Rabu, 22 Desember 2010

A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan masa sekarang ini adalah merupakan sebuah hasil dari berbagai polemik pemikiran-pemikiran baik dari kalangan professional pendidikan atau pun dari pengkajian para filosuf yang tak henti-hentinya mengembangkan pemikiran –pemikiran mengenai kemajuan dalam berfikr kritis ataupun berpikir tentang segala hal yang ada di dunia dengan problemanya yang sangat kompleks. Para tokoh –tokoh terdahulu tidak hanya memandang segala sesuatu dengan pandangan dari satu segi atau dimensi akan tetapi dengan pandangan yang multi dimensial sehingga segala permasalahan yang terjadi ataupun pemikiran tentang kemajuan merupakan hasil dari olah pikir para pemikir dan filosuf terdahulu
Tercatat dalam sejarah timbulnya pemikiran-pemikiran dari era Plato, Aristoteles. Dan pada Filosof yang akan kita bahas dalam makalah ini (Immanuel Kant) sampai dengan era pemikir kontemporer saat ini merupakan buah dari realitas bahwa ilmu pengetahuan dan misteri di bumi ini takkan pernah berhenti pada satu titik saja, objek yang ada akan terus di kupas tuntas dari multi segi sampai pada lahirnya teori –teori baru dalam memandang objek tersebut, demikian pula lah dengan perkembangan dunia pengetahuan dari zaman dahulu sampai saat ini akan terus berkembang, teori yang lama akan siap dimentahkan oleh teori baru yang dipandang orang lebih tepat dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Immanuel Kant bisa dikatakan sebagai filosof terbesar abad modern meski Betrannd Russel kurang setuju dengan hal ini meski demikian Russel mengakui bahwa Kant mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan filsafat modern, terutama dengan “Revolusi Copernican”
Kant hidup pada abad dimana kaum empiris Inggris semisal Jhon Loke, Berkeley dan David Hume, Mendominasi serta lambat laun menyebar ke Jerman, dimana Immanuel Kant tinggal. Sebelum pengaruh empirisme terutama Hume merasuk ke Jerman, Jerman lebih didominasi oleh kaum rasionalis Libniz, lebih-lebih ketika faham tersebut disebarluaskan oleh Wolf dengan memasukkannya dalam kurikulum wajib seluruh Universitas Jerman, jadi, Kant hidup pada zaman pertempuran antara faham rasionalis dan kaum empirisme.
Pasca bergesekan dengan kaum empirisme, khususnya agnotisme Hume, di Jerman muncul idealis yang mengkritiknya, diantaranya ialah JJ. Rousseau, Immanuel Kant Fichte, dan Hegel., Mereka membentuk filsafat jenis baru yang ditujukan untuk mengamankan pengetahuan dan kebaikan dari doktrin-doktrin subversive akhir abad ke-18. Pada diri Kant terlebih Fichte kecondongan subjektifisme yang dimulai sejak Rene Descartes dibawa menuju titik ekstrim. Disinilah kemudian Kant menyatakan dirinya telah melakukan “revolusi Copernican” yang membalik pusat pengetahuan yang awalnya ialah objek menjadi subjek. Subjeklah yang aktif mengkonstruksi pengetahuan bukannya objek.
Kritisme Kant tersebut ia tuangkan dalam tiga buku kritiknya yakni Certique of pure reason, Critique of Practical Reason dan Critique of Judgment. Dari ketiga karya ini yang lebih menekankan atau membahas epitemologi pengetahuan Kant ialah pada karyanya yang pertama, Critique of Pure Reason. Maka dari itu, pada kesempatan ini saya akan lebih memfokuskan bahasan pada karya Kant yang pertama tersebut.

B. Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg, Prusia Timur, Jerman. Kant adalah anak ke empat dari keluarga pembuat pelana keturunan Skotlandia dan merupakan penganut yang taat kepada agama Kristen Protesten sekte Pietis. Ajaran sekte yang lebih menekankan orientasi etis dari pada teologi ini nantinya sangat kental dalam mempengaruhi corak pemikiran filsafat Kant.
Riwayat Kant pasca kelahiran hingga masa keremajaannya tidak banyak dipublikasikan kecuali hanya sesekali karena keperluan mengajar di desa tetangga. Ketika menginjak masa kuliah barulah terdapat keterangan bahwa Kant belajar filsafat, matematika, dan teologi di Universitas Koningsberg. Dalam bidang filsafat Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang memang merajalela di universitas universitas Jerman kala itu.
Setelah menyelesaikan kuliah, Kant menjadi tutor di beberapa keluarga Aristokrat dan kemudian diangkat menjadi dosen di almamaternya tersebut (universitas Koningberg). Ia menjadi dosen selama lima belas tahun, ditengah kesibukannya mengajar Kant menyempatkan dirinya untuk menulis tentang metafisika, logika, etika, dan sains alam. Dalam sains alam, sebenarnya Kant memberikan konstribusi yang besar khususnya membahas tentang fisika, astronomi, geologi, dan meteorology, namun ketika itu tidak banyak diketahui.

Pada tahun 1770 Kant diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika di Koningsberg. Kemudian pada tahun 1781 Kant menerbitkan karya terpentingnya, Certique of Pure Reason. Karya ini, menurut Lewis White Beck membuka bidang-bidang studi dan masalah-masalah baru pada masa ketika kebanyakan orang bersiap untuk menikmati masa pensiun.Namun, bagi Kant masa-masa ini ialah masa dimana masa kerja kerasnya dimulai dan pada akhirnya mengantarkan Kant pada masa puncak prestasi yang tak tertandingi ketika itu.

C. Perjalanan filsafat Kant
Perjalanan Kant sebagai seorang filosof dibagi menjadi dua periode, yakni pra kritis dan periode kritis. Ketika zaman kritis, Kant menganut pendirian rasionalistis-dogmatisme yang yang dilancarkan oleh wolf dan kawan-kawannya. Hal ini tak heran, karena di Universitas Koningsberg Kant didik dalam suasana rasionalisme dan memang ketika itu rasionalisme merajalela dengan kuat di universitas-universitas di Jerman. Rasionalisme-dogmatis ialah filsafat yang mempercayai secara mentah-mentah terhadap kemampuan rasio.
Keadaan diatas berubah secara gradual ketika Kant bertemu dengan pemikiran empirisme David Hume. Kant menyatakan sendiri bahwa Hume lah yang membangunkannya dari tidur dogmatis. Namun ini tak berlansung lama, sebab ia mendapat obat tidur kembali, bagi Kant, Hume adalah musuh yang harus ditentang, disini pengaruh Rousseau terlihat dominan. Priode inilah yang kemudian disebut priode kritis. Pada masa priode kedua ini, Kant justru merubah secara radikal wajah filsafat dengan gagasannya. Kritisme, menurut Kant ialah filsafat yang memulai perjalanannya dengan menyelediki kemampuan dan batasan-batasan rasio terlebih dahulu. Kritisme oleh Kant dipertentangkan dengan rasionalisme-dogmatis sekaligus empirisme-skeptis.

D. Kritik Immanuel Kant terhadap Sistem Pengetahuan
Immanuel Kant (1724-1804) yang hidup di abad modern dalam sejarah filsafat mewarisi logika tradisional yunani yang telah dikembangkan secara kritis oleh filosof-filosof sebelumnya. Jika dalam filsafat abad tengah, Skolastisisme, logika lebih digunakan sebagai instrument untuk menguatkan ajaran-ajaran agama dan tidak melakukan kritik terhadap logika yang dipakainya tersebut, maka Kant, dengan mgnkritik bangunan logika sejak Yunani, yakni dari rasionalisme eksterem Descartes sampai empirisme Humean, menganggap logika sebagai bentuk kritik baik terhadap pengetahuan maupun agama.
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.

E. Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan Immanuel Kant
Filsafat Kant diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan Empirisme. Pertama menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan pengalaman inderawi (apriori) sementara yang kedua menyatakan sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman inderawi dengan mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis menganggap bahwa manusia bisa mendapat pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui sintesis aposteriori. Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori, ia menawarkan adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia diperoleh dengan proses sintesis antara apriori dan apesteriori. seperti yang dijelaskan diatas bahwa apriori adalah pengetahuan atau unsure-unsur yang terlepas dari segala pengalaman, sementara aposteriori adalah pengetahuan atau unsur-unsur yang berasal dari pengalaman, baik inderawi sendiri atau inderawi orang lain.
Immanuel Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak melebihi dari pengalaman inderawinya. Hali ini bukan berarti bahwa pengetahuan hanya dari pengalaman, namun sintesis antara aperiori dan aposteriori. Sebab, menurutnya, dalam setiap proses mengetahui kedua unsur tersebut muncul bersamaan. Indera menangkap sensai dari objek sementara “ruang dan waktu” yang bersifat apriori memberikan kemungkinan manusia untuk mengetahuinya. Terkait dengan objek Kant membaginya menjadi dua, yakni apa yang berada dibalik objek (nomena) dan yang menampakkan diri kepada kita (fenomena). Bagian yang terakhir inilah yang dapat diketahui oleh manusia, bukannya “nomena” sebagaimana klaim para metafisis.
Untuk memperoleh pengetahuan rasional, Kant mengatakan rasio menempuh tiga tahap refleksi. Pertama ialah tahap pengetahuan inderawi, sebagaiman diutarakan diatas, bahwa pada tahap inderawi sudah terdapat sintesis antara apriori dan aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur apesteriori memainkan peranan materi. Unsur apriori adalah ruang dan waktu sementara unsur apeteriori ialah sense dari fenomena yang ditangkap indera.
Tahap kedua ialah tahap akal budi. Kant membedakan antara akal budi dan rasio. Akal budi bertugas untuk menciptakan orde antara data-data yang didapat tahap inderawi. Bentuk linguistis pengetahuan akal budi adalah proposisi-proposisi atau keputusan-keputusan, disinilah proposisi analistis apriori dan sintesis aposteriori muncul. Namun yang dipermasalahkan Kant ialah proposisi sintesis apriori, seperti dalam kalimat “segala kejadian ada sebabnya”. Dalam kalimat itu, predikat menambah hal baru pada subjek sehingga masuk kategori sintesis, sementara predikat itu tidak didapat dari proses pengalaman dan tidak memerlukan analisis subjek. Menurut Kant, sintesis apriori ini mungkin karena dalam akal budi kita terdapat unsure-unsur apriori yang disebut `kategori-kategori` yang bersintesis dengan data inderawi (aposteriori). Kategori-kategori itu dibagi Kant menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, yakni kuantitas : kesatuan (unity), kemajemukan (plurality), keseluruhan (totality); (2) kualitas : realitas, negesi, limitasi,; (3) relasi : substansi dan aksidensi, sebab akibat, timbale balik; (4) Modalitas: kemungkinan (possibility), keberadaan (exsistence), kepastian (necessity). Kesemuanya ini bersifat subjektif sebagaimana ruang dan waktu.
Kedua belas kategori tersebut sejajar dengan dua belas putusan, yakni;
I II III IV
Quantity
Universal
Particular
singular Quality
Affirmative
Negative
Infinite Relation
Categorical
Hypothetical
Disjunctive Modality
Prpblematical
Assertoric
Apodictical

Semua kategori tersebut, jika digunakan pada sesuatu yang tidak alami menurut Kant kita akan terkacaukan oleh ‘antinomi’ atau proposisi yang saling bertentangan yang masing-masing jelas-jelas dapat dibuktikan. Kant menyajikan empat antitomi tersebut yang masing masing terdiri dari tesis dan antitesis. Pertama, tesis yang mengatakan “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang” Antitesisnya mengatakan: “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang”, ia tidak terbatas baik ruang maupun waktunya”. Kedua, Membuktikan bahwa setiap substansi campuran ada yang terdiri dari bagian-bagian sederhana dan ada yang tidak. Ketiga menyatakan ada dua jenis kausalitas, yang pertama menurut hukum alam dan yang kediua hukum kebebasan; antitesisnya menyatakan bahwa hanya ada satu yakni kausalitas hukum alam, ke empat, membuktikan adanya entitas mutlak dan tidak mutlak.
Tahap ketiga ialah tahap rasio. Tugas rasio ialah menggabungkan putusan-putusan dari akal budi menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan ialah hasil sintesis dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh tahap akal budi. Dari sini dihasilkan oleh orde argumen-argumen. Pada tahap ini, unsur -unsur apesteriori tidak diterima secara lansung, melainkan secara tidak langsung dari akal budi. Unsur apriori pada tahap ini adalah ide-ide yang mengatur proposisi-proposisi menjadi argumentasi. Ide-ide ini hanyalah cita-cita yang berguna untuk menjamin kesatuan dari segala bentuk pengetahuan kita. Kita tidak akan puas dengan pengetahuan yang terpisah-pisah, maka pengetahuan yang khusus akan memberi sumbangan dalam membentuk “gambaran” tertentu tentang materi. Inilah pengetahuan teoritis murni. Ide-ide ini memang ide rasio namun mereka bukanlah garapan rasio, sebab rasio hanya akan mendapatkan pengetahuan sebatas pengalaman inderawi, sementara ketiga ide tersebut tidak. Ketiga ide tersebut oleh Kant dimasukkan pada kategori-kategori kepercayaan :glaube” yang akan ia bahas dalm buku kedua kritiknya, Critique of Practical Reason.
Proses reflektif diatas disebut dengan refleksi transendental, karena mencari syarat-syarat terdalam atau syarat dari pengetahuan kita, sehingga syarat itu bersifat mutlak dan perlu untuk mengetahui sesuatu. Selain itu dari sini juga kita bisa mengetahui bahwa Kant lebih menekankan pada sisi subjek (pelaku/rasio) dari pada objek. Subjek bersifat aktif sedangkan objek bersifat pasif. Disinilah perbedaan Kant dengan filosof-filosof terdahulu (empirisme), dan dengan inilah Kant menyatakan dirinya telah mengadakan “ Revolusi Covernican”.
Sejak munculnya filsafat Kant ini, pengetahuan inderawi menjadi norma bagi segala kegiatan pengetahuan kita, dan sebaliknya sejak itu pula kesahihan metafisika dipertanyakan sedang kesahihan ilmu-ilmu alam dipertegah secara filosofis.

F. Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Pendidikan (Islam)
Jika diresapi dari uraian singkat filasafat kant diatas, maka ditarik pemahaman bahwa filosafat kant telah mengajarkan kita untuk mendistorsi pengetahuan yang hanya pada sesuatu yang bisa di indera, maka berarti jelaslah bahwa pengetahuan islam yang kita yakini saat ini merupakan pengetahuan dari apa yang hanya bias kita indera ataupun berdasarkan hasil pengamatan indera orang lain. Seperti yang Kant utarakan bahwa noumena bukan merupakan objek pengetahauan dalam pengalaman kita tapi ia menjadi dasar bagi semua pengetahuan kita, oleh karena itu, Islam noumena tidak akan pernah bisa menjadi objek pengetahuan keislaman, tetapi bukannya ia tanpa makna karena bagaimanapun ia menjadi dasar bagi semua pengalaman keislaman.
Pengetahuan keislaman kita apabila mau dirujuk adalah merupakan pengetahuan yang kita peroleh dari mensintesiskan data- data dan informasi dalam realitas keislaman, kita tidak akan pernah tahu bagaimana sesungguhnya islam itu sendiri atau bagaimana Allah menginginkan islam yang kita banggakan dan gembar gemborkan sebagaimana Allah kehendaki, maka sangat ironislah kiranya apabila umat islam yang pemahaman keagamaan kita hanya diperoleh dari pengetahuan sintesisme dunia noumena dan fenomena ini lalu mengatakan bahwa ajaran (aliran) yang kita yakini saat ini merupakan aliran yang paling benar dari aliran kepercayaan sesama kaum muslim, aliran- aliran kepercayaan yang pada saat ini berkembang telah menjadi kelompok yang mengatakan bahwa aliran mereka paling benar dan paling tinggi diantara aliran kelompok lain, bahkan sering terjadi upaya kafi mengkafirkan antara kelompok. Padahal apabila kita merunut dari teori Kant ini bahwa yang kita pahami saat ini hanyalah hasil dari menyintesiskan data- data keislaman . Maka sangatlah ironis mengatakan aliran kepercayaanku (NU, Muhamadiyah, Salafiyah, Wahabiyah, Salafiyah, Sunni Syi’ah, Ahmadiyah dll) lah yang paling benar. Dari sini pula kita bisa mengetahui bahwa pemikiran Kant Berjalan bergandengan dengan apa yang Allah ajarkan dalam Al-Qur`an dan yang sering diprakktekkan oleh Nabi Muhammad SWA bahwa Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran Islam , tidak menganggap diri paling benar dan masih banyak hal yang sangat relevan dari konsep Kant ini yang telah ada dalam ajaran agama yang menurut kita membawa manusia pada keselamatan di dunia dan diakhirat (Baca Islam).

G. Kesimpulan
Uraian singkat filasafat Immanuel Kant diatas bisa disimpulkan bahwa Kant ialah pencetus filsafat kritisisme yang ia tuangkan dalam ketiga karya kritiknya, yakni Critique of pure reason, Critique of Practical Reason, dan Critique of Jugdment.
Kritisisme kant dicirikan sebagai berikut :
1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan objek
2. menegaskan kemampuan rsio manusia dalam mengetahui hakikat sesuatu
3. menjelaskan bahwa pemahaman kita akan realitas merupakan hasil dari proses sintesis dari unsure apriori dan apesteriori.














Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, The Idea of University of Ethical Norm in Ghazali and Immanuel Kant,
Ankara: Kultu Dogum’a Armagan, 1992.
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. 15, 1998.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, cet, IV, 2005.
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku baik, 2004.
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, London: Macmillan and CO, Jil. I, 1881.
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio- Politik dari
Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cet. II, 2004.
Roswantoro, Alim “Logika Transendental Kant dan Relevansinya bagi Humanitas
Kontemporer” dalam Zubaedi dkk Filsafat Barat, Yogya: Arruz, 2007
Logika Transendental Kant,” dalam Al Jami’ah: Journal of Islamic
Studies, Vol 38, Number 32, 2000
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,
2002
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan: mempertimbangkan Epistemologi secara
Kultural, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar