SEMIOTIKA AL `QUR`AN
Diskursus seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran.
Dalam khazanah ilm Al-Qur’an ada dua cara untuk memahami Al-Qur’an, yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Disini teks dikatakan “subjek”. Sedangkan takwil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat di sebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks, sebagai “objek”.1 kajian takwil kurang diminati oleh banyak kalangan karena anggapan dari studi mainstrem studi keislaman yang sudah berjalan bahwa ilmu-ilmu Al-Qur’an telah matang dan baku. Maka tidak perlu mengotak-atiknya. Dan disini kita akan mencoba menguak semiotika Al-Qur’an yang lebih banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.
Semiotika Al-Qur’an disini akan lebih banyak mengetengahkan tentang analisa semiotika teks. Yang mana teks (yang dianggap sakral,baku) itu perlu dikaji ulang. Karena bahasa Al-Qur’an secara umum dan khusus terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol, yang mana sifatnya arbriter konvensional.
Dengan demikian dapat dipahami Al-Qur’an merupakan paradigma transformasi budaya. Tranformasi jika menurut kuntowijoyo, mula-mula berawal dari sentimen kolektif berdasarkan iman dan nilai tauhid yang memunculkan suatu komunitas yang disebut jama’ah atau lebih besar lagi ummah, yang sifatnya kepemimpinan2. Dengan demikian, proses transformasi itu mengikuti alur kausalitas yang berawal dari struktur budaya yang berlanjut ke struktur sosial dan akhirnya berjuang pada struktur teknis.
Dari sini pasti akan menimbulkan anomali. Maka perlu ada segi yang dapat dipahami dan alasan yang masuk akal bagi pernyataan itu. Menanggapi hal ini maka yang harus dijelaskan adalah bagaimana menampakkan fakta sejarah dan interaksi yang diciptakan teks Al-Qur’an dengan realitas sosial budaya saat itu. Dan kemudian mencoba menyadari akan adanya pluralitas ma’na yang dilahirkan oleh teks tanpa ada intervensi dari apapun.
Dengan demikian dapat dipahami Al-Qur’an merupakan paradigma transformasi budaya. Tranformasi jika menurut kuntowijoyo, mula-mula berawal dari sentimen kolektif berdasarkan iman dan nilai tauhid yang memunculkan suatu komunitas yang disebut jama’ah atau lebih besar lagi ummah, yang sifatnya kepemimpinan2. Dengan demikian, proses transformasi itu mengikuti alur kausalitas yang berawal dari struktur budaya yang berlanjut ke struktur sosial dan akhirnya berjuang pada struktur teknis.
Dari sini pasti akan menimbulkan anomali. Maka perlu ada segi yang dapat dipahami dan alasan yang masuk akal bagi pernyataan itu. Menanggapi hal ini maka yang harus dijelaskan adalah bagaimana menampakkan fakta sejarah dan interaksi yang diciptakan teks Al-Qur’an dengan realitas sosial budaya saat itu. Dan kemudian mencoba menyadari akan adanya pluralitas ma’na yang dilahirkan oleh teks tanpa ada intervensi dari apapun.
Sehingga diperlukan tinjauan kritis tentang Al-Qur’an yang selama ini ummat Islam hanya membebek atau mengganggap baku teks Al-Qur’an yang dianggap sakral itu, yang kemudian enggan untuk mendongkrak kepercayaan yang sifatnya beritage (warisan).
Fakta Sejarah dan Interaksi yang Diciptakan Teks Al-Qur’an
Dalam semiotika ilmu tentang tanda (sign) atau ilmu yang mempelajari perkembangan sign dalam masyarakat3,Arkoun berusaha untuk menunjukkan fakta sejarah tentang bahasa Al-Qur’an dan kandungannya. Begitu juga Nasr Hamid mengungkapkan bahwa terlepas dari sumber illahiyahnya, teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan yang kolektif yang melatarinya, yaitu Bahasa arab 6 M. sehingga Al-Qur’an dapat dikatakan terdiri atas kata-kata yang mengacu pada figur sejarah tertentu. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana kita bisa berhubungan dengan hal yang sakral, spiritual, transendental dan ontologis, ketika kita wajib untuk memperhatikan bahwa semua kosa kata yang berhubungan dengan hal tersebut yang seharusnya mengacu pada nilai-nilai stabil dan immaterial, tunduk pada dampak fakta sejarah. Dan praktek-praktek umum yang mengutip Al-Qur’an hari ini hanya memanipulasi semiotika dan fundamentalis, karena hal tersebut membantu kaum muslim mengisolasikan Al-Qur’an dari sosio historis dan linguistik secara sengaja membentuk konteks mereka sendiri untuk membuat Al-Qur’an relevan.
Dalam arti ini, teks Al-Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari semiotika sosial, yang berlaku pada zamannya dan mendapat pegertian disana. Begitu juga teks Al-Qur’an dipahami sebagai pengungkapan individual “parole” dari sistem kebahasaan kolekif, bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya, tetapi juga mengubah dan mentranformasikannya. Dari sini dapat digambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realita sosial budayanya, yakni pertama ketika teks Al-Qur’an membentuk dan merekontruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya. Dan inilah yang disebut Abu Zayd sebagai periode keterbentukan (marhalah at-tasyakkul) yang menggambarkan keberadaan teks sebagai “Produk Budaya”. Kedua, ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya, dan kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain. Dan ini disebut sebagai pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.
Padahal teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula dimana dia diproduksi dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. untuk lebih jelasnya dari aspek diatas dan kaitannya dengan sistem budayanya dapat di gambarkan dalam bagan berikut ini:Sistem sosial budaya teks Sistem sosial budaya
Subjek -------------------------> Objek (2)
Padahal teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula dimana dia diproduksi dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. untuk lebih jelasnya dari aspek diatas dan kaitannya dengan sistem budayanya dapat di gambarkan dalam bagan berikut ini:Sistem sosial budaya teks Sistem sosial budaya
Subjek -------------------------> Objek (2)
(1)Subjek ------------------------->Objek.
Dari sini jelas, teks pada satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem sosial budaya dimana ia bergabung di dalamnya, di sisi lain teks merupakan subjek yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan. Sehingga teks sangat dahsyat mampu menimbulkan perubahan dahsyat pada kebudayaannya. Dan perubahan ini dimulai dari perubahan kode bahasa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mengguncang konsepsi budaya yang kemudian di bidang sosial politik dan ekonomi.4
Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai. Dalam semiatika struktural kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-makna konvensional yang sudah ada. Dan disini, tidak ada tempat bagi permainan kode-kode berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto ECO mengungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut berdasarkan relasi antar penanda dan petandanya5 . Adapun tanda-tanda yang digunakan dan bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dan yang menarik pula Al-Qur’an yang berupaya menjadikan bahasa induk sebagai bahasa agama. Walau belum bisa terealisir secara mapan melalui transformasi makna.
Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai. Dalam semiatika struktural kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-makna konvensional yang sudah ada. Dan disini, tidak ada tempat bagi permainan kode-kode berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto ECO mengungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut berdasarkan relasi antar penanda dan petandanya5 . Adapun tanda-tanda yang digunakan dan bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dan yang menarik pula Al-Qur’an yang berupaya menjadikan bahasa induk sebagai bahasa agama. Walau belum bisa terealisir secara mapan melalui transformasi makna.
Dengan demikian menurut Abu Zayd ada dua segi yang perlu dijelaskan: 1. Struktur teks. 2. Proses resepsi teks oleh pembaca. Dari segi pertama Struktur teks Al-Qur’an mentransformasikan semua tradisi keagamaan sebelumnya menjadi tanda yang menunjukkan cara yang berbeda-beda pada kebenaran tunggal yang absolut dan universal.
Tradisi kebahasaan disini adalah bahasa sebagai sistem tanda yang didalamnya terkandung unsur “penanda” dan “petanda” sebagai 2 segi dari 1 kenyataan. Disini semua sistem kebahasaan adalah “penanda”, untuk sistem budaya “petanda”. Dalam struktur teks sistem budaya “petanda’ yang tercermin dalam linguistik dalam sistem bahasa “penanda” beralih menjadi tanda-tanda semiotik inilah yang dimaksud proses semiosis, yaitu perubahan sistem bahasa menjadi tanda-tanda semiotik di dalam sistem yang lain.
