Pemikiran Khaled Abou el-Fadl
”Pemikiran umat Islam selama beberapa abad terakhir ini berkutat pada persoalan pro-Barat atau anti-Barat daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih penting: apakah pemikiran umat Islam pada saat ini pro-manusia atau anti-manusia? Apakah pernyataan doktrinal Islam saat ini manusiawi atau tidak?,” demikian komentar Prof. Dr. Khaled Abou el-Fadl, seorang sarjana, pakar, dan dosen Hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles), Amerika Serikat, ketika menanggapi tuduhan bahwa pemikirannya terlalu ‘bias’ —berpihak pada Barat.
Pernyataan Khaled tersebut menggambarkan sosoknya yang memiliki perhatian mendalam terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan moral. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan untuk membangun dan mendinamisir tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada. Perbincangan apapun, termasuk perbincangan mengenai agama harus diletakkan dalam wawasan kemanusiaan dan moral. Beragama, ungkapnya, tidak lain adalah bertujuan memperkaya khazanah kemanusiaan bukan malah merusaknya. Oleh karena itu, tidak akan ada pembenaran secuilpun dalam agama bagi kekerasan dan sikap diskriminatif terhadap sesama. Seorang yang beragama harus berkomitmen terhadap kemanusiaan dan moral dan berani bersikap kritis terhadap semua bentuk pelanggaran dan perusakan nilai-nilai kemanusiaan yang ada tanpa perkecualian. Khaled, seperti dalam pengakuannya, sangat mengenal sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan puritanisme—apapun namanya—yang berkembang di tengah umat Islam. Dalam beberapa tahun terakhir ini dia terlibat dalam berbagai debat publik mengenai promosi Islam yang moderat dan damai. Dengan integritas dan keberanian intelektual dia mengkritik semua klaim kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang dinilainya memelintir dan menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung mempersempit Islam itu sendiri.Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah ‘kelompok terbaik’ dan ‘kelompok yang mewakili Tuhan’ di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.
Untunglah Khaled memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat.
Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
Namun bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.
Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.
Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang prolifik—produktif, antara lain :
Islam and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004)
The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001)
Rebellion dan Violence in Islamic Law ( Cambridge University, 2001)
Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001)
And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001)
Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001)
The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse (2001)
Selain menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering dikhayalkan banyak orang.
Bukunya confrence with the Books: The Searching for beauty in Islam misalnya, mengisahkan dialognya dengan para ulama masa lalu seperti Imam ibnu Hambal, Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan bahasa prosa yang elok, Khaled meratapi betapa banyak umat Islam yang asing dengan tradisi klasik Islam. Menurutnya, dengan sikap terbuka dan lapang dada seorang akan menemukan pengkayaan dalam membaca khazanah klasik Islam. Pada sisi lain, Khaled meratapi hilangnya kebebasan intelektual di kalangan umat Islam di berbagai wilayah selama berabad-abad.
Sedangkan dalam buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001) yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam yang merasa ‘paling benar’ dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur’an dan Hadis. Mereka, menurut Khaled, seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas Kitab Suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah umat Islam.
Dalam buku Atas Nama Tuhan tersebut Khaled lebih menekankan kajian pada kritik atas Fikih Islam. Penguasaanya yang luas atas khazanah klasik Fikih Islam memungkinkannya mengkritik kesalahan cara ijtihad sekelompok umat Islam. Misalnya, kelompok-kelompok yang ‘main comot’ hadis atau ayat Suci tanpa memahami konteks, makna, maghza, dan signifikansi moralnya. Ayat Suci dan Hadis mereka jadikan jadi proyek hukum positip tanpa menyadari bahwa kedua sumber otoritatif tersebut adalah sumber moral. Sebagai sumber moral, al-Qur’an dan Sunnah akan memberikan pencerahan kepada para pembacanya dalam kehidupan mereka.
Pemegang Otoritas dan Peralihan Singkat
Dalam tradisi Islam, Teks Suci (al-Qur’an) merupakan representasi dari ‘otoritas’ (kewenangan) Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak seorangpun mengabaikan Kitab Suci. Seorang muslim yang tulus selalu merujuk Kitab Sucinya ketika menghadapi masalah di dalam kehidupannya. Ketika masih hidup, Nabi dipandang sebagai orang yang paling otoritatif (paling berwenang), memiliki persyarat yang dapat dipercaya, untuk menafsirkan semua kehendak Allah. Wewenang atau otoritas Nabi ditetapkan secara tertulis di dalam Al-Qur’an. Selain itu wewenang beliau juga tercermin dalam prilaku dan visi moral yang terpancar dalam kehidupan beliau
Setalah Nabi Saw meninggal, Al-Qur’an dan catatan mengenai seluruh dimensi kehidupan Nabi menjadi rujukan para penganut agama Islam. Kedua sumber ini sampai hari ini masih menjadi rujukan utama dalam kehidupan umat Islam. Tapi persoalan tidak selesai pada titik ini. Pertanyaannya, apakah kedua teks tersebut berbicara sendiri? Apakah kedua sumber tersebut bisa menyelesaikan persoalan manusia sendiri?
Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabat dengan integritas moral yang tinggi mendapatkan wewenang atau menjadi sumber rujukan dalam memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Wewenang sahabat-sahabat lebih dilihat integritas moral mereka, seperti ditunjukkan Abu Bakar atau Umar bin al-Khattab.
