Id selalu berprinsip memenuhi kesenangannya sendiri (pleasure principle), termasuk di dalamnya naluri, seks dan agresivitas (Sarwono, 1997:58). Meskipun Id mampu melahirkan keinginan, ia tidak mampu memuaskan keinginannya. Sistem kepribadian yang kedua ialah Ego. Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dan 'tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu me~undukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ia bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
Sistem kepribadian yang ketiga Super-Ego - berisi kata hati atau conscience. Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai-nilai moral, sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan yang datang dari Id. Super-Ego menghendaki agar dorongan-dorongan tertentu saja dari Id yang direalisasikan; sedangkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, tetap tidak dipenuhi. Karena itu, ada semacam kontradiksi antara Id dan Super Ego yang harus dapat memenuhi tuntunan kedua sistem kepribadian lainnya ini secara seimbang. Kalau Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan-larangan dari Super Ego, individu yang bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus; dan konflik ini akan menjadi dasar dari neurose.
4. Aliran Psikologi Gestalt (Gestalt Psychology)
Berbagai istilah bahasa Inggris telah dicoba untuk menerjemahkan istilah Gestalt ini, antara lain Shape Psychology (diajukan oleh Spearman) dan Configurationism (diajukan oleh Titchener). Namun, istilah-istilah tersebut rupanya, tidak "pas"; dalam arti, tidak bisa menggambarkan arti yang sesungguhnya dari istilah itu dalam bahasa Jerman. Sebab itu, istilah Gestalt tetap digunakan sebagaimana adanya dalam bahasa Inggris dan juga oleh kalangan para ahli psikologi di Indonesia.
Eksperimen Gestalt pertama, menurut Atkinson clan kawan-kawan, adalah mempelajari gerakan, terutama fenomena phi. Jika dua cahaya dinyalakan secara berurutan (asalkan waktu dan lokasi spasialnya tepat), subjek melihat cahaya tunggal bergerak dari posisi cahaya pertama ke cahaya kedua. Fenomena kesan pergerakan ini telah banyak diketahui, tetapi ahli psikologi Gestalt menangkap kepentingan teoretis pola stimuli dalam menghasilkan efek. Pengalaman kita bergantung pada pola yang dibentuk oleh stimuli dan pada organisasi pengalaman, menurut mereka. Apa yang kita lihat adalah relatif terhadap latar belakang, dengan aspek lain dari keseluruhan. Keseluruhan berbeda dengan penjumlahan bagian-bagiannya; keseluruhan terbagi atas bagian dari suatu hubungan.
Memang, seperti disinggung di muka, bagi aliran Gestalt, yang utama bukanlah elemen, tetapi keseluruhan. Kesadaran dan jiwa manusia tidak mungkin dianalisis ke dalam elemen-elemen. Gejala kejiwaan harus dipelajari sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan, dalam pandangan aliran Gestalt, lebih dari sekadar penjumlahan unsur-unsurnya. Keseluruhan itu lebih dahulu ditanggapi dari bagian-bagiannya, dan bagian¬bagian itu harus memperoleh makna dalam keseluruhan. Arti atau makna Gestalt bergantung pada unsur-unsurnya; clan sebaliknya, arti unsur-unsur itu bergantung pula pada Gestalt.
5. Aliran Behaviorisme (Behaviorism)
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Sama halnya dengan psikoanalisis, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Sejumlah filsuf dan ilmuwan sebelum Watson, dalam satu dan lain bentuk, telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari manusia, berdasarkan pendekatan yang mekanistik dan materialistik, suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang di antaranya adalah Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia.
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, kaum behavioris lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia, kecuali insting, adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Tentu saja, behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Skinner berpendapat, kepribadian terutama adalah hasil dari sejarah penguatan pribadi individu (individual's personal history of reinforcement). Meskipun pembawaan genetis (genetis endowment) turut berperan, kekuatan-kekuatan sangat menentukan perilaku khusus yang terbentuk dan dipertahankan, serta merupakan khas bagi individu yang bersangkutan. Skinner tidak tertarik dengan variabel struktural dari kepribadian. Menurutnya, orang mungkin berilusi dalam menjelaskan dan meramalkan perilaku berdasarkan faktor-faktor dalam kepribadian, tetapi ia dapat mengubah perilaku dan mengendalikannya hanya dengan mengubah ciri-ciri lingkungan.
6. Aliran Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah pendekatan psikologi yang memusatkan perhatian pada cara kita merasakan, mengolah, menyimpan, dan merespons informasi. Pendekatan kognitif dapat diterapkan pada hampir semua bidang psikologi. Pada bagian terakhir bab ini, kita akan melihat dua contoh pendekatan kognitif. Psikologi kognitif termasuk bidang studi utama yang berdiri sendiri dan sebagian besar isi bab ini disediakan untuk itu.
Dalam hal ini, ada baiknya bila pokok permasalahan psikologi kognitif diperjelas dengan lebih seksama. Secara umum, proses-proses kognitif dapat dibagi menjadi lima bidang studi: persepsi (perception), perhatian (attention), ingatan (memory), bahasa (language), dan berpikir (thinking). Persepsi adalah memasukkan dan menganalisa informasi dari dunia luar. Proses perhatian memungkinkan kita berkonsentrasi pada satu sumber informasi atau lebih dan tetap mempertahankan konsentrasi tersebut. Ingatan adalah simpanan informasi tentang fakta, kejadian, dan keterampilan. Bahasa meliputi penggunaan lambang-lambang sebagai alat komunikasi dan berpikir. Agak sulit untuk mendefinisikan berpikir, tetapi Groome et al. (1999) menyatakan, berpikir meliputi 'beragam aktivitas mental seperti memikirkan gagasan, mendapatkan ide-ide baru, membuat teori, memperdebatkan sesuatu, membuat Keputusan, dan memecahkan masalah.
7. Aliran Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik berkembang sebagai pemberontakan terhadap yang dianggap sebagian ahli psikologi sebagai keterbatasan psikologi perilaku dan psikodinamika. Pada 1930-an dan 1940-an, para ahli teori perilaku membatasi semua tingkah laku manusia menjadi serangkaian respons yang dikondisikan, sementara ahli teori psikodinamika selalu memikirkan teori-teori kompleks mengenai pikiran bawah sadar. Aliran humanistik bertujuan memulihkan keseimbangan dalam psikologi dengan berfokus pada kebutuhan-kebutuhan manusia dan pengalaman manusia biasa lewat sesedikit mungkin teori. Karena itulah, meskipun pengaruhnya dalam psikologi kontemporer tidak sedahsyat nama-nama besar lainnya, pendekatan humanistik sering disebut "kekuatan ketiga" dalam psikologi. Tokoh yang paling berpengaruh, yaitu Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Tujuan psikologi humanistik adalah membantu manusia memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya. Artinya, praktek humanistik dalam terapi, pendidikan atau di tempat kerja, selalu dipusatkan untuk menciptakan kondisi-kondisi agar manusia dapat menentukan pikiran dan mengikuti tujuannya sendiri. Beberapa prinsip penting dalam psikologi humanistik yaitu:
Manusia dimotivasi oleh adanya keinginan untuk berkembang dan memenuhi potensinya.
Manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Kita semua bisa memutuskan bagaimana cara kita menjalani hidup. Penekanan pada kehendak bebas (free will) ini sangat berlawanan dengan pendekatan perilaku dan psikodinamika yang lebih menekankan pada apa yang menyebabkan kita berperilaku demikian (ini disebut determinisme).
Kita dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadap diri sendiri, yang berasal dari cara orang lain memperlakukan kita.
E. PENGKAJIAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Dalam konteks studi islam, ada dua tipe pendekatan terhadap psikologi islami yaitu: Mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan psikologi dalam hubungannya dengan islam adalah konsep psikologi modern yang telah kita kenal selama ini yang telah mengalami proses filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan islam. Jadi, konsep-konsep atau teori aliran-aliran psikologi modern kita terima secara kritis, menurut pandangan ini, tugas kita adalah membuang konsep-konsep yang kontra atau yang anti terhadap islam.
Mereka berpandangan bahwa psikologi modern yang ada dan yang kita kenal pada selama ini bisa sja kita sebut Islami asalkan sesuai dengan pandangan islam. Salah satu aliran psikologi yang termasuk Islami adalah psikologi Humanistik. Seorang pemikir psikologi Islam berpandangan bahwa teori-teori Psikologi barat dapat kita manfaatkan dan dapat disebut psikologi Islami asalkan praktiknya berwawasan Islam. Ia mengungkapkan bahwa konsep tentang struktur kepribadian manusa yang dibangun oleh tokoh-tokoh modern seperti alam sadar, pra sadar dan tak sadar (psikoanalisis), afeksi, konasi & kognisi (Behavior) serta dimensi somatis, psikis dan neotik (Humanistik) dll, dapat kita pandang sebagai Islam setelah semua unsur dalam struktur kepribadian tersebut di ungkap dalam konsep ruh.
Dengan penekanannya pada pengembangan pribadi dan pentingnya pengalaman hidup individu di dunia, tradisi humanistik tergolong unik karena inilah satu-satunya pendekatan psikologi yang cocok dengan gagasan spiritualitas. Walaupun tidak semua pandangan ahli psikologi bersifat spiritual atau religius, walaupun Anda tidak harus menjadi seorang yang religius atau spiritual untuk menerapkan atau menarik manfaat dari psikologi humanistik, namun ada keterkaitan yang kuat antara pendekatan ini dengan keagamaan.
Berdasarkan penjabaran di atas, psikologi Islam di artikan sebagai perspektif modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai dengan Islam. Psikologi adalah disiplin Ilmu yang sekuler dan karenanya memberikan wawasan Islam terhadap konsep psikologi modern adalah suatu cara agar konsep-konsep yang dipakai mengalami filterisasi dan tidak menyesatkan. Salah satu hal dalam psikologi yang berkaitan dengan dunia Islam sebagai berikut dalam Firman Allah (QS 41: 31), “kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri”. Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta ini maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukkan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang di maksud dengan “sesuatu” tersebut adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berilmu.
Dalam hal ini bisa kita lihat lebih dalam bahwa manusia memiliki peranan penting dalam Al-qur’an, kalau diperhatikan lebih cermat, salah satu istilah yang berkenaan dengan manusia yaitu nafs yang di sebut ratusan kali, belum lagi al-naas, al basyar, dan al-insaan. Istilah tersebut menunjukkan betapa Alqur’an banyak sekali berbicara tentang manusia. Secara kompleksitas, dan bisa dijadikan lahan kajian, dalam Al-qur’an banyak yg berbicara tentang diri manusia yang berkaitan dengan psikologi seperti, Nafs, Ruh, Aql, Qolb, Fitrah, Akhlak dsb. Jiwa atau Nafs bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan keadaan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas.
Secara garis besar, psikologi juga banyak kaitannya dengan agama, menurut Jalaludin dalam bukunya Psikologi Agama, psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Menurt Prof Zakiyah Drajat, menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan (terhadap suatu agama yang di anut). Dalam hal ini bisa dikaitkan denga teori humanistik bahwasanya manusia adalah makhluk yang positif, manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini manusia bisa memilih akan menjalankan agama yang dianut seperti apa, mengikuti perasaan hati dan kesadaran atas apa yang dia kerjakan.
Seperti penjabaran di atas, hasil kajan ppsikologi juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai lapangan kehdupan seperti kehidupan, seperti bidang pendidikan, interaksi sosial, perkembangan manusia dan lain sebagainya. Dalam bidang pendidikan di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagai hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian pendidikan Islam ini tidak hanya dibatasi oleh institusi atau lapangan pendidikan tertentu, pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas. Salah satu contohnya pendidikan dalam keluarga, pendidikan pertama pada anak adalah keluarga, dari keluarga anak belajar banyak hal seperti sopan-santun, belajar mengenal agama sampai pada tolerasi dan kasih sayang. Karena ibaranya keluarga merupakan lingkungan kecil yang membentuk suatu karakter pada diri anak. Oleh sebab itu diharapka orang tua sebagai pendidik sekaligus modelling bagi anak, dapat memberikan contoh yang baik, karena pada dasarnya anak belajar dari apa yang dia lihat, apa yang dia model, hal ini kaitannya dengan psikologi perilaku (behavior).
F. KESIMPULAN
Dari berbagai macam uraian di atas, definisi psikologi adalah: Secara etimologis, istilah psikologis berasal dari Yunani, yaitu dari kata psyche yang berarti "jiwa", dan logos yang berarti ,"ilmu". Jadi, secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Psikologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi ialah prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu. Karena itu psikologi merupakan ilmu yang meneliti atau mempelajari tentang prilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manivestasi hidup kejiwaan. Prilaku atau aktivitas disini dalam arti yang sangat luas yaitu meliputi prilaku yang tampak/kelihatan (overt behavior) dan juga prilaku yang tidak tampak (innert behavior) atau menurut Woodworth ialah aktivitas motorik, kognitif dan emosional.
Karena pada dasarnya psikologi adalah ilmu yang membahas tentang keadaan kejiwaan manusia, aktivitas kejiwaan yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu sangat erat sekali kaitannya dengan manusia dan Islam, bahkan dalam Al-Qur’an banyak sekali hal-hal yang dijelaskan berkaitan dengan Nafs, yaitu jiwa manusia. Hubungan psikologi dengan studi islam adalah banyak sekali dalam berbagai aspek kehidupan, dalam bidang pendidikan, sosial, perkembangan manusia, bahkan ada psikologi Agama, Psikologi Dzikir, Psikologi sosial dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Ancok, D. & Suroso. 1994. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Jalaluddin. H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sianturi, N. 2004. Materi Ajar Psikologi Umum. Hand Out Psikologi Umum
Watson J.B. (1913) Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review 20, 158-177.
Walgito, B. 2000. Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset
Widyana, R. 2008. Psikologi Kognitif. Hand Out Psikologi Kognitif
ANALISIS KEBIJAKAN PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL
ANALISIS KEBIJAKAN PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional yang merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kualitas manusia yang berguna dan bermutu untuk kemajuan bangsa dan Negara. Pendidikan yang bermutu pada hakekatnya adalah suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kualitas belajarnya dengan baik kepada siswa sehingga timbul interaksi dari keduanya agar tercapai cita-cita yang diharapkan dan ini berlangsung terus menerus.
Saat ini pendidikan yang bermutu sering dipandang sebagai suatu kegiatann yang penting, untuk menyongsong perubahan dan perkembangan yang diperhitungkan akan terjadi di masa depan. Hal ini ditentukan oleh persepsi suatu masyarakat pendidikan terhadap kecendrungan-kecendrungan yang ada. Sehingga mutu pendidikan menjadi sangat penting untuk dijangkau.
Untuk itu, demi mencapai pendidikan yang bermutu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu pula. Itulah salah satu dari tujuan pendidikan bermutu yakni untuk meningkatkan mutu SDM yang ada di Indonesia.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, peran serta dan dukungan semua pihak yang terkait sangat dibutuhkan baik dari pihak sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 63 ayat 1 mengamanatkan tiga jenis penilaian yang dilakukan terhadap peserta didik. Salah satunya, penilaian hasil belajar yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Dalam pasal 66 bentuk penilaian yang dilakukkan pemerintah tersebut dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional untuk mata pelajaran tertentu. Dalam pelaksanaanya selama ini, mata pelajaran yang diajukan pemerintah ada tiga yaitu, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Pemerintah menugasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan bekerjasama oleh instansi terkait di lingkungan pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional tersebut.
Dengan peraturan tersebut sangat jelas, tegas, dan pasti bahwa Ujian Nasional akan bergulir setiap tahun, demikian halnya dengan tahun ajar 2009/2010 ini, sekalipun MA telah memenangkan gugatan untuk menghentikan penyelenggaraan Ujian Nasional. Hal ini penting dikemukakan demi menjawab keraguan dan simpang siur pertanyaan dari semua pihak, khususnya para pendidik, orang tua murid, dan para peserta didik itu sendiri yang muncul di awal tahun pelajaran.
Namun, perlu disadari bahwa banyak masyarakat bahkan pakar pendidikan sekalipun menyatakan bahwa kebijakan Ujian Nasional masih cukup controversial. Logika sederhana bagaimana bisa menyeragamkan output (lulusan) di seluruh Indonesia kalau input dan proses pendidikan di seluruh wilayah tanah air ini belum seragam.
Banyak hal yang sebenarnya mendiskritkan ujian nasional, tidak hanya dari kalangan masyarakat tetapi juga dari kalangan lembaga pendidikan sendiri. Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional, pada Bab 1 Pasal 1 ayat 21 disebutkan, evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjamin, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
B. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
1. Latar Belakang Disahkannya Ujian Nasional (UN)
Sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 2001 yang lalu kita telah mengetahui sertra mengenal apa yang disebut dengan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yaitu merupakan suatu penilaian akhir terhadap sebuah jenjang pendidikan untuk menentukan kelulusan atau ketamatan seseorang. EBTA ini berlaku bagi jenjang pendidikan dari SD, SMP/yang sederajat, SMU dan SMK/yang sederajat.
Dalam EBTA ini berdasarkan asal usul soal ada dua macam yaitu soal yang berasal dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Pusat atau yang disebut dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), yakni soal yang telah standar, sehingga para siswa diharapkan dapat mengetahui tingkat kualitas pendidikan di setiap sekolah, baik daerah maupun wilayah.
Selain soal yang berasal dari Depdiknas Pusat, juga ada soal yang merupakan menjadi kewenangan dari pihak sekolah masing-masing. Soal ini sering disebut dengan EBTA sekolah.
Dalam hubungannya dengan hal ini terutama mengenai mata pelajaran yang akan diujikan ada beberapa mata pelajaran yang di EBTANAS kan yang tentunya sudah ditentukan oleh pusat.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan maka sejak tahun ajaran 2001/2002 istilah EBTA diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) atau sekarang Ujian Nasional (UN).
Pada tahun ajaran 2002/2003 Ujian Nasional tetap diselenggarakan bahkan hingga sekarang, namun ada beberapa perubahan dalam setiap tahunnya, terutama menyangkut jumlah mata pelajaran, standar nilai, dan lainnya.
2. Pengertian Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah/madrasah yang diselenggarakan secara nasional.
Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa yang disebut Ujian Nasional (UN) itu merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah terhadap kegiatan siswa berupa penilaian hasil belajar yang diikuti oleh para siswa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan atau sisswa yang telah berada pada kelas akhir sebagai salah satu syarat mengetahui mutu atau kemampuan siswa dalam menguasai ilmu pengetahuan yang telah diajarkan dan siswa yang telah melakukan kegiatan tersebut memiliki hak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya jikalau hasil yang diperoleh adalah memutuskan demikian.
Adapun UN (Ujian Nasional) menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan pertimbangan untuk: a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, c) pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan, d) akreditasi satuan pendidikan, dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Meskipun demikian perubahan yang sangat besar pada pelaksanaan UN diantaranya “Menyangkut jumlah mata pelajaran yang soalnya kewenangan pusat, ketamatan, kelulusan dan akibat dari tidak lulus”.
3. Dasar Hukum Ujian Nasional (UN)
Yang menjadi landasan atau dasar pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60 Tanbahan Lembaran Negara Nomor 3839).
b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikaan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Tentang pendidikan Dasar (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3412).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3413).
e. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 114/U/2001 Tentang Ujian Nasional (UN).
4. Ketentuan Kelulusan Ujian Nasional (UN)
Berikut ini ketentuan yang akan diterapkan untuk Kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun 2008, 2009, dan 2010, dikutip dari Operasional Standar Ujian Nasional:
a. Kelulusan Ujian Nasional (UN)
Peserta Ujian Nasional (UN) dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan Ujian Nasional sebagai berikut:
1) Ujian nasional 2008 nilai rata-rata kelulusan siswa adalah 5,0 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan, atau siswa boleh memiliki nilai minimal 4,0 asal hanya untuk satu mata pelajaran saja dan nilai mata pelajaran yang lainnya minimal 6,0.
2) Ujian Nasional 2009 “Memiliki nilai rata-rata minimum 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai dibawah 4,50.”
3) Ujian Nasional 2010 “Memiliki nilai rata-rata minimum 6,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan”.
b. Kelulusan Ujian Sekolah (US)
Peserta didik dinyatakan lulus ujian sekolah/ madrasah apabila memiliki rata-rata nilai minimum setiap mata pelajaran yang telah ditentukan oleh masing-masing sekolah/ madrasah. Satuan pendidikan dapat menentukan batas lulus.
c. Kelulusan dari Satuan Pendidikan
Pengumuman kelulusan siswa dari satuan pendidikan dilakukan oleh sekolah/ madrasah penyelenggara. Sebagaimana yang tertera pada pasal 72 PP 19/2005, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
3) lulus ujian sekolah/ madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) lulus Ujian Nasional (UN).
Keempat kriteria kelulusan peserta didik dalam satuan pendidikan di atas harus dipenuhi oleh peserta didik. Apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi, peserta didik dinyatakan tidak lulus dari satuan pendidikan.
C. Tujuan dan Fungsi Ujian Nasional (UN)
1. Tujuan Ujian nasional (UN)
Pendidikan merupakan suatu kegiatan sadar akan tujuan, karena tujuan adalah salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, karena tidak saja akan memberikan kearah mana harus menuju, tetapi juga memberikan ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, maupun alat evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Sebagaimana diketahui bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan banyak bergantung pada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pernyataan ini, maka perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan kemudian barulah menyusun suatu program yang obyektif dan realistis, sehingga segala energi dan kemungkinan biaya yang ada tidak akan terbuang sia-sia.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila kita mau membicarakan mengenai pendidikan pada umumnya, maka kita harus menyadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau menciptakan manusia-manusia yang mempunyai kualitas sebagai tenga terdidik bagi kepentingan bangsa, Negara, tanah air dan agama, demikian pentingya sumber daya manusia tersebut sebagaimana diterangkan dalam Al Qur’an surah Al Mujadilah Ayat 11 yang berbunyi
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat diatas membuktikan bahwa agama juga memotivasi manusia agar menjadi manusia yang berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan umum, terkhusus dalam hal ke- Islaman, serta mengaplikasikannya dengan akhlakul karimah untuk mencapai tujuan insane kamil.
Demikian pula dengan pemberlakuan Ujian Nasional (UN) ini tentunya pihak pemerintah memiliki tujuan tertentu terhadap dunia pendidikan di Indonesia ini.
Adapun tujuan dari diadakannya Ujian Nasional (UN)adalah sebagai sebuah inovasi atau reformasi dalam sebuah system pendidikan yang slama ini dinilai tidak sepatuhnya dipergunakan lagi dalam dunia pendidikan yang cukup lama diberlakukan dalam dunia pendidikan.
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN (Ujian Nasional) sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional, disebutkan bahwa tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes kepada siswa. Selain itu Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, provinsi, kabupaten, sampai di tingkat sekolah.
Dengan demikian, berdasarkan isi pasal di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan dari dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) tersebut adalah sebagai pengatur untuk mencapai hasil belajar para siswa di sekolah, disamping itu juga sebagai pengukur mutu atau kualitas pendidikan yang selama ini diselenggarakan oleh sekolah/ madrasah masing-masing sehingga dapat diketahui berhasil tidaknya tujuan masing-masing lembaga tersebut serta untuk mempertanggungjawabkan pendidikan yang telah dilakukan kepada masyarakat sebagai penerima kelulusan.
2. Fungsi Ujian Nasional (UN)
Sama halnya dengan tujuan dari UN, fungsi UN pun telah termaktub dalam Keputusan Mendiknas. Nomor 153, yang terdapat dalam pasal 3, yaitu berfungsi sebagai:
a. Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;
b. Pendorong peningkatan mutu pendidikan;
c. Bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik.
Ad. a) Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional maksudnya adalah bahwa UN merupakan alat untuk dapat mengetahui mutu pendidikan secara nasional dan dapat pula memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan UN pada tahun berikutnya.
Ad. b) Pendorong peningkatan mutu pendidikan maksudnya adalah dengan adanya UN diharappkan tingkat kompetisi untuk berprestasi semakin meningkat di antara sekolah/ madrasah maupun antara peserta didik, karena mengetahui tolak ukur dari kualitas lulusan peserta didik yang lulus pada tahun tersebut, hingga memotifasi untuk dapat menjadi lebih baik lagi.
Ad. c) Bahan daam menentukan kelulusan peserta didik maksudnya UN diadakan tidak lain adalah untuk mengukur kemampuan siswa serta memutuskan untuk lulus tidaknya seorang peserta didik untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Jadi, pelaksanaan UN ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan mutu pendidikan sehingga diketahui mutu pendidikan yang telah dilaksanakan secara nasional dan dapat berfungsi sebagai pendoronhg agar pendidikan di Indonesia dapat terus meningkat dalam hal mutiunya. Dalam pelaksanaan UN juga berfungsi sebagai penentu kelulusan dan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga pendidikan yang lebih tinggi melakukan seleksi dalam penerimaan siswa baru.
D. Analisis Kebijakan Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) masih tetap dilaksanakan. Aktivitas tahunan biasa, pra-UN, para guru dan siswa sibuk dengan persiapan menghadapi UN tersebut, dengan menambah jam pelajaran diluar jam sekolah dan bimbingan belajar diluar sekolah pun dilakukan para siswa guna menghadapi UN. Pasca-UN, ekspresi siswa mencuat suka dan duka menjadi hal yang tak bisa dielakkan bagi siswa yang dinyatakan lulus dan tidak, sehingga keberadaan UN ini selalu menuai kontroversi .
Salah satu alasan mengapa penetapan standar dalam Ujian Akhir Nasional di perdebatkan keberadaannya adalah karena masalah mutu dan akses terhadap pendidikan di Indonesia yang belum merata antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masalah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Kita tidak bisa menyamakan kualitas pendidikan di daerah terpencil dengan fasilitas pendidikan yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang tidak layak dan akses yang terbatas dengan daerah perkotaan yang didukung dengan sarana dan prasarana yang serba ada. Maka jika kita menerapkan standar yang sama terhadap dua daerah dengan kondisi yang bertolak belakang tersebut dapat dikatakan bahwa kita telah bertindak tidak adil.
Bagaimana bisa daerah dengan kondisi serba keterbatasan dalam hal pendidikan dapat mencapai standar pendidikan yang biasanya diambil dari daerah dengan fasilitas pendidikan yang memadahi? Alternatif ini mencoba untuk memberikan solusi dengan perbaikan terhadap mutu dan pemerataan pendidikan terutama di daerah-daerah yang tertinggal sebelum menetapkan suatu standar pendidikan yang bersifat nasional.
Bicara masalah mutu pendidikan tidaklah bicara mengenai hasil, tetapi juga bicara masalah terkait dengan pemerataan pendidikan. Kualitas mutu pendidikan saat ini sungguh memprihatinkan, khususnya dalam masalah pemerataan. Mutu pendidikan antar wilayah dapat diukur dari Angka Partisipasi Murni (APM). Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 33 Provinsi di Indonesia 50% diantara masih memiliki APM yang rendah dari rata-rata nasional, tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di NTT, NTB, Dan Papua terendah.
Kalau dilihat bahwa pemerintah berdalih target utama diselenggarakannya UN adalah meningkatkan mutu. Dengan harapan setaraf dengan Negara lain dalam mengejar ketertingggalan dari Negara-negara asia, bahkan dunia, selain itu, diharapkan dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan berpikir, menciptakan manusia Indonesia berbudi pekerti luhur, dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang siap pakai serta berakhlak mulia.
Belum lagi peristiwa meninggalnya seorang pelajar seusai mengikuti UN lantaran Stress tidak mampu menjawab soal-soal, menjadi bukti dampak negative dari UN, bahkan fakta terakhir, kembali mencuatnya isu kekeramatan batu ponari dengan berbondong-bondongnya para pelajar yang akan mengikuti UN adalah merupakan bukti nyata akan kekeramatan UN, kecurangan dalam mekanisme ujian yang dilakukan oleh siswa dengan penyebaran jawaban melalui SMS, bahkan itu juga dilakukan oleh oknum guru yang tak ingin melihat tangisan perih pada akhir perjuangan peserta didik mereka> Belum lagi menyinggung persoalan anggaran UN yang tiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp. 540 Miliyar lebih
Dan juga sekarang ini yang paling mendebarkan Berdasarkan pembicaraan di berbagai media massa dan juga pembicaraan masyarakat di berbagai kesempatan, ada opini kuat yang terbangun bahwa kalau kita menghendaki pendidikan yang bermutu maka UN harus tetap dijalankan. Tanpa UN, pendidikan tidak akan bermutu. Dan apabila kelulusan hanya ditentukan oleh sekolah dan guru, berarti semua peserta didik akan lulus. Kalau semua peserta didik lulus, maka itu artinya pendidikan tersebut tidak bermutu.
Pendapat tersebut sangat tidak benar dan bertentangan dengan dasar filosofi dan teori pendidikan. Pandangan tersebut telah mengerdilkan arti pendidikan dengan tes dan mengubah proses pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus tes semata.
Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom dan Soedijarto ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan tentang apa yang akan diujikan. Oleh karena itu Ujian Nasional akan menyebabkan:
1. Peserta didik akan mempelajari, umumnya menghafal, tentang apa yang akan
Diujikan.
2. Guru akan mengajarkan peserta didik cara menjawab berbagai macam soal.
3. Sekolah akan berusaha keras menyusun program termasuk mengadakan kegiatan
bimbingan tes.
4. Orang tua akan mendorong anaknya untuk persiapan mengikuti Ujian Nasional.
5. Pemerintah daerah dalam rangka menjaga nama baik wilayahnya, ikut berupaya
agar peserta didik bisa lulus semua.
6. Penerbit buku berlomba-lomba menerbitkan kumpulan soal UN dan
pembahasannya..
Kondisi seperti ini sebagai akibat dari penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
E. Kesimpulan
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan konsep pandidikan seutuhnya, yang pada dasarnya , tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001).
Beni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia 2008).
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1998).
Dirjen. Pendidikan Dasar dan Menengah, Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 (Kep. Mendiknas Nomor 153/U/2003 tanggal 14 Oktober 2003).
Sugito, Info Gerbang, Edisi 12 Th. II, (Juni 2003).
Tengku andika dalam, Restorasi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta;Ar-Ruzz, 2011)
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional yang merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kualitas manusia yang berguna dan bermutu untuk kemajuan bangsa dan Negara. Pendidikan yang bermutu pada hakekatnya adalah suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kualitas belajarnya dengan baik kepada siswa sehingga timbul interaksi dari keduanya agar tercapai cita-cita yang diharapkan dan ini berlangsung terus menerus.
Saat ini pendidikan yang bermutu sering dipandang sebagai suatu kegiatann yang penting, untuk menyongsong perubahan dan perkembangan yang diperhitungkan akan terjadi di masa depan. Hal ini ditentukan oleh persepsi suatu masyarakat pendidikan terhadap kecendrungan-kecendrungan yang ada. Sehingga mutu pendidikan menjadi sangat penting untuk dijangkau.
Untuk itu, demi mencapai pendidikan yang bermutu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu pula. Itulah salah satu dari tujuan pendidikan bermutu yakni untuk meningkatkan mutu SDM yang ada di Indonesia.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, peran serta dan dukungan semua pihak yang terkait sangat dibutuhkan baik dari pihak sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 63 ayat 1 mengamanatkan tiga jenis penilaian yang dilakukan terhadap peserta didik. Salah satunya, penilaian hasil belajar yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Dalam pasal 66 bentuk penilaian yang dilakukkan pemerintah tersebut dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional untuk mata pelajaran tertentu. Dalam pelaksanaanya selama ini, mata pelajaran yang diajukan pemerintah ada tiga yaitu, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Pemerintah menugasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan bekerjasama oleh instansi terkait di lingkungan pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional tersebut.
Dengan peraturan tersebut sangat jelas, tegas, dan pasti bahwa Ujian Nasional akan bergulir setiap tahun, demikian halnya dengan tahun ajar 2009/2010 ini, sekalipun MA telah memenangkan gugatan untuk menghentikan penyelenggaraan Ujian Nasional. Hal ini penting dikemukakan demi menjawab keraguan dan simpang siur pertanyaan dari semua pihak, khususnya para pendidik, orang tua murid, dan para peserta didik itu sendiri yang muncul di awal tahun pelajaran.
Namun, perlu disadari bahwa banyak masyarakat bahkan pakar pendidikan sekalipun menyatakan bahwa kebijakan Ujian Nasional masih cukup controversial. Logika sederhana bagaimana bisa menyeragamkan output (lulusan) di seluruh Indonesia kalau input dan proses pendidikan di seluruh wilayah tanah air ini belum seragam.
Banyak hal yang sebenarnya mendiskritkan ujian nasional, tidak hanya dari kalangan masyarakat tetapi juga dari kalangan lembaga pendidikan sendiri. Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional, pada Bab 1 Pasal 1 ayat 21 disebutkan, evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjamin, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
B. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
1. Latar Belakang Disahkannya Ujian Nasional (UN)
Sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 2001 yang lalu kita telah mengetahui sertra mengenal apa yang disebut dengan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yaitu merupakan suatu penilaian akhir terhadap sebuah jenjang pendidikan untuk menentukan kelulusan atau ketamatan seseorang. EBTA ini berlaku bagi jenjang pendidikan dari SD, SMP/yang sederajat, SMU dan SMK/yang sederajat.
Dalam EBTA ini berdasarkan asal usul soal ada dua macam yaitu soal yang berasal dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Pusat atau yang disebut dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), yakni soal yang telah standar, sehingga para siswa diharapkan dapat mengetahui tingkat kualitas pendidikan di setiap sekolah, baik daerah maupun wilayah.
Selain soal yang berasal dari Depdiknas Pusat, juga ada soal yang merupakan menjadi kewenangan dari pihak sekolah masing-masing. Soal ini sering disebut dengan EBTA sekolah.
Dalam hubungannya dengan hal ini terutama mengenai mata pelajaran yang akan diujikan ada beberapa mata pelajaran yang di EBTANAS kan yang tentunya sudah ditentukan oleh pusat.
Sejalan dengan perkembangan pendidikan dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan maka sejak tahun ajaran 2001/2002 istilah EBTA diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) atau sekarang Ujian Nasional (UN).
Pada tahun ajaran 2002/2003 Ujian Nasional tetap diselenggarakan bahkan hingga sekarang, namun ada beberapa perubahan dalam setiap tahunnya, terutama menyangkut jumlah mata pelajaran, standar nilai, dan lainnya.
2. Pengertian Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah/madrasah yang diselenggarakan secara nasional.
Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa yang disebut Ujian Nasional (UN) itu merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah terhadap kegiatan siswa berupa penilaian hasil belajar yang diikuti oleh para siswa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan atau sisswa yang telah berada pada kelas akhir sebagai salah satu syarat mengetahui mutu atau kemampuan siswa dalam menguasai ilmu pengetahuan yang telah diajarkan dan siswa yang telah melakukan kegiatan tersebut memiliki hak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya jikalau hasil yang diperoleh adalah memutuskan demikian.
Adapun UN (Ujian Nasional) menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan pertimbangan untuk: a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, c) pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan, d) akreditasi satuan pendidikan, dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Meskipun demikian perubahan yang sangat besar pada pelaksanaan UN diantaranya “Menyangkut jumlah mata pelajaran yang soalnya kewenangan pusat, ketamatan, kelulusan dan akibat dari tidak lulus”.
3. Dasar Hukum Ujian Nasional (UN)
Yang menjadi landasan atau dasar pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60 Tanbahan Lembaran Negara Nomor 3839).
b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikaan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Tentang pendidikan Dasar (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3412).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3413).
e. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 114/U/2001 Tentang Ujian Nasional (UN).
4. Ketentuan Kelulusan Ujian Nasional (UN)
Berikut ini ketentuan yang akan diterapkan untuk Kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun 2008, 2009, dan 2010, dikutip dari Operasional Standar Ujian Nasional:
a. Kelulusan Ujian Nasional (UN)
Peserta Ujian Nasional (UN) dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan Ujian Nasional sebagai berikut:
1) Ujian nasional 2008 nilai rata-rata kelulusan siswa adalah 5,0 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan, atau siswa boleh memiliki nilai minimal 4,0 asal hanya untuk satu mata pelajaran saja dan nilai mata pelajaran yang lainnya minimal 6,0.
2) Ujian Nasional 2009 “Memiliki nilai rata-rata minimum 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai dibawah 4,50.”
3) Ujian Nasional 2010 “Memiliki nilai rata-rata minimum 6,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan”.
b. Kelulusan Ujian Sekolah (US)
Peserta didik dinyatakan lulus ujian sekolah/ madrasah apabila memiliki rata-rata nilai minimum setiap mata pelajaran yang telah ditentukan oleh masing-masing sekolah/ madrasah. Satuan pendidikan dapat menentukan batas lulus.
c. Kelulusan dari Satuan Pendidikan
Pengumuman kelulusan siswa dari satuan pendidikan dilakukan oleh sekolah/ madrasah penyelenggara. Sebagaimana yang tertera pada pasal 72 PP 19/2005, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
3) lulus ujian sekolah/ madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) lulus Ujian Nasional (UN).
Keempat kriteria kelulusan peserta didik dalam satuan pendidikan di atas harus dipenuhi oleh peserta didik. Apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi, peserta didik dinyatakan tidak lulus dari satuan pendidikan.
C. Tujuan dan Fungsi Ujian Nasional (UN)
1. Tujuan Ujian nasional (UN)
Pendidikan merupakan suatu kegiatan sadar akan tujuan, karena tujuan adalah salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, karena tidak saja akan memberikan kearah mana harus menuju, tetapi juga memberikan ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, maupun alat evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Sebagaimana diketahui bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan banyak bergantung pada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pernyataan ini, maka perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan kemudian barulah menyusun suatu program yang obyektif dan realistis, sehingga segala energi dan kemungkinan biaya yang ada tidak akan terbuang sia-sia.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila kita mau membicarakan mengenai pendidikan pada umumnya, maka kita harus menyadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau menciptakan manusia-manusia yang mempunyai kualitas sebagai tenga terdidik bagi kepentingan bangsa, Negara, tanah air dan agama, demikian pentingya sumber daya manusia tersebut sebagaimana diterangkan dalam Al Qur’an surah Al Mujadilah Ayat 11 yang berbunyi
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat diatas membuktikan bahwa agama juga memotivasi manusia agar menjadi manusia yang berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan umum, terkhusus dalam hal ke- Islaman, serta mengaplikasikannya dengan akhlakul karimah untuk mencapai tujuan insane kamil.
Demikian pula dengan pemberlakuan Ujian Nasional (UN) ini tentunya pihak pemerintah memiliki tujuan tertentu terhadap dunia pendidikan di Indonesia ini.
Adapun tujuan dari diadakannya Ujian Nasional (UN)adalah sebagai sebuah inovasi atau reformasi dalam sebuah system pendidikan yang slama ini dinilai tidak sepatuhnya dipergunakan lagi dalam dunia pendidikan yang cukup lama diberlakukan dalam dunia pendidikan.
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN (Ujian Nasional) sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional, disebutkan bahwa tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes kepada siswa. Selain itu Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, provinsi, kabupaten, sampai di tingkat sekolah.
Dengan demikian, berdasarkan isi pasal di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan dari dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) tersebut adalah sebagai pengatur untuk mencapai hasil belajar para siswa di sekolah, disamping itu juga sebagai pengukur mutu atau kualitas pendidikan yang selama ini diselenggarakan oleh sekolah/ madrasah masing-masing sehingga dapat diketahui berhasil tidaknya tujuan masing-masing lembaga tersebut serta untuk mempertanggungjawabkan pendidikan yang telah dilakukan kepada masyarakat sebagai penerima kelulusan.
2. Fungsi Ujian Nasional (UN)
Sama halnya dengan tujuan dari UN, fungsi UN pun telah termaktub dalam Keputusan Mendiknas. Nomor 153, yang terdapat dalam pasal 3, yaitu berfungsi sebagai:
a. Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;
b. Pendorong peningkatan mutu pendidikan;
c. Bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik.
Ad. a) Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional maksudnya adalah bahwa UN merupakan alat untuk dapat mengetahui mutu pendidikan secara nasional dan dapat pula memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan UN pada tahun berikutnya.
Ad. b) Pendorong peningkatan mutu pendidikan maksudnya adalah dengan adanya UN diharappkan tingkat kompetisi untuk berprestasi semakin meningkat di antara sekolah/ madrasah maupun antara peserta didik, karena mengetahui tolak ukur dari kualitas lulusan peserta didik yang lulus pada tahun tersebut, hingga memotifasi untuk dapat menjadi lebih baik lagi.
Ad. c) Bahan daam menentukan kelulusan peserta didik maksudnya UN diadakan tidak lain adalah untuk mengukur kemampuan siswa serta memutuskan untuk lulus tidaknya seorang peserta didik untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Jadi, pelaksanaan UN ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan mutu pendidikan sehingga diketahui mutu pendidikan yang telah dilaksanakan secara nasional dan dapat berfungsi sebagai pendoronhg agar pendidikan di Indonesia dapat terus meningkat dalam hal mutiunya. Dalam pelaksanaan UN juga berfungsi sebagai penentu kelulusan dan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga pendidikan yang lebih tinggi melakukan seleksi dalam penerimaan siswa baru.
D. Analisis Kebijakan Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) masih tetap dilaksanakan. Aktivitas tahunan biasa, pra-UN, para guru dan siswa sibuk dengan persiapan menghadapi UN tersebut, dengan menambah jam pelajaran diluar jam sekolah dan bimbingan belajar diluar sekolah pun dilakukan para siswa guna menghadapi UN. Pasca-UN, ekspresi siswa mencuat suka dan duka menjadi hal yang tak bisa dielakkan bagi siswa yang dinyatakan lulus dan tidak, sehingga keberadaan UN ini selalu menuai kontroversi .
Salah satu alasan mengapa penetapan standar dalam Ujian Akhir Nasional di perdebatkan keberadaannya adalah karena masalah mutu dan akses terhadap pendidikan di Indonesia yang belum merata antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masalah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Kita tidak bisa menyamakan kualitas pendidikan di daerah terpencil dengan fasilitas pendidikan yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang tidak layak dan akses yang terbatas dengan daerah perkotaan yang didukung dengan sarana dan prasarana yang serba ada. Maka jika kita menerapkan standar yang sama terhadap dua daerah dengan kondisi yang bertolak belakang tersebut dapat dikatakan bahwa kita telah bertindak tidak adil.
Bagaimana bisa daerah dengan kondisi serba keterbatasan dalam hal pendidikan dapat mencapai standar pendidikan yang biasanya diambil dari daerah dengan fasilitas pendidikan yang memadahi? Alternatif ini mencoba untuk memberikan solusi dengan perbaikan terhadap mutu dan pemerataan pendidikan terutama di daerah-daerah yang tertinggal sebelum menetapkan suatu standar pendidikan yang bersifat nasional.
Bicara masalah mutu pendidikan tidaklah bicara mengenai hasil, tetapi juga bicara masalah terkait dengan pemerataan pendidikan. Kualitas mutu pendidikan saat ini sungguh memprihatinkan, khususnya dalam masalah pemerataan. Mutu pendidikan antar wilayah dapat diukur dari Angka Partisipasi Murni (APM). Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 33 Provinsi di Indonesia 50% diantara masih memiliki APM yang rendah dari rata-rata nasional, tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di NTT, NTB, Dan Papua terendah.
Kalau dilihat bahwa pemerintah berdalih target utama diselenggarakannya UN adalah meningkatkan mutu. Dengan harapan setaraf dengan Negara lain dalam mengejar ketertingggalan dari Negara-negara asia, bahkan dunia, selain itu, diharapkan dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan berpikir, menciptakan manusia Indonesia berbudi pekerti luhur, dan memiliki sumber daya manusia (SDM) yang siap pakai serta berakhlak mulia.
Belum lagi peristiwa meninggalnya seorang pelajar seusai mengikuti UN lantaran Stress tidak mampu menjawab soal-soal, menjadi bukti dampak negative dari UN, bahkan fakta terakhir, kembali mencuatnya isu kekeramatan batu ponari dengan berbondong-bondongnya para pelajar yang akan mengikuti UN adalah merupakan bukti nyata akan kekeramatan UN, kecurangan dalam mekanisme ujian yang dilakukan oleh siswa dengan penyebaran jawaban melalui SMS, bahkan itu juga dilakukan oleh oknum guru yang tak ingin melihat tangisan perih pada akhir perjuangan peserta didik mereka> Belum lagi menyinggung persoalan anggaran UN yang tiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp. 540 Miliyar lebih
Dan juga sekarang ini yang paling mendebarkan Berdasarkan pembicaraan di berbagai media massa dan juga pembicaraan masyarakat di berbagai kesempatan, ada opini kuat yang terbangun bahwa kalau kita menghendaki pendidikan yang bermutu maka UN harus tetap dijalankan. Tanpa UN, pendidikan tidak akan bermutu. Dan apabila kelulusan hanya ditentukan oleh sekolah dan guru, berarti semua peserta didik akan lulus. Kalau semua peserta didik lulus, maka itu artinya pendidikan tersebut tidak bermutu.
Pendapat tersebut sangat tidak benar dan bertentangan dengan dasar filosofi dan teori pendidikan. Pandangan tersebut telah mengerdilkan arti pendidikan dengan tes dan mengubah proses pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus tes semata.
Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom dan Soedijarto ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan tentang apa yang akan diujikan. Oleh karena itu Ujian Nasional akan menyebabkan:
1. Peserta didik akan mempelajari, umumnya menghafal, tentang apa yang akan
Diujikan.
2. Guru akan mengajarkan peserta didik cara menjawab berbagai macam soal.
3. Sekolah akan berusaha keras menyusun program termasuk mengadakan kegiatan
bimbingan tes.
4. Orang tua akan mendorong anaknya untuk persiapan mengikuti Ujian Nasional.
5. Pemerintah daerah dalam rangka menjaga nama baik wilayahnya, ikut berupaya
agar peserta didik bisa lulus semua.
6. Penerbit buku berlomba-lomba menerbitkan kumpulan soal UN dan
pembahasannya..
Kondisi seperti ini sebagai akibat dari penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
E. Kesimpulan
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan konsep pandidikan seutuhnya, yang pada dasarnya , tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001).
Beni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia 2008).
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1998).
Dirjen. Pendidikan Dasar dan Menengah, Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 (Kep. Mendiknas Nomor 153/U/2003 tanggal 14 Oktober 2003).
Sugito, Info Gerbang, Edisi 12 Th. II, (Juni 2003).
Tengku andika dalam, Restorasi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta;Ar-Ruzz, 2011)
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADIS ( TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI DALAM MEMAHAMI HADIS)
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADIS ( TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI DALAM MEMAHAMI HADIS)
A. Pendahuluan
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (baca: al-Qur’an dan Hadis) bisa lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.
Kajian hadis memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun - non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang herupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, termasuk berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan tawaran baru dari berbagai sumber, bagaimana cara memahami hadis (filth al-hadits) dengan paradigma interkoneksi, yakni pendekatan bahasa, historis, sosiologis, sosio historis, antropologis, psikologis dan geografis. Tujuan dari pembahasan ini agar pemaknaan kita terhadap hadis tidak mengalami stagnasi dan rigid (kaku).
B. Tekstualisasi dan Kontekstualisasi Hadis
Sejauh perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau sunnah, pertanyaan seputar “bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan bagian yang paling rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan jawaban-jawaban yang mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad s.a.w., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam statusnya sebagai Utusan Allah. Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan standar etika dan tingkah laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan rule of live dalam bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.
Adapun kesanggupan umat muslim meng-imitasi Muhammad adalah perwujudan konsensus agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum muslimin sudah terlanjur menyepakati perjanjian dengan Allah SWT. Untuk mengimani dan taat kepada-Nya juga pada rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan “Athî`ûllâha warrasûl…” (QS. Âli `Imrân, 3: 32), atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…” (QS. An-Nisâ’, 4: 59).
Dalam upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi Muhammad s.a.w., barangkali bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah. Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding dengan zaman modern saat ini.
Hal yang relatif sama, terjadi pada generasi Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.
Tentu, hal demikian di atas tak segampang generasi muslim muta`akhirin yang hidup pada abad modern, dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang pelik dan rumit. Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah agama yang dalam hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan tafsîr (keterangan penjelas) atau bayân murâd (keterangan yang dimaksud) al-Quran.
Kondisi ini benar-benar menantang kaum muslimin. Sehingga sederetan pakar yang tergabung dalam kelompok modernisme dan kontemporer berusaha memetakan. lebih tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah tersebut melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya disebut aliran kontekstualisme sebagai perimbangan dan melengkapi nalar tekstualisme.
Kontekstualis diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”. Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan”. Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.
Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah pandangani.
yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di abad ini.
Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan menonjol antara hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan penyampaiannya, diyakini bahwa al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya.
Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan catatan beberapa sahabat serta tabi’in. namun demikian profil sahabat dan tabi’in yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan, ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan menurut penulis, bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang kongkret dan hidup sebagai penerjemahan al-Quran.
Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w.. Disamping itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan status hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami secara tekstual maupun kontekstual.
Tak kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi Rasulullah s.a.w. dan fungsinya. Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan Rasululullah s.a.w. ini peran apa yang sedang beliau mainkan menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Melaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa makânin.
Secara lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis atau sunnah sebagai berikut:
1. jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau Sunnah yang lebih luas.
2. banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab, dalam hal ini yang bertanggung jawab untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
3. Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
4. kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.
5. dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:Pertama, masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w.. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal..Kedua, dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.Ketiga, peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya — telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin al-Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.Keempat, implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran Islam itu sendiri.Kelima, pemahan tekstualis secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash itu sendiri.Keenam, pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibandingkan secara tekstual. Kedelapan, Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang maslahat), Kesembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama, dalam bidang ibadah mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. Kedua, bidang di luar ibadah murni. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
2. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.
2. Pendekatan-pendekatan Dalam Memahami Hadis
a) Pendekatan Bahasa
Persoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian matan. Pemahaman hadis dengan beberapa macam pendekatan ternyata memang diperlukan, salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar. Pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu dalam kegiatan penelitian yang berkaitan berhubungan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari kandunngan matan hadis berkaitan dengan masalah keyakinan, hal-hal yang gaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan agama yang bersifat ta’abbudi.
Pertanyaannya bagaiamana cara kita memahami begitu banyaknya matan hadis yang semakna? Disinilah posisi bahasa bisa menjadi bagian penting dalam pemaknaan teks-teks hadis dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif.
Banyak matan hadis yang semakna, dengan sanad yang sama-sama sahihnya tersusun dengan lafaz yang berbeda. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna adalah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna ( al-riwayah bi al-ma’na ). Menurut ulama hadis, perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu masih dapat ditoleransi. Dari sinilah penelitian makna hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa menjadi penting.
Terjadinya sebuah hadis ada yang bersifat situasional ( yang didahului oleh sebab) dan ada yang bersifat langsung ( tanpa sebab ). Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa ( balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi ( metaforis ) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.
Sebagai contoh matan hadis yang berbentuk tasybih ( allegory ) yaitu hadis tentang persaudaraan atas dasar iman misalnya, memiliki perbedaan lafaz matan. Redaksi hadis tersebut adalah :
عن ابي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان المؤمن كالبنيا ن يشد بعضه بعضا وشبك ا صا بعه
. روه ا لبخارى .
Terjemahan matan hadis :
“Sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya, dan jari-jemarinya” (H.R. Al Bukhari dari abu musa)
عن ابي موسى قال قال رسول الله صل ا لله عليه وسلم ا لمؤ من للمؤ من كالبنيا ن يشد بعضه بعضا
( روه ا لبخارى )
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman dan orang yang beriman lainnya ibarat bangunan yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya.” ( H.R. Muslim dari Abu Musa)
عن أبي موسى الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الترميذي)
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya.” (H.R. al-Turmuzi dari Abu Musa al-Asy’ari)
Jika hadis-hadis tersebut dicermati, maka tiga hadis tentang persaudaran atas dasar iman ini telah terjadi perbedaan lafaz antara sumber dari al-Bukhari dengan Muslim dan al-Tirmizi. Meskipun sumber perawi berasal dari satu sumber, yakni Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Lantas apa yang menyebabkan seingga lafaz hadis tersebut berbeda, terutama adanya tambahan dari Bukhari ? ini disebabkan karena adanya ziyadah (tambahan) dari periwayat jalur al-Bukhari.
Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Aspek susunan bahasa inilah yang oleh jumhur ulama dijadikan salah satu tanda-tanda atau kriteria hadis shahih, karena Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ziyadah dari jalur sanad al-Bukhari di atas tidak bertentangan dari periwayat jalur Muslim dan al-Tirmidzi, bahkan kata tambahan/ ziyada-nya berupa ta’kid (memperkuat) yakni dengan menambah inna dan Syabbaka asabi’ah yang secara arti tidak bertentangan. Oleh karena itu, ziyadah seperti dapat diterima.
b) Pendekatan Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis. Pemahaman hadis dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya dalam memahami hadis tentang hukum rajam, sebagai salah satu produk hukum islam yang sampai saat ini masih dianggap perlu untuk diberlakukan menurut sebagian fuqaha’. Penetapan hukum rajam yang hanya dijumpai dari hadis yang diberlakukan bagi pelaku zina muhsan. Hadis-hadis rajam tersebardi seluruh kitab hadis, dengan bentuk redaksi yang berbeda. Namun setelah dilakukan pengamatan oleh beberapa ahli hadis ternyata hanya ditemukan dua bentuk hadis rajam yang secara material berbeda bila dilihat dari sudut pandang pelakunya, yaitu : 1) pelaku zina muhsan dari kalangan muslim, 2) pelaku zina muhsan dari kalangan non muslim.
Diantara hadis-hadis tersebut adalah riwayat imam al-Bukhari sebagai berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه قال أن اليهود جاؤوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنيا فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون في التوراة شأن الرجم فقالوا نفضهم ويجددون. قال عبد الله بن سلام كذبتم فيها الرجم فأتوا بالتوراة فانشروها فوضع أحدهم يده على آية الرجم فقرأ ما قبلها وما بعدها
Telah menceritakan kepadaku (Iman al-Bukhari) ismail ibn Abdullah, ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan kepadaku yang ia terima dari nafi’ ia menerima dari Abdullah ibn Umar r.a yang berkata bahwa sekelompok orang yahudi datang kepada Rasulullah SAW, sambil menceritakan bahwa sesorang laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka: “Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?”. Mereka menjawab: “Kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian Abdullah ibn Salam berkata: “kamu semua berdusta, sebab dalam kitab taurat itu ada hukum rajam. Ambillah kitab Taurat “. Dan mereka menggelar kitab Taurat itu untuk dibaca, tetapi salah satu diantara mereka meletakkan telapak tangannya tepat di atas ayat rajam dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja. Kemudian Abdullah ibn Salam mengatakan lagi: “angkat tanganmu”. Lalu orang itu mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam. Selanjutnya mereka mengatakan: benar ya Muhammad bahwa dalam kitab taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hukum rajam tersebut.
Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi penolakan hukum rajam tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa hadis yang menunjukkan adanya hukum rajam terjadi serjadi sebelulm turunnya al-Qur’an Surah an-Nur ayat 2, sehingga hadis mengenai rajam ini di nasakh oleh al-qur’an. Polemik antara menolak dan menerima hukum rajam inipun berlanjut sampai sekarang ini. Problem inilah yang menuntuk adanya fiqh-al-hadis, dengan menggunakan pendekatan historis dengan melihat peristiwa pelaksaan hukum rajam dari sisi sejarah atau pembongkaran data-data kesejarahan yang berkaitan dengan hadis tersebut.
Dengan melihat kenyataan sejarah bahwa pada masa nabi Muhammad SAW, orang-orang Islam hidup berdampingan dengan orang-orang yahudi, yang memiliki kitab suci dan juga diakui oleh Islam. Dengan demikian, ketika orang-orang Yahudi melakukan pelanggaran hukum (zina), maka sangat wajar bila Nabi Muhammad memberlakukan hukum rajam bagi mereka sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya, kitab Taurat. Kemudian bagaimana pelaksaan hukum rajam tersebut bagi orang-orang Islam? Jawabannya adalah hukum-hukum yang ada dalam kitab suci terdahulu (Taurat) itu memang masih diberlakukan kepada umat Islam sepanjang tidak diubah dan tidak diganti dengan ketentuan atau hukum baru. apakah kasus pelaksaan hukum rajam bgi orang-orang islam dilaksanakan sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam surah Al-Nur ayat 2 tersebut.
Dalam perspektif kesejarahan, termasuk dalam beberapa kitab hadis tidak tidemukan tentang kapan pemberlakuan hukum rajam tersebut, terutama sekali terhadap orang-orang Islam. Sedangkan dalam riwayat Iman al-Bukhari sendiri tidak ditemukan secara otentik data-data mengenai kapan kepastian waktu pelaksanaan hukum rajam. Dari kenyataan sejarah itulah mengapa nabi Muhammad mengaplikasikan doktrin hukum dalam kitab Taurat itu terhadap orang Yahudi dan juga orang Islam. Namun seiring perjalanan waktu, setelah ayat tentang hukum bagi pezina telah diturunkan, maka nabi tidak lagi menghujum orang Islam dengan hukum rajam.
c) Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis Nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis . Pendekatan sosiologis terhadap hadis juga mempelajari bagaimana dan mengapa, tingkah laku sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadis sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah ‘kecurigaan’. Apakah ketentuan hadis itu seperti yang tertulis? Atau sebenarnya ada maksud lain di balik yang tertulis. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.
Pendekatan sosiologis dalam memahami hadis dapat diterapkan msalnya pada hadis tentang persyaratan keturunan Quraisy bagi seorang imam atau kepala negara. Bunyi matan hadisnya, sebagai berikut :
لا يزال هذا الأمر في قريش م بقي منهم اثنان ) رواه البخاري(
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja.”
Ibnu Hajar al-Asqalani (w.852 H= 1449 M) telah membahas hadis-hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulamapun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan khawarij, yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Begitu juga dengan al-Qurthubi (w. 671 H= 1273 M), kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.
Pemahaman secara tekstual hadis-hadis di atas, dan yang semakna dengannya dalam seajarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan karenanya menjadi pegangan bagi para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan bewrlaku secara universal.
Dalam perkembangannya, konon, ulama yang mempelopori pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis di atas adalah Ibnu Khaldun (w. 808 H= 1406 M). Menurut Ibnu Khaldun, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan dari Quraisy. Pertanyaannya apabila suatu masa ada orang yang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin? Termasuk sebagai kepala negara? Jawabannya tergantung bagaimana kita memahami hadis ini. Dengan demikian memahami hadis secara kontekstual menuntun kita untuk melihat kembali refleksi sosiologis sehingga pemaknaan terhadapnya memiliki arti dalam situasi dan perubahan zaman.
Apabila kandungan hadis-hadis di atas, dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwayang paling utama di hadirat Allah adalah yang paling bertaqwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi, karena hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal.
d) Pendekatan Sosio-historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis dengan melihat sejarah sosial dab setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan sosio-historis dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Bunyi matan hadis tersebut sebagai berikut:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة (رواه البخاري)
Tidak akan beruntunng sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan sebagao jabatan politis lainnya dilarang dalam agama. Selanjutnya mereka mengstakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Al-khatabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak syah menjadi khalifah. Demikian as-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata bahwa perempuan itu tidal termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Kamal ibn Abi syarif dan Kamal ibn Abi Hamman, meskipun dengan alasan yang berbeda juga menyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.
Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan atau harus dilihat latar belakang munculnya hadis ( aspek historisitas) disamping keadaan (setting) sosial pada saat itu. Oleh karena itu, dalam mengkaji hadis tersebut perlu adanya kontekstualisasi disamping informasi yang memadai mengenai latar alamiahnya.Sebenarnya jauh sebelum hadis ini muncul, yakni pada masa awal dakwah islamiyah dilakukan oleh nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Diantara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Kisra Persia. Kisah itu akan dijeskan sebagai berikut :
Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain memberikan surat kepada Kisra, setelah membaca surat itu Kisra menolak bahkan merobek-robek surat dari Nabi. Mendengar apa yang dilakukan oleh Kisra, menurut riwayat ibn Al-Musayyab Rasulullah langsung bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu.”
Tidak lama kemudia, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya ( saudara Buwaran ) telah mati terbunuh. Oleh karena itulah diangkatlah Buwaran sebagai ratu.
Selain dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat dikuak bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi trasisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki.perempuan tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi masalah kenegaraan. Hanya kaum laki-laki yang dipandang pantas dan cakap untuk mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini, tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di seluruh jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan soaial itulah, wajar nabi yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera. Bagaimana mungkin akan sukses bila orang yang memimpin adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Sementara salah satu syarat untuk menjadi pemimpin adalah memiliki kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Pendekatan sosio-historis di atas, didukung juga oleh pencarian petunjuk hadis dengan mengkaitkan pada kapasitas Nabi saat menyabdakan hadis, apakah sebagai seorang rasul, kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan sesuatu yang sangat penting sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Syaltut: “ mengetahui ha;-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkan pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan sangat besar manfaatnya.”
Dengan demikian hadis tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merup[akan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya yang menghina dan memusuhi Islam. Sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas historis masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka. Jadi, memaksakan hadis yang berbentuk ikhbar (informasi/berita) ke dalam maslah syar’iah terutama kepemimpinan politik perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional.
e) Pendekatan Antropologis
Pemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakt pada saat hadis itu disabdakan. Pemahaman hadis dengan antropologis bahkan sudah diterapkan Nabi SAW. Suatu ketika orang arab badui datang mengadu kepada nabi perihal istirnya yang melahirkan anaknya yang berkulit berbeda dengan kulitnya. Ia mencurigai istrinya tidak jujur karena kulitnya berwarna kuning sedangkan kulit anaknya berwarna hitam. Untuk menanggapi orang tersebut Rasulullah menggunakan logika dengan bertanya apakah orang itu mempunyai unta. Orang tersebut lalu menjawab bahwa ia mempunyai unta yang berwarna kecoklatan. Rasulullah bertanya : “Kira-kira apakah untamu mempunyai nenek moyang yang berwarna hitam?” orang tersebut menjawab “saya kira punya”. Maka Rasulullah menyahut: “ jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang kulitnya yang berwarna hitam, tidak kuning sepertimu”. Maka orang itu langsung menjawab: “betul ya Rasulullah, kalau begitu dia anak saya.” Pendekatan yang digunakan Rasulullah ini adalah pendekatan antropologis. Hadis tersebut berbunyi :
عن أبي هريرة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ولد لي غلام أسود فقال هل لك من إبل؟ قال نعم قال ما ألوانها؟ قال خمر قال هل فيها من أورق؟ قال نعم قال فأتى ذلك قال لعله نزعه عرق قال فلعل ابنك هذا نزعه )رواه البخاري ومسلم والترميذي(
Secara tekstual, matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadi perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabakan oleh warna kulit yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan yang demikian itu bersifat universal.
Jika Rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan pendekatan antropologis, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau juga diperlukan pendekatan serupa. Sebagai contoh memahami hadis Nabi dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis Nabi menyatakan :
عن عبد الله بن مسعود قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المهورون )رواه البخاري وسلم وأحمد(
“ Dari Abdullah bin Mas’ud berkata : “saya mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dihadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis”.
Bertolak dari adanya banyak hadis yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan mahluk bernyawa karena kelak di hari kiamat dituntut untuk memberi nyawa kepada lukisannya tersebut. Bertolak dari banyaknya hadis yang melarang pembuatan lukisan mahluk bernyawa, maka yang terjadi pada zaman klasik adalah para pelukis muslim kemudian menfokuskan karya lukisannya dalam bentuk kaligrafi, obyek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.
Namun jika dicermati dalam perspektif antropologis, maka hadis ini sangat terkait dengan praktek keagamaan masyarakat pada saat hadis ini disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme (menyekutukan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan yang semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi berusaha agar masyarakat Islam terlepas dari kungkungan praktek-praktek keagamaan yang menyesatkan, sehingga salah satu cara yang dilakukan Nabi adalah dengan melarang memproduksi dan memajang lukisan mereka.
f) Pendekatan Psikologis
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis disini adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan objek atau kepada siapa sebuah hadis ditujukan.
Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat Nabi saw. terkadang memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan yang sama. Dalam masalah ini, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam memahami hadis-hadis tersebut yaitu dengan pendekatan psikologi.
Sebagai contoh, hadis Nabi saw. tentang amalan yang paling utama, disebuah hadis Nabi menjawab bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan orang lain dan menyebarkan salam, dihadis lain Nabi bersabda shalat pada waktunya adalah yang paling utama, ada juga hadis yang menyatakan bahwa berimana kepada Allah dan Rasulnya, jihad dijalan Allah, haji yang mabrur merupakan amalan yang paling utama dan lain sebagainya. Jika kita melihat hadis-hadis tersebut secara tekstual, maka yang kita simpulkan adalah hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Ketika satu diklaim benar maka yang lain menjadi salah. Akan tetapi, jika kita melihat konteksnya, bahwa Nabi ketika menyatakan sabdanya, melihat kepada kondisi dan kejiwaan orang yang bertanya. Karena kondisi mereka berbeda-beda, maka jawaban Nabi untuk merekapun berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Syuhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif ada dua kemungkinan, yakni 1) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Oleh karena itu hadis-hadis yang sejenis diatas, bersifat temporal dan kondisional.
g. Pendekatan Geografis
Pendekatan geografis dalam memahami hadis adalah upaya kontekstualisasi pemahaman hadis dengan melihat realitas dan kondisi geografis. Kondisi keografis ini bisa juga dipahami sebagai keadaan suatu tempat, baik itu cuaca, letak atau tempat, bahkan musim tertentu.
Dibawah ini penulis memberikan contoh hadis yang bias dipahami berdasarkan konsidi geografis suatu daerah.
عن عبد الله بن ربيع قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : علموا أبناءكم السباحة والرماية, ونعم لهو المؤمنة في بيتها المغزلة, وإذا دعاك أبوك فأجب أمك. رواه بن منده.
Artinya : Dari Bakar ibn Abdullah ibn Rabi’ah al-Anshari berkata: bersabda Rasulullah saw: ajarilah anak-anak kalian berenang dan memanah, dan sebaik-baik permainan untuk anak perempuan adalah merenda dirumahnya, dan apabila dipanggil kedua orang tua kalian maka jawablah panggilan ibu kalian. (HR. Ibnu Manduh, Abu Musa)
Bila dilihat dari makna matan hadis di atas, secara tekstual dapat dipahami bahwa Rasulullah menyeruh anak-anak muda untuk berlatih berenang, memanah, dan merenda untuk perempuan. Pertanyaannya mengapa hadis ini disabdakan oleh Rasulullah? Jawabannya adalah ketika Rasulullah menyuruh anak-anak berlatih berenang disebabkan oleh ketika itu pernah terjadi banjir yang besar sehingga menewaskan banyak orang terutama sekali orang-orang yang tidak bisa berenang. Inilah sebabnya hadis ini disabdakan. Begitu pula kaitannya dengan anjuran Rasulullah untuk mengajarkan anak-anak untuk berlatih memanah, karena ketika anak-anak besar, kemudian ada peperangan maka ada persiapan prajurit memanah yang handal yang siap membela kebesaran Islam.
Sementara itu bila hadis ini dipahami secara kontekstual dan disesuaikan dengan kondisi geografis, maka hadis ini bisa dimaknai sebagai motivasi dalam berolahraga. Misalnya berlatih memanah sekarang sudah menjadi olahraga yang cabang olahraga yang dilombakan secara internasional, begitu juga dengan cabang olahraga berenang. Dengan demikian, seharusnyalah anak-anak diajarkan memanah, berenang dan olahraga lain sedini mungkin, sehingga nantinya bisa membanggakan bangsa dan negara.
C. KESIMPULAN
Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di dalamnya.
Upaya memahaminya dengan pendekatan tekstualis an sich tidaklah cukup agar senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis atau Sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis atau Sunnah itu ditampilkan.
Dengan demikian, kehadiran beberapa metode dan pendekatan dalam memahami hadis ini sangat diperlukan, sehingga pemaknaan-pemaknaan kita terhadap hadis tersebut tidak hanya melihat secara tektualitas tetapi ada upaya untuk melahirkan itepretasi secara kontektualitas.
Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman. Perubahan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua hal. Pertama, perubahan dalam arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat tipikal dan temporal. Kedua, perubahan dalam arti memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi: (Metode dan Pendekatan), Yogyakarta, Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001
Abdul, Waryono Gafur, Epistemologi Ilmu Hadis, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Asjmuni, Abdurrahman,Drs.Prof. Tekstual, Kontekstual dan Liberal. http://www. Suaramuhammadiyah.or.id/manhaj.htm
Brown, B. Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988
Ilyas, Hamim, Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (telaah terhadap Asbab al-Wurud), Jurnal Kutub Khazanah, no. 02 Maret 1999
___________, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Ismail, Suhudi, Dr.Prof. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Lokal, Jakarta, Bulan Bintang, 2009
Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Bampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
___________ “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
A. Pendahuluan
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (baca: al-Qur’an dan Hadis) bisa lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.
Kajian hadis memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun - non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang herupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, termasuk berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan tawaran baru dari berbagai sumber, bagaimana cara memahami hadis (filth al-hadits) dengan paradigma interkoneksi, yakni pendekatan bahasa, historis, sosiologis, sosio historis, antropologis, psikologis dan geografis. Tujuan dari pembahasan ini agar pemaknaan kita terhadap hadis tidak mengalami stagnasi dan rigid (kaku).
B. Tekstualisasi dan Kontekstualisasi Hadis
Sejauh perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau sunnah, pertanyaan seputar “bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan bagian yang paling rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan jawaban-jawaban yang mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad s.a.w., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam statusnya sebagai Utusan Allah. Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan standar etika dan tingkah laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan rule of live dalam bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.
Adapun kesanggupan umat muslim meng-imitasi Muhammad adalah perwujudan konsensus agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum muslimin sudah terlanjur menyepakati perjanjian dengan Allah SWT. Untuk mengimani dan taat kepada-Nya juga pada rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan “Athî`ûllâha warrasûl…” (QS. Âli `Imrân, 3: 32), atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…” (QS. An-Nisâ’, 4: 59).
Dalam upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi Muhammad s.a.w., barangkali bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah. Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding dengan zaman modern saat ini.
Hal yang relatif sama, terjadi pada generasi Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.
Tentu, hal demikian di atas tak segampang generasi muslim muta`akhirin yang hidup pada abad modern, dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang pelik dan rumit. Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah agama yang dalam hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan tafsîr (keterangan penjelas) atau bayân murâd (keterangan yang dimaksud) al-Quran.
Kondisi ini benar-benar menantang kaum muslimin. Sehingga sederetan pakar yang tergabung dalam kelompok modernisme dan kontemporer berusaha memetakan. lebih tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah tersebut melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya disebut aliran kontekstualisme sebagai perimbangan dan melengkapi nalar tekstualisme.
Kontekstualis diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”. Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan”. Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.
Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah pandangani.
yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di abad ini.
Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan menonjol antara hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan penyampaiannya, diyakini bahwa al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya.
Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan catatan beberapa sahabat serta tabi’in. namun demikian profil sahabat dan tabi’in yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan, ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan menurut penulis, bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang kongkret dan hidup sebagai penerjemahan al-Quran.
Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w.. Disamping itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan status hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami secara tekstual maupun kontekstual.
Tak kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi Rasulullah s.a.w. dan fungsinya. Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan Rasululullah s.a.w. ini peran apa yang sedang beliau mainkan menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Melaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa makânin.
Secara lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis atau sunnah sebagai berikut:
1. jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau Sunnah yang lebih luas.
2. banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab, dalam hal ini yang bertanggung jawab untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
3. Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
4. kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.
5. dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:Pertama, masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w.. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal..Kedua, dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.Ketiga, peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya — telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin al-Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.Keempat, implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran Islam itu sendiri.Kelima, pemahan tekstualis secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash itu sendiri.Keenam, pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibandingkan secara tekstual. Kedelapan, Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang maslahat), Kesembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama, dalam bidang ibadah mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. Kedua, bidang di luar ibadah murni. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
2. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.
2. Pendekatan-pendekatan Dalam Memahami Hadis
a) Pendekatan Bahasa
Persoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian matan. Pemahaman hadis dengan beberapa macam pendekatan ternyata memang diperlukan, salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar. Pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu dalam kegiatan penelitian yang berkaitan berhubungan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari kandunngan matan hadis berkaitan dengan masalah keyakinan, hal-hal yang gaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan agama yang bersifat ta’abbudi.
Pertanyaannya bagaiamana cara kita memahami begitu banyaknya matan hadis yang semakna? Disinilah posisi bahasa bisa menjadi bagian penting dalam pemaknaan teks-teks hadis dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif.
Banyak matan hadis yang semakna, dengan sanad yang sama-sama sahihnya tersusun dengan lafaz yang berbeda. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna adalah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna ( al-riwayah bi al-ma’na ). Menurut ulama hadis, perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu masih dapat ditoleransi. Dari sinilah penelitian makna hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa menjadi penting.
Terjadinya sebuah hadis ada yang bersifat situasional ( yang didahului oleh sebab) dan ada yang bersifat langsung ( tanpa sebab ). Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa ( balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi ( metaforis ) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.
Sebagai contoh matan hadis yang berbentuk tasybih ( allegory ) yaitu hadis tentang persaudaraan atas dasar iman misalnya, memiliki perbedaan lafaz matan. Redaksi hadis tersebut adalah :
عن ابي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان المؤمن كالبنيا ن يشد بعضه بعضا وشبك ا صا بعه
. روه ا لبخارى .
Terjemahan matan hadis :
“Sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya, dan jari-jemarinya” (H.R. Al Bukhari dari abu musa)
عن ابي موسى قال قال رسول الله صل ا لله عليه وسلم ا لمؤ من للمؤ من كالبنيا ن يشد بعضه بعضا
( روه ا لبخارى )
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman dan orang yang beriman lainnya ibarat bangunan yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya.” ( H.R. Muslim dari Abu Musa)
عن أبي موسى الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الترميذي)
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya.” (H.R. al-Turmuzi dari Abu Musa al-Asy’ari)
Jika hadis-hadis tersebut dicermati, maka tiga hadis tentang persaudaran atas dasar iman ini telah terjadi perbedaan lafaz antara sumber dari al-Bukhari dengan Muslim dan al-Tirmizi. Meskipun sumber perawi berasal dari satu sumber, yakni Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Lantas apa yang menyebabkan seingga lafaz hadis tersebut berbeda, terutama adanya tambahan dari Bukhari ? ini disebabkan karena adanya ziyadah (tambahan) dari periwayat jalur al-Bukhari.
Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Aspek susunan bahasa inilah yang oleh jumhur ulama dijadikan salah satu tanda-tanda atau kriteria hadis shahih, karena Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ziyadah dari jalur sanad al-Bukhari di atas tidak bertentangan dari periwayat jalur Muslim dan al-Tirmidzi, bahkan kata tambahan/ ziyada-nya berupa ta’kid (memperkuat) yakni dengan menambah inna dan Syabbaka asabi’ah yang secara arti tidak bertentangan. Oleh karena itu, ziyadah seperti dapat diterima.
b) Pendekatan Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis. Pemahaman hadis dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya dalam memahami hadis tentang hukum rajam, sebagai salah satu produk hukum islam yang sampai saat ini masih dianggap perlu untuk diberlakukan menurut sebagian fuqaha’. Penetapan hukum rajam yang hanya dijumpai dari hadis yang diberlakukan bagi pelaku zina muhsan. Hadis-hadis rajam tersebardi seluruh kitab hadis, dengan bentuk redaksi yang berbeda. Namun setelah dilakukan pengamatan oleh beberapa ahli hadis ternyata hanya ditemukan dua bentuk hadis rajam yang secara material berbeda bila dilihat dari sudut pandang pelakunya, yaitu : 1) pelaku zina muhsan dari kalangan muslim, 2) pelaku zina muhsan dari kalangan non muslim.
Diantara hadis-hadis tersebut adalah riwayat imam al-Bukhari sebagai berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه قال أن اليهود جاؤوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنيا فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون في التوراة شأن الرجم فقالوا نفضهم ويجددون. قال عبد الله بن سلام كذبتم فيها الرجم فأتوا بالتوراة فانشروها فوضع أحدهم يده على آية الرجم فقرأ ما قبلها وما بعدها
Telah menceritakan kepadaku (Iman al-Bukhari) ismail ibn Abdullah, ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan kepadaku yang ia terima dari nafi’ ia menerima dari Abdullah ibn Umar r.a yang berkata bahwa sekelompok orang yahudi datang kepada Rasulullah SAW, sambil menceritakan bahwa sesorang laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka: “Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?”. Mereka menjawab: “Kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian Abdullah ibn Salam berkata: “kamu semua berdusta, sebab dalam kitab taurat itu ada hukum rajam. Ambillah kitab Taurat “. Dan mereka menggelar kitab Taurat itu untuk dibaca, tetapi salah satu diantara mereka meletakkan telapak tangannya tepat di atas ayat rajam dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja. Kemudian Abdullah ibn Salam mengatakan lagi: “angkat tanganmu”. Lalu orang itu mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam. Selanjutnya mereka mengatakan: benar ya Muhammad bahwa dalam kitab taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hukum rajam tersebut.
Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi penolakan hukum rajam tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa hadis yang menunjukkan adanya hukum rajam terjadi serjadi sebelulm turunnya al-Qur’an Surah an-Nur ayat 2, sehingga hadis mengenai rajam ini di nasakh oleh al-qur’an. Polemik antara menolak dan menerima hukum rajam inipun berlanjut sampai sekarang ini. Problem inilah yang menuntuk adanya fiqh-al-hadis, dengan menggunakan pendekatan historis dengan melihat peristiwa pelaksaan hukum rajam dari sisi sejarah atau pembongkaran data-data kesejarahan yang berkaitan dengan hadis tersebut.
Dengan melihat kenyataan sejarah bahwa pada masa nabi Muhammad SAW, orang-orang Islam hidup berdampingan dengan orang-orang yahudi, yang memiliki kitab suci dan juga diakui oleh Islam. Dengan demikian, ketika orang-orang Yahudi melakukan pelanggaran hukum (zina), maka sangat wajar bila Nabi Muhammad memberlakukan hukum rajam bagi mereka sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya, kitab Taurat. Kemudian bagaimana pelaksaan hukum rajam tersebut bagi orang-orang Islam? Jawabannya adalah hukum-hukum yang ada dalam kitab suci terdahulu (Taurat) itu memang masih diberlakukan kepada umat Islam sepanjang tidak diubah dan tidak diganti dengan ketentuan atau hukum baru. apakah kasus pelaksaan hukum rajam bgi orang-orang islam dilaksanakan sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam surah Al-Nur ayat 2 tersebut.
Dalam perspektif kesejarahan, termasuk dalam beberapa kitab hadis tidak tidemukan tentang kapan pemberlakuan hukum rajam tersebut, terutama sekali terhadap orang-orang Islam. Sedangkan dalam riwayat Iman al-Bukhari sendiri tidak ditemukan secara otentik data-data mengenai kapan kepastian waktu pelaksanaan hukum rajam. Dari kenyataan sejarah itulah mengapa nabi Muhammad mengaplikasikan doktrin hukum dalam kitab Taurat itu terhadap orang Yahudi dan juga orang Islam. Namun seiring perjalanan waktu, setelah ayat tentang hukum bagi pezina telah diturunkan, maka nabi tidak lagi menghujum orang Islam dengan hukum rajam.
c) Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis Nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis . Pendekatan sosiologis terhadap hadis juga mempelajari bagaimana dan mengapa, tingkah laku sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadis sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah ‘kecurigaan’. Apakah ketentuan hadis itu seperti yang tertulis? Atau sebenarnya ada maksud lain di balik yang tertulis. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.
Pendekatan sosiologis dalam memahami hadis dapat diterapkan msalnya pada hadis tentang persyaratan keturunan Quraisy bagi seorang imam atau kepala negara. Bunyi matan hadisnya, sebagai berikut :
لا يزال هذا الأمر في قريش م بقي منهم اثنان ) رواه البخاري(
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja.”
Ibnu Hajar al-Asqalani (w.852 H= 1449 M) telah membahas hadis-hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulamapun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan khawarij, yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Begitu juga dengan al-Qurthubi (w. 671 H= 1273 M), kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.
Pemahaman secara tekstual hadis-hadis di atas, dan yang semakna dengannya dalam seajarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan karenanya menjadi pegangan bagi para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan bewrlaku secara universal.
Dalam perkembangannya, konon, ulama yang mempelopori pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis di atas adalah Ibnu Khaldun (w. 808 H= 1406 M). Menurut Ibnu Khaldun, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan dari Quraisy. Pertanyaannya apabila suatu masa ada orang yang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin? Termasuk sebagai kepala negara? Jawabannya tergantung bagaimana kita memahami hadis ini. Dengan demikian memahami hadis secara kontekstual menuntun kita untuk melihat kembali refleksi sosiologis sehingga pemaknaan terhadapnya memiliki arti dalam situasi dan perubahan zaman.
Apabila kandungan hadis-hadis di atas, dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwayang paling utama di hadirat Allah adalah yang paling bertaqwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi, karena hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal.
d) Pendekatan Sosio-historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis dengan melihat sejarah sosial dab setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan sosio-historis dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Bunyi matan hadis tersebut sebagai berikut:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة (رواه البخاري)
Tidak akan beruntunng sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan sebagao jabatan politis lainnya dilarang dalam agama. Selanjutnya mereka mengstakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Al-khatabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak syah menjadi khalifah. Demikian as-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata bahwa perempuan itu tidal termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Kamal ibn Abi syarif dan Kamal ibn Abi Hamman, meskipun dengan alasan yang berbeda juga menyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.
Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan atau harus dilihat latar belakang munculnya hadis ( aspek historisitas) disamping keadaan (setting) sosial pada saat itu. Oleh karena itu, dalam mengkaji hadis tersebut perlu adanya kontekstualisasi disamping informasi yang memadai mengenai latar alamiahnya.Sebenarnya jauh sebelum hadis ini muncul, yakni pada masa awal dakwah islamiyah dilakukan oleh nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Diantara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Kisra Persia. Kisah itu akan dijeskan sebagai berikut :
Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain memberikan surat kepada Kisra, setelah membaca surat itu Kisra menolak bahkan merobek-robek surat dari Nabi. Mendengar apa yang dilakukan oleh Kisra, menurut riwayat ibn Al-Musayyab Rasulullah langsung bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu.”
Tidak lama kemudia, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya ( saudara Buwaran ) telah mati terbunuh. Oleh karena itulah diangkatlah Buwaran sebagai ratu.
Selain dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat dikuak bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi trasisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki.perempuan tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi masalah kenegaraan. Hanya kaum laki-laki yang dipandang pantas dan cakap untuk mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini, tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di seluruh jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan soaial itulah, wajar nabi yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera. Bagaimana mungkin akan sukses bila orang yang memimpin adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Sementara salah satu syarat untuk menjadi pemimpin adalah memiliki kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Pendekatan sosio-historis di atas, didukung juga oleh pencarian petunjuk hadis dengan mengkaitkan pada kapasitas Nabi saat menyabdakan hadis, apakah sebagai seorang rasul, kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan sesuatu yang sangat penting sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Syaltut: “ mengetahui ha;-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkan pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan sangat besar manfaatnya.”
Dengan demikian hadis tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merup[akan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya yang menghina dan memusuhi Islam. Sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas historis masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka. Jadi, memaksakan hadis yang berbentuk ikhbar (informasi/berita) ke dalam maslah syar’iah terutama kepemimpinan politik perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional.
e) Pendekatan Antropologis
Pemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakt pada saat hadis itu disabdakan. Pemahaman hadis dengan antropologis bahkan sudah diterapkan Nabi SAW. Suatu ketika orang arab badui datang mengadu kepada nabi perihal istirnya yang melahirkan anaknya yang berkulit berbeda dengan kulitnya. Ia mencurigai istrinya tidak jujur karena kulitnya berwarna kuning sedangkan kulit anaknya berwarna hitam. Untuk menanggapi orang tersebut Rasulullah menggunakan logika dengan bertanya apakah orang itu mempunyai unta. Orang tersebut lalu menjawab bahwa ia mempunyai unta yang berwarna kecoklatan. Rasulullah bertanya : “Kira-kira apakah untamu mempunyai nenek moyang yang berwarna hitam?” orang tersebut menjawab “saya kira punya”. Maka Rasulullah menyahut: “ jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang kulitnya yang berwarna hitam, tidak kuning sepertimu”. Maka orang itu langsung menjawab: “betul ya Rasulullah, kalau begitu dia anak saya.” Pendekatan yang digunakan Rasulullah ini adalah pendekatan antropologis. Hadis tersebut berbunyi :
عن أبي هريرة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ولد لي غلام أسود فقال هل لك من إبل؟ قال نعم قال ما ألوانها؟ قال خمر قال هل فيها من أورق؟ قال نعم قال فأتى ذلك قال لعله نزعه عرق قال فلعل ابنك هذا نزعه )رواه البخاري ومسلم والترميذي(
Secara tekstual, matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadi perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabakan oleh warna kulit yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan yang demikian itu bersifat universal.
Jika Rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan pendekatan antropologis, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau juga diperlukan pendekatan serupa. Sebagai contoh memahami hadis Nabi dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis Nabi menyatakan :
عن عبد الله بن مسعود قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المهورون )رواه البخاري وسلم وأحمد(
“ Dari Abdullah bin Mas’ud berkata : “saya mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dihadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis”.
Bertolak dari adanya banyak hadis yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan mahluk bernyawa karena kelak di hari kiamat dituntut untuk memberi nyawa kepada lukisannya tersebut. Bertolak dari banyaknya hadis yang melarang pembuatan lukisan mahluk bernyawa, maka yang terjadi pada zaman klasik adalah para pelukis muslim kemudian menfokuskan karya lukisannya dalam bentuk kaligrafi, obyek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.
Namun jika dicermati dalam perspektif antropologis, maka hadis ini sangat terkait dengan praktek keagamaan masyarakat pada saat hadis ini disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme (menyekutukan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan yang semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi berusaha agar masyarakat Islam terlepas dari kungkungan praktek-praktek keagamaan yang menyesatkan, sehingga salah satu cara yang dilakukan Nabi adalah dengan melarang memproduksi dan memajang lukisan mereka.
f) Pendekatan Psikologis
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis disini adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan objek atau kepada siapa sebuah hadis ditujukan.
Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat Nabi saw. terkadang memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan yang sama. Dalam masalah ini, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam memahami hadis-hadis tersebut yaitu dengan pendekatan psikologi.
Sebagai contoh, hadis Nabi saw. tentang amalan yang paling utama, disebuah hadis Nabi menjawab bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan orang lain dan menyebarkan salam, dihadis lain Nabi bersabda shalat pada waktunya adalah yang paling utama, ada juga hadis yang menyatakan bahwa berimana kepada Allah dan Rasulnya, jihad dijalan Allah, haji yang mabrur merupakan amalan yang paling utama dan lain sebagainya. Jika kita melihat hadis-hadis tersebut secara tekstual, maka yang kita simpulkan adalah hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Ketika satu diklaim benar maka yang lain menjadi salah. Akan tetapi, jika kita melihat konteksnya, bahwa Nabi ketika menyatakan sabdanya, melihat kepada kondisi dan kejiwaan orang yang bertanya. Karena kondisi mereka berbeda-beda, maka jawaban Nabi untuk merekapun berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Syuhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif ada dua kemungkinan, yakni 1) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Oleh karena itu hadis-hadis yang sejenis diatas, bersifat temporal dan kondisional.
g. Pendekatan Geografis
Pendekatan geografis dalam memahami hadis adalah upaya kontekstualisasi pemahaman hadis dengan melihat realitas dan kondisi geografis. Kondisi keografis ini bisa juga dipahami sebagai keadaan suatu tempat, baik itu cuaca, letak atau tempat, bahkan musim tertentu.
Dibawah ini penulis memberikan contoh hadis yang bias dipahami berdasarkan konsidi geografis suatu daerah.
عن عبد الله بن ربيع قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : علموا أبناءكم السباحة والرماية, ونعم لهو المؤمنة في بيتها المغزلة, وإذا دعاك أبوك فأجب أمك. رواه بن منده.
Artinya : Dari Bakar ibn Abdullah ibn Rabi’ah al-Anshari berkata: bersabda Rasulullah saw: ajarilah anak-anak kalian berenang dan memanah, dan sebaik-baik permainan untuk anak perempuan adalah merenda dirumahnya, dan apabila dipanggil kedua orang tua kalian maka jawablah panggilan ibu kalian. (HR. Ibnu Manduh, Abu Musa)
Bila dilihat dari makna matan hadis di atas, secara tekstual dapat dipahami bahwa Rasulullah menyeruh anak-anak muda untuk berlatih berenang, memanah, dan merenda untuk perempuan. Pertanyaannya mengapa hadis ini disabdakan oleh Rasulullah? Jawabannya adalah ketika Rasulullah menyuruh anak-anak berlatih berenang disebabkan oleh ketika itu pernah terjadi banjir yang besar sehingga menewaskan banyak orang terutama sekali orang-orang yang tidak bisa berenang. Inilah sebabnya hadis ini disabdakan. Begitu pula kaitannya dengan anjuran Rasulullah untuk mengajarkan anak-anak untuk berlatih memanah, karena ketika anak-anak besar, kemudian ada peperangan maka ada persiapan prajurit memanah yang handal yang siap membela kebesaran Islam.
Sementara itu bila hadis ini dipahami secara kontekstual dan disesuaikan dengan kondisi geografis, maka hadis ini bisa dimaknai sebagai motivasi dalam berolahraga. Misalnya berlatih memanah sekarang sudah menjadi olahraga yang cabang olahraga yang dilombakan secara internasional, begitu juga dengan cabang olahraga berenang. Dengan demikian, seharusnyalah anak-anak diajarkan memanah, berenang dan olahraga lain sedini mungkin, sehingga nantinya bisa membanggakan bangsa dan negara.
C. KESIMPULAN
Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di dalamnya.
Upaya memahaminya dengan pendekatan tekstualis an sich tidaklah cukup agar senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis atau Sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis atau Sunnah itu ditampilkan.
Dengan demikian, kehadiran beberapa metode dan pendekatan dalam memahami hadis ini sangat diperlukan, sehingga pemaknaan-pemaknaan kita terhadap hadis tersebut tidak hanya melihat secara tektualitas tetapi ada upaya untuk melahirkan itepretasi secara kontektualitas.
Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman. Perubahan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua hal. Pertama, perubahan dalam arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat tipikal dan temporal. Kedua, perubahan dalam arti memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi: (Metode dan Pendekatan), Yogyakarta, Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001
Abdul, Waryono Gafur, Epistemologi Ilmu Hadis, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Asjmuni, Abdurrahman,Drs.Prof. Tekstual, Kontekstual dan Liberal. http://www. Suaramuhammadiyah.or.id/manhaj.htm
Brown, B. Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988
Ilyas, Hamim, Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (telaah terhadap Asbab al-Wurud), Jurnal Kutub Khazanah, no. 02 Maret 1999
___________, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Ismail, Suhudi, Dr.Prof. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Lokal, Jakarta, Bulan Bintang, 2009
Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Bampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
___________ “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)