Ma’na Baru Dapat Dilahirkan Oleh Teks Tanpa Ada Intervensi dari Apapun.
Secara umum dan khusus bahasa Al-Qur’an terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat, yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan (Objeknya), tidak terkecuali B. arab sebagai bahasa Al-Qur’an dalam hal ini. Artinya, mengacu pada pembahasan yang awal bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya. Artinya teks-teks Al-Qur’an terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan B. Arab, dan tidak mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari relitas masyarakat dan budayanya
Secara umum dan khusus bahasa Al-Qur’an terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat, yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan (Objeknya), tidak terkecuali B. arab sebagai bahasa Al-Qur’an dalam hal ini. Artinya, mengacu pada pembahasan yang awal bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya. Artinya teks-teks Al-Qur’an terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan B. Arab, dan tidak mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari relitas masyarakat dan budayanya
Dengan demikian dampaknya, tidaklah mungkin berbicara tentang teks al qur’an terlepas dari realitas dan budaya masyarakat ketika itu. Sehingga pula mempengaruhi pada metode penafsiran yang menggunakan pendekatan historisitas budaya. Padahal ketika kajian historisitas di gunakan, maka akan dipengaruhi pandangan, metode dan ideologinya. Sebab ketika mengaplikasikan metode ini ia akan terpaksa memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan sebagian fakta-fakta lain. Seorang sejarawan tidak mngkin menampilkan semua fakta sejarah.
Dari sini terdapat gambaran bahwa selain upaya mengungkapkan ma’na teks dalam konteks historisnya, pembacaannya harus diupayakan menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat di tarik dari ma’na historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks pertama, dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya, kedua meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, ketiga interaksi ma’na historis teks pada kedua aspeknya ini dengan pembacaan kontemporernya memugkinkan untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, keempat signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk malakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa henti.
Dari sini terdapat gambaran bahwa selain upaya mengungkapkan ma’na teks dalam konteks historisnya, pembacaannya harus diupayakan menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat di tarik dari ma’na historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks pertama, dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya, kedua meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, ketiga interaksi ma’na historis teks pada kedua aspeknya ini dengan pembacaan kontemporernya memugkinkan untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, keempat signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk malakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa henti.
6 Tinjauan Kritis; Asumsi Akhir
Dalam melakukan kajian terhadap teks (al qur’an) tidak akan bisa terlepas oleh historis sosiologis ontologis. Sebab munculnya al qur’an yang mampu menggetarkan kalangan umat islam lebih-lebih mampu membius atau menjadikan umat islam tunduk takluk tanpa mampu mempertanyakannya. Karena paten bahwa teks alqur’an adalah kalam alloh yang baku dan dilarang keras untuk mengotak-atiknya. Namun disini kita sebagai (yang dikatakan) insan kritis mencoba menguak teks yang terkandung dalam alqur’an melalui metode semiotika
Seperti yang telah dibahas di awal bahwa aspek historis sangat urgen disini. Sebab fakta tentang kita dan bukan kita adalah dalam sejarah. Dan ini bersifat ontologis bukan aksidental. Perantara atau kendaraan untuk menelusuri sejarah yang digunakan untuk memindahkan dari masa lampau ke masa sekarang kemudian kemasa depan adalah bahasa. sehingga kesentralitas bahasa dan sejarah menimbulkan pertanyaan bagaimana teks yang diwahyukan pada masa dan tempat yang jauh dari masa dan tempat kita sekarang dapat digunakan untuk mengatur orang yang hidup dalam sebuah konteks yang begitu jauh dan berbeda dari asal teks tersebut?dengan kata lain bagaimana seseorang dapat memahami tentang apa yang diyakini itu kekal (kitab suci) dalam sejarah yang selalu berubah-ubah
Pertanyaan ini pasti menimbulkan anomali tersendiri. Dalam semiotika (ilmu yang mengulas tentang tanda (sign) atau yang mempelajari sign dalam masyarakat itu bersifat arbitrer konvensional. Artinya teks itu tidak lepas dari tanda-tanda yang kemudian dikonvensionalkan, akhhirnya tersusun dalam 1 mushaf yang kita yakini kebenaranya. Jika kita mencoba tidak mengelak bahwasanya menurut Umberto Eco ilmu semiotika itu digunakan untuk berdusta. Secara implisit bahwa bila sebuah teori kedustaan, maka sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan teori kedustaan. Dan kaitanya dengan terminilogi semiotika terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda(sign) dan refresinya pada realitas (referent). Konsep (concept), isi (contens), atau makna (meaning) dari apa yang ditulis atau dibicarakan tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan.Dengan demikian kita sekarang mencoba untuk mendustakan teks.yang secara implisit membenarkan teks. Al qur’an turun bersifat langue bukan parole. Dan nabi muhammad seorang ummi bukan penerima pasif wehyu tetapi juga mengolah redaksi al qur’an , sesuai kondisinya sesuai manusia biasa. Namun ini memang menjebol konsep dasar yang diyakini umat islam bahwa nabi adalah ma’sum dan sebagai penerima pasif yang tidak mengurangi atau manambah apa yang diwahyukan. Seperti dalam surat al haqqoh ayat 44-46, alloh memberikan ancaman pada Nabi Muhammad.