Krisis politik dan badai perubahan semakin kuat dan cepat di kalangan umat Islam. Sepeninggal sahabat-sahabat yang otoritatif tersebut, kekuasaan politik mengambil alih wewenang secara sewenang-wenang. Mua’wiyah yang berkuasa mengatakan, bahwa dirinya yang memiliki wewenang yang pernah dimiliki oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Pada saat itu, sejumlah ulama sudah mulai muncul diberbagai wilayah kekuasaan umat Islam. Mereka ini biasanya menolak predikat-predikat politik yang ditawarkan. Kuluhnya kekuasaan politik membuat para ulama lebih bersikap hati-hati dalam mengambil sikap. Pada satu sisi mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk masyarakat dan agama, pada sisi lain mereka terus ditekan oleh kekuasaan untuk melegitimasi kekuasaan mereka.
Contoh lainnya, Misalnya, ketika Khalifah al-Manshur meminta imam Malik menjadikan kitabnya al-Muwatha’ sebagai undang-undang negara dan dia menolak, karena beliau yakin akan banyak tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama lain di berbagai wilayah lain. Sikap imam Malik ini menujukkan tingginya integritas, muru’ah, dan sikap toleran atas perbedaan. Dan menurut Khaled Abou el-Fadl, di balik penolakan Imam Malik tersebut tersirat, bahwa posisi seorang fuqaha adalah sebagai mediator, jembatan, atau penengah antara berbagai kepentingan di dalam komunitas umat Islam. Imam Malik juga menunjukkan bahwa seorang ulama tidak boleh terkooptasi oleh kekuasaan politik.
Dengan demikian sangat jelas, bahwa ‘wewenang’ seorang ulama atau intelektual sangat ditentukan oleh cerminan moral, integritas kepribadiannya, dan sikap idependennya. Khaled mengatakan, bahwa ‘wewenang’ seorang ulama sangat ditentukan oleh kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan dan rasionalitas yang dimilikinya. Rasionalitas misalnya, walaupun abstrak tetapi rasionalitas tidak pernah bertentangan dengan kesepakatan tentatif dari sebuah komunitas dalam menentukan posisi sesuatu. Orang yang rasional tidak mungkin dikelabui dengan perubahan penampilan pakaian seorang koruptor besar. Mereka tetap saja mengenalinya dengan segala perubahannya.
Dengan demikian ‘wewenang’ seorang ulama adalah suatu wewenang yang tentatif dan tidak mutlak. Wewenang tersebut lahir dari besarnya tanggung jawab, metodologi, dan persyarat lainnya. Hasil pemikiran atau penafsiran seorang ulama atas maksud dan kehendak Allah di dalam kitab Suci-nya sangat ditentukan oleh ketekunan, ketelitian, kehati-hatiannya dan tentu saja manfaatnya bagi seluruh manusia. Makanya, Khaled seringkali bertanya: Apakah pemahaman kita atas makna-makna dari Kitab Suci Al-Qur’an dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari membuat sesama kita, tetangga kita atau saudara-saudara kita merasa damai hidup berdampingan dengan kita ?
Dalam tradisi fikih dikenal istilah bdzlu wushu’i atau badzl qarihah atau pengerahan segala daya upaya dalam melakukan penafsiran ajaran agama. Pasase ini menggambarkan bahwa besarnya tanggung jawab seorang ulama dalam melakukan penalaran atas makna dari al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi. Sebagus apapun hasil ijtihad mereka itu tidaklah mutlak. Sehebat apapun hasil ijtihad mereka itu tetaplah relatif dan tidak menggugurkan pendapat lainnya. Hasil memang bukan segalanya, kata Khaled, tetapi semangat moral atau etos moral dibalik proses ijtihad tersebut seharusnya menginspirasi kita sebagai pewaris ilmu pengetahuan untuk bersikap terbuka dan toleran atas perbedaan.
Tanpa integritas, etos moral, dan kesungguhan seseorang yang menyelami makna Al-Qur’an akan terjerumus pada sikap otoriter (sok berwenang), yang mana kepentingan pribadinya akan mewarnai hasil pemahamannya. Contohnya, banyak pemakaian Hadis secara acak dan sembarangan oleh banyak kalangan untuk mendukung kepentingan-kepentingan mereka. Di katakan acak karena hadis-hadis yang sedemikian banyak itu diambil begitu saja dari kitab-kitab hadis tanpa mau mengecek ulang tingkat riwayat, kategori matan, dan konsekwensi moral dan sosialnya jika diterapkan.
Bagi Khaled, Hadis selain harus mengetahui ilmu kritik matan dan kritik riwayat harus dibarenngi kemampuan menangkap visi moral dalam kehidupan Nabi Muhammad, sirah beliau. Misalnya, jika ditemukan hadis-hadis yang tidak sesuai dengan sikap Nabi yang damai, penyayang, adil, dan sebagainya, maka hadis itu layak dipertanyakan.
Sederhanya, Khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuwan yang pernah ada dalam sejarah umat Islam di tengah ramai atau riuhnya ‘klaim’ (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai maksud Allah dan Nabi sampai-sampai mereka merasa sebagai satu-satunya orang yang paling ‘mewakili’ Allah dan Rasul, mereka lupa bahwa setiap orang diberikan mandat ‘menjadi wakil Allah’ (khalifah) di muka bumi.[]
Jumat, 28 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar