PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADIS ( TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI DALAM MEMAHAMI HADIS)
A. Pendahuluan
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (baca: al-Qur’an dan Hadis) bisa lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.
Kajian hadis memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun - non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang herupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, termasuk berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan tawaran baru dari berbagai sumber, bagaimana cara memahami hadis (filth al-hadits) dengan paradigma interkoneksi, yakni pendekatan bahasa, historis, sosiologis, sosio historis, antropologis, psikologis dan geografis. Tujuan dari pembahasan ini agar pemaknaan kita terhadap hadis tidak mengalami stagnasi dan rigid (kaku).
B. Tekstualisasi dan Kontekstualisasi Hadis
Sejauh perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau sunnah, pertanyaan seputar “bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan bagian yang paling rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan jawaban-jawaban yang mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad s.a.w., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam statusnya sebagai Utusan Allah. Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan standar etika dan tingkah laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan rule of live dalam bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.
Adapun kesanggupan umat muslim meng-imitasi Muhammad adalah perwujudan konsensus agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum muslimin sudah terlanjur menyepakati perjanjian dengan Allah SWT. Untuk mengimani dan taat kepada-Nya juga pada rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan “Athî`ûllâha warrasûl…” (QS. Âli `Imrân, 3: 32), atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…” (QS. An-Nisâ’, 4: 59).
Dalam upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi Muhammad s.a.w., barangkali bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah. Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana dibanding dengan zaman modern saat ini.
Hal yang relatif sama, terjadi pada generasi Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.
Tentu, hal demikian di atas tak segampang generasi muslim muta`akhirin yang hidup pada abad modern, dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang pelik dan rumit. Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah agama yang dalam hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan tafsîr (keterangan penjelas) atau bayân murâd (keterangan yang dimaksud) al-Quran.
Kondisi ini benar-benar menantang kaum muslimin. Sehingga sederetan pakar yang tergabung dalam kelompok modernisme dan kontemporer berusaha memetakan. lebih tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah tersebut melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya disebut aliran kontekstualisme sebagai perimbangan dan melengkapi nalar tekstualisme.
Kontekstualis diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”. Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan”. Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.
Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah pandangani.
yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di abad ini.
Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan menonjol antara hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan penyampaiannya, diyakini bahwa al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya.
Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan catatan beberapa sahabat serta tabi’in. namun demikian profil sahabat dan tabi’in yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan, ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan menurut penulis, bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang kongkret dan hidup sebagai penerjemahan al-Quran.
Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w.. Disamping itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan status hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami secara tekstual maupun kontekstual.
Tak kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi Rasulullah s.a.w. dan fungsinya. Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan Rasululullah s.a.w. ini peran apa yang sedang beliau mainkan menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Melaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa makânin.
Secara lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis atau sunnah sebagai berikut:
1. jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau Sunnah yang lebih luas.
2. banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab, dalam hal ini yang bertanggung jawab untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
3. Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
4. kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.
5. dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.
Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:Pertama, masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w.. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal..Kedua, dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.Ketiga, peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya — telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin al-Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.Keempat, implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran Islam itu sendiri.Kelima, pemahan tekstualis secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash itu sendiri.Keenam, pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibandingkan secara tekstual. Kedelapan, Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang maslahat), Kesembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama, dalam bidang ibadah mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. Kedua, bidang di luar ibadah murni. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:
1. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
2. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.
2. Pendekatan-pendekatan Dalam Memahami Hadis
a) Pendekatan Bahasa
Persoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian matan. Pemahaman hadis dengan beberapa macam pendekatan ternyata memang diperlukan, salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar. Pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu dalam kegiatan penelitian yang berkaitan berhubungan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari kandunngan matan hadis berkaitan dengan masalah keyakinan, hal-hal yang gaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan agama yang bersifat ta’abbudi.
Pertanyaannya bagaiamana cara kita memahami begitu banyaknya matan hadis yang semakna? Disinilah posisi bahasa bisa menjadi bagian penting dalam pemaknaan teks-teks hadis dengan langkah-langkah yang lebih komprehensif.
Banyak matan hadis yang semakna, dengan sanad yang sama-sama sahihnya tersusun dengan lafaz yang berbeda. Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna adalah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna ( al-riwayah bi al-ma’na ). Menurut ulama hadis, perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu masih dapat ditoleransi. Dari sinilah penelitian makna hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa menjadi penting.
Terjadinya sebuah hadis ada yang bersifat situasional ( yang didahului oleh sebab) dan ada yang bersifat langsung ( tanpa sebab ). Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa ( balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi ( metaforis ) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.
Sebagai contoh matan hadis yang berbentuk tasybih ( allegory ) yaitu hadis tentang persaudaraan atas dasar iman misalnya, memiliki perbedaan lafaz matan. Redaksi hadis tersebut adalah :
عن ابي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان المؤمن كالبنيا ن يشد بعضه بعضا وشبك ا صا بعه
. روه ا لبخارى .
Terjemahan matan hadis :
“Sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya, dan jari-jemarinya” (H.R. Al Bukhari dari abu musa)
عن ابي موسى قال قال رسول الله صل ا لله عليه وسلم ا لمؤ من للمؤ من كالبنيا ن يشد بعضه بعضا
( روه ا لبخارى )
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman dan orang yang beriman lainnya ibarat bangunan yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya.” ( H.R. Muslim dari Abu Musa)
عن أبي موسى الأشعري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الترميذي)
Terjemahan matan hadis :
“ sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian yang lainnya.” (H.R. al-Turmuzi dari Abu Musa al-Asy’ari)
Jika hadis-hadis tersebut dicermati, maka tiga hadis tentang persaudaran atas dasar iman ini telah terjadi perbedaan lafaz antara sumber dari al-Bukhari dengan Muslim dan al-Tirmizi. Meskipun sumber perawi berasal dari satu sumber, yakni Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Lantas apa yang menyebabkan seingga lafaz hadis tersebut berbeda, terutama adanya tambahan dari Bukhari ? ini disebabkan karena adanya ziyadah (tambahan) dari periwayat jalur al-Bukhari.
Perbedaan matan tersebut masih dapat ditoleransi, karena isinya tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Aspek susunan bahasa inilah yang oleh jumhur ulama dijadikan salah satu tanda-tanda atau kriteria hadis shahih, karena Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ziyadah dari jalur sanad al-Bukhari di atas tidak bertentangan dari periwayat jalur Muslim dan al-Tirmidzi, bahkan kata tambahan/ ziyada-nya berupa ta’kid (memperkuat) yakni dengan menambah inna dan Syabbaka asabi’ah yang secara arti tidak bertentangan. Oleh karena itu, ziyadah seperti dapat diterima.
b) Pendekatan Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis. Pemahaman hadis dengan pendekatan historis dapat dilihat misalnya dalam memahami hadis tentang hukum rajam, sebagai salah satu produk hukum islam yang sampai saat ini masih dianggap perlu untuk diberlakukan menurut sebagian fuqaha’. Penetapan hukum rajam yang hanya dijumpai dari hadis yang diberlakukan bagi pelaku zina muhsan. Hadis-hadis rajam tersebardi seluruh kitab hadis, dengan bentuk redaksi yang berbeda. Namun setelah dilakukan pengamatan oleh beberapa ahli hadis ternyata hanya ditemukan dua bentuk hadis rajam yang secara material berbeda bila dilihat dari sudut pandang pelakunya, yaitu : 1) pelaku zina muhsan dari kalangan muslim, 2) pelaku zina muhsan dari kalangan non muslim.
Diantara hadis-hadis tersebut adalah riwayat imam al-Bukhari sebagai berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه قال أن اليهود جاؤوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنيا فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون في التوراة شأن الرجم فقالوا نفضهم ويجددون. قال عبد الله بن سلام كذبتم فيها الرجم فأتوا بالتوراة فانشروها فوضع أحدهم يده على آية الرجم فقرأ ما قبلها وما بعدها
Telah menceritakan kepadaku (Iman al-Bukhari) ismail ibn Abdullah, ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan kepadaku yang ia terima dari nafi’ ia menerima dari Abdullah ibn Umar r.a yang berkata bahwa sekelompok orang yahudi datang kepada Rasulullah SAW, sambil menceritakan bahwa sesorang laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan kepada mereka: “Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?”. Mereka menjawab: “Kami mempermalukan dan mendera mereka”. Kemudian Abdullah ibn Salam berkata: “kamu semua berdusta, sebab dalam kitab taurat itu ada hukum rajam. Ambillah kitab Taurat “. Dan mereka menggelar kitab Taurat itu untuk dibaca, tetapi salah satu diantara mereka meletakkan telapak tangannya tepat di atas ayat rajam dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja. Kemudian Abdullah ibn Salam mengatakan lagi: “angkat tanganmu”. Lalu orang itu mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam. Selanjutnya mereka mengatakan: benar ya Muhammad bahwa dalam kitab taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hukum rajam tersebut.
Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi penolakan hukum rajam tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa hadis yang menunjukkan adanya hukum rajam terjadi serjadi sebelulm turunnya al-Qur’an Surah an-Nur ayat 2, sehingga hadis mengenai rajam ini di nasakh oleh al-qur’an. Polemik antara menolak dan menerima hukum rajam inipun berlanjut sampai sekarang ini. Problem inilah yang menuntuk adanya fiqh-al-hadis, dengan menggunakan pendekatan historis dengan melihat peristiwa pelaksaan hukum rajam dari sisi sejarah atau pembongkaran data-data kesejarahan yang berkaitan dengan hadis tersebut.
Dengan melihat kenyataan sejarah bahwa pada masa nabi Muhammad SAW, orang-orang Islam hidup berdampingan dengan orang-orang yahudi, yang memiliki kitab suci dan juga diakui oleh Islam. Dengan demikian, ketika orang-orang Yahudi melakukan pelanggaran hukum (zina), maka sangat wajar bila Nabi Muhammad memberlakukan hukum rajam bagi mereka sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya, kitab Taurat. Kemudian bagaimana pelaksaan hukum rajam tersebut bagi orang-orang Islam? Jawabannya adalah hukum-hukum yang ada dalam kitab suci terdahulu (Taurat) itu memang masih diberlakukan kepada umat Islam sepanjang tidak diubah dan tidak diganti dengan ketentuan atau hukum baru. apakah kasus pelaksaan hukum rajam bgi orang-orang islam dilaksanakan sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam surah Al-Nur ayat 2 tersebut.
Dalam perspektif kesejarahan, termasuk dalam beberapa kitab hadis tidak tidemukan tentang kapan pemberlakuan hukum rajam tersebut, terutama sekali terhadap orang-orang Islam. Sedangkan dalam riwayat Iman al-Bukhari sendiri tidak ditemukan secara otentik data-data mengenai kapan kepastian waktu pelaksanaan hukum rajam. Dari kenyataan sejarah itulah mengapa nabi Muhammad mengaplikasikan doktrin hukum dalam kitab Taurat itu terhadap orang Yahudi dan juga orang Islam. Namun seiring perjalanan waktu, setelah ayat tentang hukum bagi pezina telah diturunkan, maka nabi tidak lagi menghujum orang Islam dengan hukum rajam.
c) Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis Nabi dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis . Pendekatan sosiologis terhadap hadis juga mempelajari bagaimana dan mengapa, tingkah laku sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadis sebagaimana kita lihat. Sikap dasar sosiologis adalah ‘kecurigaan’. Apakah ketentuan hadis itu seperti yang tertulis? Atau sebenarnya ada maksud lain di balik yang tertulis. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.
Pendekatan sosiologis dalam memahami hadis dapat diterapkan msalnya pada hadis tentang persyaratan keturunan Quraisy bagi seorang imam atau kepala negara. Bunyi matan hadisnya, sebagai berikut :
لا يزال هذا الأمر في قريش م بقي منهم اثنان ) رواه البخاري(
“Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja.”
Ibnu Hajar al-Asqalani (w.852 H= 1449 M) telah membahas hadis-hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulamapun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan khawarij, yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Begitu juga dengan al-Qurthubi (w. 671 H= 1273 M), kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.
Pemahaman secara tekstual hadis-hadis di atas, dan yang semakna dengannya dalam seajarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan karenanya menjadi pegangan bagi para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan bewrlaku secara universal.
Dalam perkembangannya, konon, ulama yang mempelopori pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis di atas adalah Ibnu Khaldun (w. 808 H= 1406 M). Menurut Ibnu Khaldun, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan dari Quraisy. Pertanyaannya apabila suatu masa ada orang yang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin? Termasuk sebagai kepala negara? Jawabannya tergantung bagaimana kita memahami hadis ini. Dengan demikian memahami hadis secara kontekstual menuntun kita untuk melihat kembali refleksi sosiologis sehingga pemaknaan terhadapnya memiliki arti dalam situasi dan perubahan zaman.
Apabila kandungan hadis-hadis di atas, dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Qur’an yang mengatakan bahwayang paling utama di hadirat Allah adalah yang paling bertaqwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi, karena hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal.
d) Pendekatan Sosio-historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami hadis dengan melihat sejarah sosial dab setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan.
Pendekatan sosio-historis dapat diterapkan, misalnya dalam memahami hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Bunyi matan hadis tersebut sebagai berikut:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة (رواه البخاري)
Tidak akan beruntunng sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan
Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan sebagao jabatan politis lainnya dilarang dalam agama. Selanjutnya mereka mengstakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Al-khatabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak syah menjadi khalifah. Demikian as-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata bahwa perempuan itu tidal termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Kamal ibn Abi syarif dan Kamal ibn Abi Hamman, meskipun dengan alasan yang berbeda juga menyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.
Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan atau harus dilihat latar belakang munculnya hadis ( aspek historisitas) disamping keadaan (setting) sosial pada saat itu. Oleh karena itu, dalam mengkaji hadis tersebut perlu adanya kontekstualisasi disamping informasi yang memadai mengenai latar alamiahnya.Sebenarnya jauh sebelum hadis ini muncul, yakni pada masa awal dakwah islamiyah dilakukan oleh nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Diantara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Kisra Persia. Kisah itu akan dijeskan sebagai berikut :
Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain memberikan surat kepada Kisra, setelah membaca surat itu Kisra menolak bahkan merobek-robek surat dari Nabi. Mendengar apa yang dilakukan oleh Kisra, menurut riwayat ibn Al-Musayyab Rasulullah langsung bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu.”
Tidak lama kemudia, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya ( saudara Buwaran ) telah mati terbunuh. Oleh karena itulah diangkatlah Buwaran sebagai ratu.
Selain dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat dikuak bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi trasisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki.perempuan tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi masalah kenegaraan. Hanya kaum laki-laki yang dipandang pantas dan cakap untuk mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini, tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di seluruh jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan soaial itulah, wajar nabi yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera. Bagaimana mungkin akan sukses bila orang yang memimpin adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Sementara salah satu syarat untuk menjadi pemimpin adalah memiliki kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin.
Pendekatan sosio-historis di atas, didukung juga oleh pencarian petunjuk hadis dengan mengkaitkan pada kapasitas Nabi saat menyabdakan hadis, apakah sebagai seorang rasul, kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan sesuatu yang sangat penting sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Syaltut: “ mengetahui ha;-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkan pada fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan sangat besar manfaatnya.”
Dengan demikian hadis tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merup[akan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya yang menghina dan memusuhi Islam. Sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas historis masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka. Jadi, memaksakan hadis yang berbentuk ikhbar (informasi/berita) ke dalam maslah syar’iah terutama kepemimpinan politik perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional.
e) Pendekatan Antropologis
Pemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakt pada saat hadis itu disabdakan. Pemahaman hadis dengan antropologis bahkan sudah diterapkan Nabi SAW. Suatu ketika orang arab badui datang mengadu kepada nabi perihal istirnya yang melahirkan anaknya yang berkulit berbeda dengan kulitnya. Ia mencurigai istrinya tidak jujur karena kulitnya berwarna kuning sedangkan kulit anaknya berwarna hitam. Untuk menanggapi orang tersebut Rasulullah menggunakan logika dengan bertanya apakah orang itu mempunyai unta. Orang tersebut lalu menjawab bahwa ia mempunyai unta yang berwarna kecoklatan. Rasulullah bertanya : “Kira-kira apakah untamu mempunyai nenek moyang yang berwarna hitam?” orang tersebut menjawab “saya kira punya”. Maka Rasulullah menyahut: “ jangan-jangan nenek moyang anakmu juga ada yang kulitnya yang berwarna hitam, tidak kuning sepertimu”. Maka orang itu langsung menjawab: “betul ya Rasulullah, kalau begitu dia anak saya.” Pendekatan yang digunakan Rasulullah ini adalah pendekatan antropologis. Hadis tersebut berbunyi :
عن أبي هريرة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ولد لي غلام أسود فقال هل لك من إبل؟ قال نعم قال ما ألوانها؟ قال خمر قال هل فيها من أورق؟ قال نعم قال فأتى ذلك قال لعله نزعه عرق قال فلعل ابنك هذا نزعه )رواه البخاري ومسلم والترميذي(
Secara tekstual, matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadi perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabakan oleh warna kulit yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan yang demikian itu bersifat universal.
Jika Rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan pendekatan antropologis, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau juga diperlukan pendekatan serupa. Sebagai contoh memahami hadis Nabi dengan pendekatan antropologis adalah memahami hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis Nabi menyatakan :
عن عبد الله بن مسعود قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المهورون )رواه البخاري وسلم وأحمد(
“ Dari Abdullah bin Mas’ud berkata : “saya mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dihadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis”.
Bertolak dari adanya banyak hadis yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan mahluk bernyawa karena kelak di hari kiamat dituntut untuk memberi nyawa kepada lukisannya tersebut. Bertolak dari banyaknya hadis yang melarang pembuatan lukisan mahluk bernyawa, maka yang terjadi pada zaman klasik adalah para pelukis muslim kemudian menfokuskan karya lukisannya dalam bentuk kaligrafi, obyek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.
Namun jika dicermati dalam perspektif antropologis, maka hadis ini sangat terkait dengan praktek keagamaan masyarakat pada saat hadis ini disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme (menyekutukan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan yang semacamnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi berusaha agar masyarakat Islam terlepas dari kungkungan praktek-praktek keagamaan yang menyesatkan, sehingga salah satu cara yang dilakukan Nabi adalah dengan melarang memproduksi dan memajang lukisan mereka.
f) Pendekatan Psikologis
Yang dimaksud dengan pendekatan psikologis disini adalah pendekatan yang menekankan pada kondisi kejiwaan objek atau kepada siapa sebuah hadis ditujukan.
Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat Nabi saw. terkadang memberikan jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan yang sama. Dalam masalah ini, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam memahami hadis-hadis tersebut yaitu dengan pendekatan psikologi.
Sebagai contoh, hadis Nabi saw. tentang amalan yang paling utama, disebuah hadis Nabi menjawab bahwa amal yang paling utama adalah memberi makan orang lain dan menyebarkan salam, dihadis lain Nabi bersabda shalat pada waktunya adalah yang paling utama, ada juga hadis yang menyatakan bahwa berimana kepada Allah dan Rasulnya, jihad dijalan Allah, haji yang mabrur merupakan amalan yang paling utama dan lain sebagainya. Jika kita melihat hadis-hadis tersebut secara tekstual, maka yang kita simpulkan adalah hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Ketika satu diklaim benar maka yang lain menjadi salah. Akan tetapi, jika kita melihat konteksnya, bahwa Nabi ketika menyatakan sabdanya, melihat kepada kondisi dan kejiwaan orang yang bertanya. Karena kondisi mereka berbeda-beda, maka jawaban Nabi untuk merekapun berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Menurut Prof. Dr. Syuhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Yang substantif ada dua kemungkinan, yakni 1) relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan, 2) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan. Oleh karena itu hadis-hadis yang sejenis diatas, bersifat temporal dan kondisional.
g. Pendekatan Geografis
Pendekatan geografis dalam memahami hadis adalah upaya kontekstualisasi pemahaman hadis dengan melihat realitas dan kondisi geografis. Kondisi keografis ini bisa juga dipahami sebagai keadaan suatu tempat, baik itu cuaca, letak atau tempat, bahkan musim tertentu.
Dibawah ini penulis memberikan contoh hadis yang bias dipahami berdasarkan konsidi geografis suatu daerah.
عن عبد الله بن ربيع قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : علموا أبناءكم السباحة والرماية, ونعم لهو المؤمنة في بيتها المغزلة, وإذا دعاك أبوك فأجب أمك. رواه بن منده.
Artinya : Dari Bakar ibn Abdullah ibn Rabi’ah al-Anshari berkata: bersabda Rasulullah saw: ajarilah anak-anak kalian berenang dan memanah, dan sebaik-baik permainan untuk anak perempuan adalah merenda dirumahnya, dan apabila dipanggil kedua orang tua kalian maka jawablah panggilan ibu kalian. (HR. Ibnu Manduh, Abu Musa)
Bila dilihat dari makna matan hadis di atas, secara tekstual dapat dipahami bahwa Rasulullah menyeruh anak-anak muda untuk berlatih berenang, memanah, dan merenda untuk perempuan. Pertanyaannya mengapa hadis ini disabdakan oleh Rasulullah? Jawabannya adalah ketika Rasulullah menyuruh anak-anak berlatih berenang disebabkan oleh ketika itu pernah terjadi banjir yang besar sehingga menewaskan banyak orang terutama sekali orang-orang yang tidak bisa berenang. Inilah sebabnya hadis ini disabdakan. Begitu pula kaitannya dengan anjuran Rasulullah untuk mengajarkan anak-anak untuk berlatih memanah, karena ketika anak-anak besar, kemudian ada peperangan maka ada persiapan prajurit memanah yang handal yang siap membela kebesaran Islam.
Sementara itu bila hadis ini dipahami secara kontekstual dan disesuaikan dengan kondisi geografis, maka hadis ini bisa dimaknai sebagai motivasi dalam berolahraga. Misalnya berlatih memanah sekarang sudah menjadi olahraga yang cabang olahraga yang dilombakan secara internasional, begitu juga dengan cabang olahraga berenang. Dengan demikian, seharusnyalah anak-anak diajarkan memanah, berenang dan olahraga lain sedini mungkin, sehingga nantinya bisa membanggakan bangsa dan negara.
C. KESIMPULAN
Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di dalamnya.
Upaya memahaminya dengan pendekatan tekstualis an sich tidaklah cukup agar senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis atau Sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis atau Sunnah itu ditampilkan.
Dengan demikian, kehadiran beberapa metode dan pendekatan dalam memahami hadis ini sangat diperlukan, sehingga pemaknaan-pemaknaan kita terhadap hadis tersebut tidak hanya melihat secara tektualitas tetapi ada upaya untuk melahirkan itepretasi secara kontektualitas.
Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman. Perubahan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua hal. Pertama, perubahan dalam arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat tipikal dan temporal. Kedua, perubahan dalam arti memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi: (Metode dan Pendekatan), Yogyakarta, Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah, 2001
Abdul, Waryono Gafur, Epistemologi Ilmu Hadis, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Asjmuni, Abdurrahman,Drs.Prof. Tekstual, Kontekstual dan Liberal. http://www. Suaramuhammadiyah.or.id/manhaj.htm
Brown, B. Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988
Ilyas, Hamim, Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (telaah terhadap Asbab al-Wurud), Jurnal Kutub Khazanah, no. 02 Maret 1999
___________, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
Ismail, Suhudi, Dr.Prof. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Lokal, Jakarta, Bulan Bintang, 2009
Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Bunga Bampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
___________ “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
Kamis, 26 Mei 2011
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADIS ( TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI DALAM MEMAHAMI HADIS)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam Mas, kok tulisannya banyak yang mengambil redaksi dari buku saya, tanpa menyebutkan sumber atau buku saya. Terutama di pendahuluan atau latar belakang, di dua halaman pertama. Ini salah satu bentuk plagiasi Mas. Silahkan Baca Buku Ilmu Maanil Hadis Abdul Mustaqim
BalasHapus