”seandainya dia (muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
Maka teks al qur’an memang dalam bahasa arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya tetapi alqur’an tidak tunduk pada budaya ketika itu. Tetapi al qur’an yang merombak membuat inovasi baru pada budaya saat itu. Namun dengan menempatkan muhamad sebagai pengarang al qur’an dan menyebutkan alqur’an sebagai cultural product, artinya menurut nasr hamid bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Al qur’an terbentuk dalam realita dalam kurun waktu 20 tahun dan pasti memakai bahasa arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dan hal ini berdampak pada metode penafsiran yang sifatnya historisitas budaya. Metode dan pola pikir apa untuk memahami sejarah. Dan ini sulit keluar dari subyektifitas, yang pasti dia akan memilih sebagian fakta-fakta dan meninggalkan fakta-fakta yang lain. Yang tidak terlepas dari pola pikir, metode dan ideologinya
”seandainya dia (muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
Maka teks al qur’an memang dalam bahasa arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya tetapi alqur’an tidak tunduk pada budaya ketika itu. Tetapi al qur’an yang merombak membuat inovasi baru pada budaya saat itu. Namun dengan menempatkan muhamad sebagai pengarang al qur’an dan menyebutkan alqur’an sebagai cultural product, artinya menurut nasr hamid bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Al qur’an terbentuk dalam realita dalam kurun waktu 20 tahun dan pasti memakai bahasa arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dan hal ini berdampak pada metode penafsiran yang sifatnya historisitas budaya. Metode dan pola pikir apa untuk memahami sejarah. Dan ini sulit keluar dari subyektifitas, yang pasti dia akan memilih sebagian fakta-fakta dan meninggalkan fakta-fakta yang lain. Yang tidak terlepas dari pola pikir, metode dan ideologinya
Sehingga dari sini kami sabagai penulis mohon maaf apabila terdapat kelancangan bahasa yang kami berikan menyinggung perasaan para pembaca. Dan ini adalah karya kami yang mencoba menerapkan mata kuliah semiotika yang terhiasi dari kadar kritis kami yang mungkin pasti tidak terlepas dari kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir. Tanpa tahun. Hipersemiotika “Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Ma’na. Yogyakarta: Jala Sutra
Putra, Heddi Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Galang Press
Syamsudin, Sahiron. Dkk. 2003. Hermeneutika Al Qur’an: Madzab Yogya. Yogyakarta. Islamika-Forstudia.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Tanpa tahun. Isykaliyyat-al qiro’at wa aliyyath at ta’wil. Terjemahan oleh Moh Mansur dan khorian Nadhiliyyin. 2004. Hermeneutika Inklusif. Jakarta Selatan: ICIP
DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir. Tanpa tahun. Hipersemiotika “Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Ma’na. Yogyakarta: Jala Sutra
Putra, Heddi Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Galang Press
Syamsudin, Sahiron. Dkk. 2003. Hermeneutika Al Qur’an: Madzab Yogya. Yogyakarta. Islamika-Forstudia.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Tanpa tahun. Isykaliyyat-al qiro’at wa aliyyath at ta’wil. Terjemahan oleh Moh Mansur dan khorian Nadhiliyyin. 2004. Hermeneutika Inklusif. Jakarta Selatan: ICIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar