Kamis, 23 Desember 2010

Dinasti Ummayyah


BAB I  
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah menjadi dua, pertama; Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Siria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khalifah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki)[1]. Dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang Gubernur pada zaman Walid bin Abd Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Abbas setelah berhasil menaklukan Dinasti Umayyah di Damaskus[2].
Perintisan Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak bai’at terhadap Ali ibn Thalib r.a., kemudian berperang melawan Ali Ibn Thalib r.a. dan akhirnya melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali ibn Thalib r.a. yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah[3].
Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah ketika keberhasilan pihak khawarij membunuh Ali r.a. Jabatan khalifah setelah Ali r.a. wafat dipegang oleh putranya Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi karena tidak didukung oleh pasukan yang kuat , akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa pergantian kekhalifahan akan diserahkan kepada umat Islam setelah Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun  661 M. (41 H.) dan tahun tersebut  disebut ammul jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat  Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik[4].
Pada masa kekhalifahan Daulah Bani Umayyah sistem pemerintahan yang awalnya berdasarkan demokrasi (musyawarah) berubah menjadi sistem monarchiheridetis (turun temurun) yang berpusat di Damaskus, dan semenjak itulah masa khalifahurrasyidin berakhir. Pada masa ini juga peradaban Islam berkembang dengan pesat. Mulai dari penyempurnaan tulisan al-Qur’an, pembukuan Hadits, sampai pada ekspansi penyebaran Islam ke luar tanah Arab, mulai dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah bahkan sampai pada perbatasan Tiongkok..
Berangkat dari persoalan di atas, maka penulis akan memaparkan lebih lanjut bagaimana pemikiran dan peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah.
B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Dari permasalahan yang penulis paparkan di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana Pemikiran dan Peradaban Islam pada Masa Daulah Bani Umayyah di Damaskus ?”.
Mengingat rumusan di atas bisa mencakup banyak hal, maka penulis akan membatasi pembahasan ini untuk melihat:
1.      Sejarah berdirinya dan sistem pemerintahan Daulah Bani Umayyah
2.      Orientasi kebijakan politik dan ekonomi pada masa Daulah Bani Umayyah
3.      Peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah
C.     Metodologi dan pendekatan
Adapun dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan pendekatan historis dan kepustakaan, yaitu dengan mencari literatur-literatur ataupun informasi lisan yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Literatur disini dimaksudkan dengan mengumpulkan buku-buku atau sumber-sumber yang berkaitan dengan materi bahasan, sedangkan informasi lisan disini maksudnya adalah dengan mendengarkan pemaparan atau cerita-cerita dari tokoh-tokoh atau ahli sejarah.
D.     Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah:
Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisikan tentang Sejarah berdirinya dan sistem pemerintahan Daulah Bani Umayyah. Bab III berisikan tentang Orientasi kebijakan politik dan ekonomi pada masa Daulah Bani Umayyah. Bab IV berisikan tentang Peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah. Dan Bab V adalah  penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
SEJARAH BERDIRINYA DAN SISTEM PEMERINTAHAN
DAULAH BANI UMAYYAH

A.     Sejarah Berdirinya Daulah Bani Umayyah
Sejarah dalam pandangan Islam tidak hanya berbicara masalah data dan fakta, akan tetapi sejarah merupakan dialektika nilai, pertarungan nilai. Karena sejarah membawa identitas sebuah entitas masyarakat akan masa lalunya. Kemajuan sebuah peradaban salah satunya bertumpu pada sejarah. Dengan sejarahlah peradaban memiliki jati dirinya yang hakiki. Masyarakat yang melupakan sejarah akan mudah terjangkiti rasa inferior, mudah terombang-ambing dalam sebuah arus yang tidak jelas atau dengan kata lain krisis identitas. Padahal, masa depan adalah fungsi dari masa lampau dan masa kini. T.S Eliot mengemukakan hal ini dengan tepat “Masa Kini dan Masa Lampau, Akan Muncul di Masa Depan, dan Masa Depan Terdapat di Masa Lampau”[5].
Dalam hal ini Allah Swt. Berfirman;
Artinya :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. Q.S. Yusuf 12/11)[6]
Nama Daulah Bani Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada jaman jahiliyah[7]. Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim Ibn Abdi Manaf untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dia memang memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di jaman jahiliyah, karena dia berasal dari kalangan bangsawan, mempunyai cukup banyak kekayaan dan banyak putra yakni sepuluh orang. Orang yang memiliki unsur tersebut di jaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.
Pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abi Thalib terjadi pertempuran dengan Muawiyah di Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), tapi ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga yakni kelompok Khawarij yang keluar dari barisan Ali[8].
 Peristiwa tahkim justru merugikan Ali, Akibatnya, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaitu:
1.      Kelompok Bani Umayyah yang dipimpin oleh Muawiyah Ibn abi Sufyan
2.      Kelompok Syi’ah atau pendukung Ali
3.      dan kaum Khawarij, yaitu orang yang keluar dari barisan Ali r.a.[9]

Munculnya kelompok khawarij membuat tentaranya semakin lemah, sementara kedudukan Muawiyah semakin kuat. Kaum khawarij selalu berusaha untuk merebut kekuasaan, sebab mereka yakin ketiga pemimpin ini (Ali, Muawiyah dan Amr Ibn ’Ash) merupakan sumber pergolakan. Mereka bertekad untuk membunuh ketiga tokoh tersebut. Dan  pada tanggal 20 Ramadhan 40 H Ali terbunuh oleh salah seorang kelompok Khawarij[10] di Mesjid Kuffah yang berarti pula mengakhiri masa pemerintahan khalifahurrasyidin
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun,[11] yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.
Diantara Khalifah besar Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685- 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717- 720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik (724- 743 M)[12].

B. Sistem Pemerintahan Daulah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah dalam bentuk yang berbeda dengan masa Khilafah ar-Rasyidin. Pemerintahan yang bersifat demokratis pada masa Khilafah ar-Rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis[13] (kerajaan turun temurun) Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[14]
Pada umumnya, Bani Umayyah atau Muawiyah Ibn Abi Sufyan sering didakwa mengubah kekhalifahan profetik (khalifah an-nubuwwah), menjadi suatu Mulk. Kata Mulk bisa berarti kerajaan, kedaulatan atau hanya pemikiran, tetapi terutama pada masa-masa belakangan para penentang dinasti Umayyah mengartikannya sebagi kerajaan dengan konotasi  tirani dan sekuleritas[15].  
Khalifah Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik[16]. Ketika muawiyah berkuasa terjadi banyak kesulitan. Pemerintahan imperium yang didesentralisasikan itu tampka kacau. Munculnya berbagai anarkisme dan ketidak disiplinan kamu nomad yang tidak lagi dikendalikan dengan ikatan agama dan moral mmenyebabkan ketidak stabilan dimana-mana dan hilangnya kesatuan.
Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahn ibukota dari Medinah ke Damaskus. Oligarki di Mekkah dikalahkan dan dicemarkan. Muawiyah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium. Oleh karena itulah dia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian unsur agama di dalam pemerintahan tidak hilang sama sekali. Muawiyah tetap mematuhi formalitas agama da kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagi pejuang Islam[17].
Pada masa khalifah Muawiyah, dibentuk Dewan Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu; Katib ar-Rasail, Katib al-Kharraj, Katib al-Jund, Katib asy-Syurtah, dan Katib al-Qadhi[18]. Sedangkan Untuk mengurusi administrasi pemerintahan diangkat seorang Amir al-Umara (Gubernur Jenderal) yang membawahi beberapa Amir sebagai penguasa suatu wilayah.
Pada masa Bani Umayyah, ekspansi dan da’wah Islam yang tehenti pada masa khalifah Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, dilanjutkan kembali. Perluasaan kekuasaan dan da’wah yang dilakukan dinasti Umayyah, dimulai dari menguasai Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan   Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan[19].















BAB III
ORIENTASI KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI
PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH

A. Kebijakan Perpolitikan pada Masa Daulah Bani Umayyah
Kebijkan politik pada Masa Daulah Bani Umayyah, selain usaha-usaha pengemanan dalam negeri yang sering dilakukan oleh pesaing-pesaing politiknya serta pertentangan di antara suku-suku Arab, adalah upaya-upaya perluasan Islam. Seperti ke daerah Tunis yang dipimpin oleh Uqbah Ibn nafi’, kemudian didirikan kota Qairawan  pada tahun 760 M yang kemudian menjadi salah satu pusat Kebudayaan Islam.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan[20]. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[21]
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah.
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn Zubair sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M.
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M)[22]. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.

B. Kebijakan Perekonomian pada Masa Daulah Bani Umayyah
Khalifah Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam[23]. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
 Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705- 715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah[24].




BAB IV
PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAYYAH

Peradaban berasal dari kata adab yang berarti kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etiket dan lain-lain[25]. Sedangkan menurut Sedilot yang dikutip oleh Munthoha peradaban adalah khazanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan sanggup  berlangsung terus-menerus. Hanya manusia yang sealalu mencari, memperkaya, dan mewariskan pengetahuan atau kebudayaan[26].
M. Abdul Karim menjelaskan bahwa peradaban berasal dari bahasa Jawa Kawi, peranakan dari bahasa Sangsekerta yaitu adab yang berarti sopan santun, tatakrama. Adapun lawannya adalah biadab yang artinya tidak sopan, tak tahu adat[27].
Sedangkan Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata al-hadharah al-islamiyyah[28]. Kata ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam.  Dalam bahasa Arab kebudayaan disebut ats-tsqafah[29].



A. Peradaban Islam pada Masa Daulah Bani Umayyah
Adapun peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah adalah:
1.      Penyempurnaan tulisan al-Qur’an
Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang memberrikan baris adalah Hasan al-Basri (642-728 M.) atas perintah dari Abd. Malik Ibn Marwan. Ia menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an dan al-Hajjaj meminta Hasan al- Bashri untuk menyempurnakannya, ia dibantu oleh Yahya Ibn Ya’mura (murid dari Al-Aswad ad-Duwali). Akan tetapi dlam riwayat yang lain disebutkan yang pertama kali membuat baris al-Qur’an adalah Al-Aswad ad-Duwali[30].
2.      Penulisan Hadits
Umar Ibn Abd Al-Aziz adalah khalifah yang mempelopori penulisan atau pentadwinan hadits. Beliau meminta Abu Bakar Ibn Muhammada Ibn Amr Ibn Hajm Gubernur Medinah untuk menuliskan Hadits yang ada dalam hafalan-hafalan pengahafal hadits. Atas perintah dari khalifah pengumpulan hadits dilakukan oleh para ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Shihab Az-Zuhri (guru imam Malik). Akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh ImamAz-Zuhri tidak diketahui dan tiak sampai kepada kita[31].
3.      Arsitektur
Seni bangunan pada masa khalifah Bani Umayyah bertumpu pada bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa Masjid-Masjid yang juga diiringi dengan pembangunan gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab dengan dijiwai semangat Islam. Diantaranya ”istana hijau”  di Miyata dan pada tahun 704 M istana itu diperharaui oleh Walid Ibn Abd. Malik[32].
4.      Organisasi Militer
Pada masa ini organisasi militer terdiri dari  Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan Utsman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata terdiri dari orang-orang Arab  atau unsur Arab. Setelah wilayah kekuasaan meluas sampai ke Afrika Utara, orang luar pun terutama bangsa Barbar turut ambil bagian dalam kemiliteran ini[33].


5.      Perdagangan
Pada masa ini Ibukota Bashrah di teluk persi menjadi pelabuhan dagang yang teramat ramai dan makmur, begitu pula kota Aden. Dari dua kota pelabuhan itu iring-iringan  kafilah dagang hampir tak pernah putus menuju Syam dan Mesir[34].
6.      Kerajinan
Pada masa Khalifah Abd. Malik mulai dirintis pembuatan Tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Dibidang seni lukis, sejak Khalifah Muawiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di Masjid-masjid, juga tumbuh di luar Masjid seperti di Istana.

B. Keruntuhan Daulah Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah[35].
















BAB V  
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Demikianlah kekuasaan Islam dalam kepemimpinan Bani Umayyah di Damaskus, meskipun berlangsung dalam pembentukan monarchi Arab dengan mengandalkan panglima-panglima Arab lapisan aristokrasi  yang sesungguhnya  berlawanan dengan kebijakan Nabi. Saw. Dan para khalifah sebelumnya, namun ia telah memperkenalkan dan memperkembangkan  lembaga-lembaga istemewa dari pemerintahan Islam. Hal demikian didukung pula oleh sumbangan para khalifahnya terhadap pembentukan dan perkembangan  peradaban Islam.
  1. Saran
Dalam pemaparan makalah ini, penulis sudah mencoba memaparkan sebaik mungkin pembahasan mengenai perkembangan pemikiran dan peradaban Islam pada masa Daulah Bani Umayyah, namun apabila dalam pembahasan ini masih terdapat kekuranagan, penulis tidak menutup kemungkinan untuk menerima kritikan dan masukan dari rekan-rekan mahasiswa serta dosen pengampu dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Atas segala attensinya dalam makalah ini penulis sampaikan terima kasih.
  1. Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai sejarah pemikiran dan peradaban Islam pada masa daulah Bani Umayyah di Damaskus, semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan keilmuan kita serta membangkitkan spirit perjuangan kita dalam membela agama Allah (Islam) sebagaimana yang telah diperjuangkan pada masa Rasulullah dan para Sahabat.

















DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abd. Karim, Muhammad, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007

Al Qur’an Terjemah Departemen Agama RI, Al Jumanatul ‘Ali. CV Penerbit J-ART, 2005

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Human, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989

Maryam, Siti dkk., Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2003

Munthoha, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985

Salabi, Ahmad., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung : Mizan, 1993

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam (Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010




[1] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm.79. 
[2] Ibid,
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.103.
[4] Ibid,
[5] Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung : Mizan, 1993), hal.14
[6] Al Qur’an Terjemah Departemen Agama RI, Al Jumanatul ‘Ali. CV Penerbit J-ART, 2005
[7] Ahmad. Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm.24
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.40.
[9]  Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Jahdan Ibnu Human, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm.63.
[10] Badri Yatim, hlm.40.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 61. 
[12] Badri Yatim, hlm.43.
[13] Ibid
[14] Ibid.
[15] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam (Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm.56.  
[16] Dedi Supriyadi, hlm.104
[17] Ibid.
[18] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.151.
[19] Harun Nasution, hlm. 61
[20] Badri Yatim, hlm.44.
[21]  Ibid, hlm.45.
[22]  Badri Yatim, hlm.47
[23] Ibid, hlm.  
[24] A. Salabi, hlm.90-91
[25] Munthoha, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2009),hlm.13
[26] Ibid,  
[27] Muhammad Abd. Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam,(Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007),hal.33-34
[28] Dedi Supriyadi, hlm.18.
[29] Ibid
[30] Dedi Supriyadi, hlm.108.
[31] Ibid
[32] Hasjmy, hlm.140. 
[33] Hassan, hlm.478.
[34] Ibid
[35]  Badri Yatim, hlm.48-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar