Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat kepada umat manusia. Keberadaannya, sebagaimana pernyataan al-Qur’an sendiri adalah bahwa ia shalih likulli zaman wa makan (fleksibel di segala waktu dan tempat). Semetara hadis merupakan aplikasi pemahaman Nabi terhadap al-Qur’an, dimana beliau merupakan sosok yang tahu betul tujuan ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Namun, kenyataannya, bagi umat Islam sendiri, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat al-Qur’an serta pemahaman terhadap hadis Nabi, bukan pekerjaan yang mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penefsiran yang cocok.
Sebenarnya, ulama-ulama salaf terdahulu, telah membentuk suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan al-Qur’an-hadis dengan konteks mereka. Namun, ketika dibawa kepada konteks yang berbeda, metodologi itu tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Untuk menjadikan keduanya terus berbicara, maka dibutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan zaman sehingga keduanya menjadi elastis dan fleksibel. Dan hermeneutika, sebagai kajian interpretasi teks yang berasal dari barat, mengundang perhatian di kalangan para pemikir Islam untuk menjadikannya sebagai kajian terhadap al-Qur’an dan hadis.
Dalam catatan sejarah, kata hermeneutika, berasal dari dewa Yunani kuno yang bertugas menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa kepada manusia. Dan menurut Hossein Nasr, Hermes itu tak lain adalah Nabi Indris a.s yang disebutkan dalam al-Qur’an. Peran Hermes, sebagai juru bicara tuhan, adalah merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia. Jadi, hermeneutika yang berasal dari peran Hermes ini dapat didefinisikan sebagai sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajenatif dari bahan baku berupa teks.
Hermeneutika dalam tradisi barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi, ilmu yang membahas tentang asal usul bahasa teks. Mulai pada abad 16, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika di kalangan ilmuan gereja di eropa terlibat diskusi dan debat mengenai auntentisitas Bible. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, terutama sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Kemudian pada masa kini, hermeneutika diperbincangkan dalam kajian filsafat posmodernisme.
Selanjutnya, ketika kajian hermeneutika ini dibawa kedalam dunia Islam untuk mengkaji al-Qur’an dan hadis, keberadaannya pun diperdebatkan. Penolakan ditujukan dengan beberapa alasan. Pertama, dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari Kristen, Barat dan tradisi filsafat sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, Barat dan juga yang tidak pasti sesuai dengan Islam. Kedua, sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam menginterinterpretasikan al-Qur’an dan hadis Nabi, yaitu Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis. Namun, kehadiran buku ini akan menjawab kekhawatiran tersebut dengan menunjukkan bahwa, betapapun hermeneutika itu diadopsi dari barat, namun ketika ia berada di tangan orang Islam untuk diupayakan membantu menafsirkan al-Qur’an dan memahami hadis Nabi, maka ia akan berubah menjadi kajian yang bersifat Islami dan mempunyai ciri khas tersendiri dari produk hermeneutika barat pada umumnya. Segala sesuatu itu tergantung pada niat, dan, niat dari para pemikir Islam terhadap hermeneutika adalah agar al-Qur’an dan hadis Nabi dapat berdialog dengan zaman pembacanya, dan juga pemahaman yang dibangun bukan pemahaman yang bersifat parsial, berbias ideologis, tetapi pemahaman holistik yang menawarkan solusi bagi permasalahan kontemporer. Semangat inilah yang menjadikan kajian hermeneutika mengundang minat pemikir Islam setelah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadis dianggap sudah cukup mengkaji al-Qur’an dan hadis Nabi.
Dari para hermeneutika al-Qur’an, kita mendapati tokoh-tokoh dalam buku ini seperti Abu Hamid al-Ghazali, metode hermenutika para sufi, Fazlur Rahman, Muhammad Abid al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud Muhsin, Muhammad Mujtahed Shabestari, Amina Wadud, Abdullah Saeed, Muhammad Talbi, Nurcholis Madjid, Khaled M. Abou El Fadl dan Muhammad Syahrur dan dari hermeneutika hadis kita jumpai tokoh seperti Fazlur Rahman, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail, Muhammad Syahrur, Khaled M. Abou El Fadl, dan Yusuf Qardhawi. Tokoh-tokoh dalam buku ini tidak hanya terdiri dari tokoh pemikir kontemporer saja tetapi juga dari ulama klasik, seperti Imam al-Gazali dan metode penefsiran sufi, dan dari sini buku ini seolah ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kajian hermeneutika dalam Islam, secara aplikatif, telah berkembang pada masa ulama klasik dulu. Demikian pula dengan hadirnya tokoh-tokoh pemikir hermeneutika Indonesia, merupakan upaya untuk membuktikan bahwa keberadaan pemikir Islam Indonesia telah juga turut andil dalam mengembangkan kajian hermeneutika, seperti yang diupayakan oleh Nurchalis Madjid dan Syuhudi Ismail.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan, ada beberapa macam semangat yang ingin diusung oleh tokoh-tokoh pemikir Islam dari kajian hermeneutik al-Qur’an dan hadis yang dihadirkan dalam buku ini. Pertama, kritik terhadap penafsiran terdahulu yang bersifat ideologis, tekstual, dan otoriter. Kedua, berusaha menangkan makna terdalam teks. Ketiga, kesadaran bahwa dalam setiap penafsiran terdapat aktifitas dialogis antara dunia author, teks, dan pembaca sehingga penafsiran yang dihasilkan tidak mungkin bersifat objektif. Keempat, bahwa agar penafsiran itu dapat disesuaikan dengan kontes kekinian tetapi memuat pesan utama al-Qur’an dan hadis Nabi, maka proses penafsiran meliputi kajian teks, konteks dan kontekstualisasi.
Sebagai contoh, dalam buku ini dijelaskan, bagaimana Fazlur Rahman menyarankan melakukan kajian konteks disamping kajian teks dalam upaya mengkap pesan moral al-Quran yang mana kemudian pesan moral tersebut dikontekstualisasikan kedalam kebutuhan masa kini. Kemudian al-Jabiri dan Amina Wadud menyatakan setiap penafsir agar selalu waspada dengan bias subjektivitas atau bias ideologis mufassir yang selalu dibawa dalam proses penafsiran. Sementara Syahrur membayangkan agar al-Qur’an itu itu baru diturunkan dan kita dituntut menafsirkannya dengan perangkat metodologi ilmu-ilmu modern yang berkembang, sehingga manfaat al-Qur’an sebagai petunujuk, sangat terasa dan sesuai dengan tantangan zaman.
Hermeneutika, dalam sejarahnya di barat, dapat dipetakan menjadi tiga macam; hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Yang pertama kajian hermeneutika dibawa kearah pembahas bagaimana suatu teks dapat dipahami secara objektif, di sini yang banyak dibahas adalah kajian metode. Yang kedua tidak lagi membahas metode, melainkan hermeneutika dibawa ke arah kajian filosofis, yakni pembahasan tentang apa sebenarnya dunia penafsiran itu sendiri, dari sini kemudian terungkap bahwa pada hakekatnya penafsiran adalah sesuatu yang kopleks yang dalam aktifitasnya melibatkan dunia pembaca, teks dan author, dan dari proses ini, klaim bahwa teks dapat dipahami secara objektif dipertanyakan kembali. Yang ketiga membahwa hermeneutika kepada tataran kajian kritis, yakni mengungkap kepentingan-kepentingan di balik teks dan maksud penafsir.
Kemudian bagaimana dengan hermeneutika dalam Islam? Merujuk klasifikasi Sahiron Syamsuddin yang menjadi pengantar buku ini, Kurdi menjelaskan bahwa, hermeneutika Qurani dapat digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, quasi-objektifis tradisionalis, yakni penafsiran yang berupaya menangkap pesan al-Qur’an secara objektif sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan sebagaimana pada situasi sebagaimana al-Qur’an diturunkan lalu diaplikasikan serupa pada masa kini. Kedua, quasi-objektifis modernis, yakni berusaha menangkap original meaning (makna asal) teks, namun makna asal itu hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an untuk masa kini. Makna asal tidak dipandang pesan utama al-Qur’an, sementara yang harus dicari adalah makna “di balik pesan literer” dengan cara menggalinya dari informasi konteks makro sosial-budaya bangsa Arab melalui kajian sejarah, sosial dan budaya yang selanjutnya makna dibalik teks itu diolah kembali untuk kemudian disesuaikan dengan konteks kekinian. Ketiga, subyektifitas, yakni sebuah penafsiran yang menegaskan bahwa penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak dalam al-Qur’an sesuai dengan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur’an ditafsirkan. Dan, dalam buku ini, mayoritas pemikir hermeneutika di atas lebih cenderung kepada tipe yang kedua, quasi obyektifis modernis dan sebagian kecil yang ke tiga, subyektif. Namun, betapapun, meski hasilnya berbeda-beda, kajian hermeneutika al-Qur’an-hadis adalah suatu upaya untuk membuat al-Qur’an-hadis dapat berfungsi sebagai petunjuk manusia di segala tempat dan waktu. Dan kajian ini perlu untuk mendapat sambutan yang posoitif.
Buku ini juga menjelaskan bagaimana metodologi penafsiran yang digagas oleh pemikirnya itu diaplikasikan dengan merujuk kepada tafsir yang telah dihasilkan. Seperti aplikasi Fazlur Rahman dalam kitab tafsir tematiknya Major Themes of The Al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Dawair al-Khauf, Amina Wadud dengan Qur’an and Woman, Muhammad Syahrur Iman wa Islam: Manzumzt al-Qiyam. Dan ini, menurut penulis, menepis anggapan bahwa kajian hermeneutika hanya membahas metodologi penafsiran saja tanpa menghasilkan sebuah karya tafsir.
Rabu, 29 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar